Baru-baru ini penyakit yang melekat ke sebagian besar mahasiswa rantau mengunjungiku, ialah Maag. Bertahun-tahun saya terbilang cukup sukses memanipulasi kebutuhan perut, yang isinya usus dan lambung itu guna terhindar darinya, dan pada akhirnya saya lengah, maka terjadilah peradangan yang membuat perutku nyeri dan keram sejak pukul 3.00 dini hari hingga magrib datang lagi. Rasanya betul-betul mengerikan, tiada nafsu apapun yang ada pada diri di saat seperti itu, kecuali untuk muntah dan mengeluh berikut rintihan-rintihan yang seharusnya tidak diperlukan untuk seorang pria. Seingatku, ada beberapa teman yang saya repotkan, termasuk sang pemilik rumah yang saya tumpangi, Dg. Palinrang yang sejak pagi merawatku bagaikan seorang suster lulusan kampus keperawatan yang betul-betul manusiawi. Ia merawat bukan karena motif tertentu, seperti uang atau apapun yang membuat sebagian besar orang pragmatis. Itu nampak tulus seperti tugas kemanusiaan yang tak diarahkan oleh gelar-gelar apapun. Atau boleh jadi, Ia hanya tidak ingin ada mayat perantau yang tergeletak di rumahnya, sebab urusannya bakal panjang.
Singkat cerita, saya akhirnya dijemput oleh kedua orang tua saya yang dilanda kepanikan luar biasa. Mungkin saja karena saya anak sulung yang belum juga sarjana, dan kepanikan itu muncul sebab investasinya selama 23 tahun terancam gagal jikalau saja saya terus terkapar tak berdaya. Mereka datang dengan mobil sewaan lalu membawa saya pulang ke kampung halaman malam itu juga. Di perjalanan tentu saja menjadi fase-fase sulit, sebab usus dan lambung saya terguncang-guncang bukan main sering, sebab jalanan belum juga usai dibutaskan secara keseluruhan. Yah, mungkin pemerintah butuh beberapa jeda untuk itu, sebab persoalan kebijakan harus selalu lahir dari perdebatan panjang dari dua atau lebih kelompok yang berseteru. Dan juga, pertimbangan seberapa besar keuntungan dan peluang yang didapatkan oleh suatu kroni tertentu dari satu jenis kebijakan juga adalah soal yang rumit, dan menguras waktu yang lama. Adakah yang memikirkan satu kebijakan yang bermanfaat untuk ribuan orang seperti saya yang tengah menderita? Saya membayangkan berteriak menggunakan meghapone seorang diri di kantor kepala daerah, saya tahu ini pengandaian gila, paling saya akan dipandang sebagai individu tak tahu sopan santun, dan dapatlah saya cipratan Ente siapa? Sana pergi!!! ternyata barusan adalah respon seorang satpam.
Di kampung halaman, saya dirawat ala kadarnya oleh keluarga, hingga kondisi tubuh berangsur-angsur pulih dari serbuan Maag di sekujur lambung tipis dalam tubuh saya. Semoga kedepannya saya tidak berjumpa lagi dengannya, Maag yang tak dirindukan. Jika pembaca telah sampai pada kalimat ini, maka itu artinya saya sudah cukup membaik, karena saya telah mampu untuk mengetik tanpa merintih lagi. Satu-satunya yang mengundang rintih saat ini adalah ketidakjelasan arah dan tujuan saya dalam mengarungi kehidupan. Seakan-akan penyakit Maag kemarin telah mengambil lembar-lembar perencanaanku, dan tak mungkin saya memanggilnya untuk kembali, mengingat ia telah terlampau galau, sebab saya tak sudi untuk merinduinya. Yah, memang, sampai saat ini, penglihatan dan indera saya bisa jadi masih berfungsi cukup baik, tapi saya hanya melihat masa depan yang buram. Dan hari ini saya tak cukup tahu bagaimana mengatur bumbu-bumbu kehidupan, agar tak terlalu manis dan juga sebaliknya. Intinya, memang ada arah yang betul-betul hilang.
Novel The Smoke Jumper karya Nicholas Evans adalah teman karib di saat-saat pemulihan saya, karya yang cukup menarik. Novel itu berhasil menenggelamkan saya dalam drama para tokohnya, saya disulap menjadi penonton yang teramat serius, yang sewaktu-waktu seorang dari mereka datang lalu menarik tangan saya untuk ikut melangkah di belakangnya. Saya tahu, saya seringkali melangkah di belakang Connor Ford, ia yang menjadi tokoh yang kuikuti. Ia selalu saja melangkah tanpa arah dan tujuan. Ia seorang Smoke Jumper alias orang yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan, khususnya di Missoula, Montana. Tanah kelahirannya. Ia sosok tangguh dan tergila-gila untuk berkelana kemanapun. Bisa dikata, pecinta alam yang gemar olahraga ekstrim semacam memanjat tebing dan mendaki ke gunung-gunung tertinggi. Dan karenanya ia adalah sosok pria yang benar-benar pria keren. Ia memiliki sahabat yang juga menyenangi kegilaan yang sama, ialah Edward Tully. Seorang mahasiswa di Universitas Missoula, Montana yang gemar ikut berpartisipasi dengan para Smoke Jumper, terutama di saat musim panas. Musim dimana aneka tumbuhan di hutan belantara begitu mudah tersulut api, yang dalam sekejap akan menjadi neraka yang menyala-nyala.
Kisah penuh intrik dimulai di kala Ed datang membawa gadis yang dikenalinya karena konflik yang melibatkan keduanya di lahan parkir bioskop di Boston, ialah Julia. Connor datang ke bandara menanti kedatangan mereka berdua. Dan berjumpalah dua sahabat karib itu, seperti biasa ritual pelukan untuk melepas kerinduan ia lakukan, lalu Connor menjabati tangan Julia, sekaligus memandanginya untuk pertama kalinya. Julia membalas pandangan itu dengan senyuman yang teramat manis bagi Connor. Dan saat itu pulalah sesuatu yang mengganjal di hati keduanya mulai terasa. Connor hanya merasa berdosa pada Ed sahabatnya, sebab telah menumbuhkan perasaan suka apalagi sayang pada kekasihnya yang cantik jelita itu. Dan karenanya ia hanya bermain di wilayah batin, dan cukup berhasil menahannya hingga sahabatnya itu menikah dengan Julia. Sekali lagi kukatakan, Connor ini betul-betul pria.
Julia adalah sosok perempuan yang bersahaja, pandai bergaul, dan karenanya ia cukup mudah mengakrabkan diri dengan siapapun, mengingat ia mahasiswi psikologi. Iapun cukup akrab dengan Connor, sehingga mereka bertiga nampak sebagai sahabat karib yang susah terpisahkan. Meskipun Connor merasakan ngilu di sekujur hatinya, sebab ia telah begitu lama memendam perasaannya, hingga ia tak memiliki seditpun hak lagi untuk memiliki Julia. Suatu waktu mereka berfoto di salah satu puncak gunung, dan saling bergantian untuk difoto. Saat tiba giliran Connor dan Julia untuk difoto bersama, Connor merasakan dirinya kaku dan merasakan hal yang aneh, begitupun dengan Julia. Lalu mereka berdua saling menatap dan tersenyum, saat itu pula kamera yang dipegang Ed menciprat mereka. Sehingga hasilnya, mereka nampak seperti sepasang kekasih.
Tapi semua berubah di saat Ed dan Julia telah memiliki anak. Saat itu Ed mengalami kebutaan sebab terjatuh saat ikut dalam rombongan Smoke Jumper saat tragedi kebakaran Snake Mountain. Kejatuhannya menyebabkan kerusakan serius pada retina matanya hingga tak berfungsi baik lagi. Di sisi lain Hubungan batin antara Connor semakin kuat, sebab benih connorlah yang berbuah menjadi anak mereka. Hal ini diminta sendiri oleh Ed dan Julia sebab Ed tidak mampu menghadirkan seorang anak untuk Julia, karena pengaruh obat-obatan yang keras di kala ia mengalami diabetes. Oleh karena itu mereka mengangkat Connor sebagai ayah biologis dari anaknya. Tetapi keadaan semakin berubah, ketika Ed telah kehilangan kekebalan dirinya menahan kecemburuan. Connor membaca situasi itu, dan akhirnya ia mulai berfikir untuk meberi jarak antara dirinya dengan keluarga kecil Ed. Dan dimulailah petualangan Connor yang tanpa arah dan tujuan itu.
Connor menghibur dirinya dengan berkelana kemanapun dan tanpa siapapun bersamanya. Ia hanya ditemani kamera Nikon miliknya. Ia akhirnya menjadi wartawan foto atau fotografer yang gemar meninjau lokasi-lokasi atau pemandangan yang tak biasa dipilih para fotografer, yakni Perang. Ia begitu sering berkunjung di berbagai daerah di benua Afrika. Ia ke Rwanda, Sudan, Uganda, dan beberapa daerah lainnya yang terkena dampak perang yang tiada henti. Ia memotret anak-anak yang mati karena tertembak, atau yang mati tergantung bersama ayah dan ibunya, remaja yang terluka parah karena bedil, dan banyak foto karyanya berupa orang-orang yang sedang memandang kearahnya dengan tatapan tajam yang mengisyaratkan banyak harapan. Connor berinisiatif mengambil seluruh anak-anak yang diculik oleh pemberontak untuk dijadikan prajurit, namun Connor tidak bisa menemukan celah untuk itu, apalagi ia hanya seorang diri.
Saat Connor kembali ke New York, lalu memuat sebagian fotonya di berbagai media cetak ia mulai berfikir untuk melakukan apa lagi kedepannya. Dan akhirnya iapun mendapatkan penawaran untuk menggelar pameran foto oleh salah seorang yang dikenalnya, Eloise. Itu merupakan pertama kalinya karya-karya fotografinya di pajang secara teratur dalam sebuah galeri. Iapun sedikit merasa senang hingga seorang pengunjung galeri yang cantik jelita datang untuk berkenalan dengannya sebelum ia berjalan-jalan melihati seluruh foto-fotonya. Ia Beatrice seorang gadis yang mempesona bekerja di Vanity fair. Perempuan itu bertanya banyak dan Connor mampu menjawabnya, meskipun singkat dan tak banyak embel-embel. Kecuali pertanyaan terakhir dari Beatrice, ia tidak mampu lagi menahan kepedihan hatinya. Beatrice bertanya "apa yang kau cari selama itu?", Connor menjawab "Harapan","Astaga, aku rasa aku tak mencari apa-apa." Beatrice menimpali "Aku rasa kau sedang mencari-cari sesuatu, tapi aku tidak yakin yang kau cari itu harapan." Connor pun ingin tahu apa yang dipikirkan Beatrice, "baiklah, apa yang kucari?" Beatrice terdiam sejenak lalu mengatakan dengan tenang dan sederhana : "Kau mencari cermin kepedihanmu sendiri." Seketika Connor tidak mampu berkata-kata apa lagi, ia berlari meninggalkan galeri pamerannya sendiri, dan berjalan tanpa henti dan tujuan yang jelas.
Sangat jelas Connor hanya mengasingkan diri dari kenyataan pahit yang dihadapinya. Ia bahkan berani menemui beberapa petinggi pemberontak semacam emmanuel Kabugi di daratan Afrika namun tidak jelas untuk apa menemuinya. Setiap bertemu pimpinan pemberontak, selalu berujung perdebatan sengit yang selalu hampir mengambil nyawanya sendiri. Ia tidak memotret untuk siapapun kecuali untuk dirinya, dan ia tidak mewakili organisasi apapun dalam misi kemanusiaannya, kecuali menggunakan nama pribadinya sendiri, namun ia sendiri tidak mampu merumuskan apa sebenarnya tujuan daripada tindakannya sejauh ini. Saya sendiri berfikir, bahwa memang benarlah apa yang diucapkan Beatrice, ia mencari cermin kepedihannya sendiri. Dan anehnya, sampai sejauh itu, saya terus mengekor di belakang Connor, mengikuti jejaknya, namun ia tak menyadari lagi kehadiranku. Saya sangat senang bila bisa mengobrol banyak dengannya. Karena bisa jadi saya adalah salah satu dari serpihan-serpihan cermin kepedihan itu. Saya banyak melakukan kesibukan tanpa tujuan dan arah yang jelas, tapi mungkin saja tujuan itu memang benar, sekali lagi, mencari cermin kepedihanku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar