Senin, 17 Agustus 2015

"Andai kata aku seorang Indonesia merdeka"

1913 silam sebuah artikel diterbitkan oleh surat kabar De Express yang dipimpin Douwes Dekker. Judul artikel itu kira-kira seperti ini, "Als ik eens Nederlander was." Yah, Artikel itu goresan pena Soewardi Soerjaningrat, atau yang akrab di telinga kita, Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan kita sendiri. Artikel tersebut menggemparkan seluruh struktur pemerintahan Hindia-Belanda saat itu, bagaimana tidak, artikel itu adalah sindiran sinis sekaligus suara seluruh pribumi yang terjajah mengendap-ngendap dalam tiap goresan huruf seraya berteriak di baliknya.

Tulisan Ki Hajar Dewantara yang berjudul "Andai Aku Seorang Belanda" ini, ditulisnya seolah ia benar-benar seorang Belanda, tapi seorang Belanda yang tengah prihatin dengan kelakuan bangsanya. Artikel ini terbit, ketika pemerintah Hindia-Belanda mewacanakan Prosesi perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari jajahan Perancis yang akan digelar di atas tanah nusantara. Dan karenanya, perayaan tersebut harus dimewahkan, disemarakkan, dilaksanakan oleh semua orang, termasuk pribumi itu sendiri yang sama sekali tidak berdarah Nederland, dan kacaunya lagi yang tengah dijajah Nederland itu sendiri.

Dengan berdasarkan kebijakan inilah, mengapa Ki Hajar Dewantara mengandai-andai dalam artikel kritisnya. Berikut potongan artikel yang menggambarkan pengandaiannya ; " Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. memang saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu, malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada peringatan hari kemerdekaan itu."
Loh, lalu apa kaitannya dengan judul tulisan saya ini?Yah, paling tidak saya bisa menduplikat pengandaian-pengandaian itu saat sekarang. Kebetulan pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan diri merayakan 70 tahun kemerdekaan Indonesia dari penjajahan asing. Yang asing siapa sih? yang asing saat ini nampaknya tidak relevan lagi digeneralkan ke semua mereka yang berasal dari luar sana, namun juga yang dari dalam sini, yang eksklusif, yang terpisah, berjarak, dan tidak sejalan dengan kehendak mayoritas masyarakat yang juga di dalam sini.

Mungkin dari sini, dari keterpisahan ini, antara pemerintah-rakyat, Korporasi rakus-masyarakat lapar, kelas majikan-budak, kapitalis-proletar, kaya tapi minoritas-miskin tapi mayoritas, maka kita dapat membaca dengan jelas ada jurang pemisah, yang memisahkan mereka yang merdeka dari yang tidak merdeka. Untuk saya pribadi, tentu saja menulis paragraf-paragraf ini dalam keadaan tidak merdeka, jadi untuk yang masih terjajah mari kita berandai-andai di posisi mereka, seperti Ki Hajar Dewantara melakukannya.
Andai saya adalah seorang Indonesia yang merdeka (bagian dari pemerintah korup- sewenang-wenang, kapitalis, feodal, atau apapun yang kaya raya karena penindasan, eksploitasi, atau karena menjajah orang kebanyakan), saya akan menyerukan perayaan kemerdekaan, kepada mereka semua, kecuali jikalau mereka merdeka, dan jika mereka ingin merdeka maka mereka harus memenuhi syarat-syarat material yang dikata merdeka itu sendiri, kalau tidak yah mereka harus tetap di seberang sana, yang marginal, terjajah, tereksploitasi, tenaga dan kreativitasnya dihargai murah, dan terus saja sempoyongan melangkah.

Namun prinsip ini telah kulakukan bertahun-tahun, mereka tetap saja tidak merdeka. Sepertinya saya harus menyerukan kepada rekan-rekan se-merdekaan-ku, bahwa mereka yang dibawah tidak harus ikut melaksanakan perayaan kemerdekaan bangsa ini, mereka pasti hanya akan merasakan sakit, melihat orang-orang sedarahnya begitu sejahtera seperti kita, sementara mereka terseok-seok mencari sesendok nasi. Ataukah mereka hanya akan berontak, jika semakin merasakan ketimpangan ini, mereka rajin berkeringat menafkahkan keluarga seadanya, dan kita membuang-buang harta sebagai bukti jika kita adalah masyarakat kapitalis merdeka tulen.

Yah, sial, semalam saya di beri mimpi buruk, akan terjadi revolusi agustus ke-II, nampaknya saya harus taubat, sebelum diganyang habis-habisan, saya akan menyerukan dan memprotes kepada rekan-rekan saya yang merdeka, kita harus merayakan kemerdekaan Indonesia ini secara tertutup, dan cukup kita yang bersenang-senang, mengangkat sampanye tanpa riak-riak di bawah, kita mesti merayakannya dengan tenang, kalau tidak itu akan melukai perasaan mereka yang masih terjajah, bukankah mereka sudah mulai bangun dan sadar? Saya akan menggunakan segenap tenaga untuk menghentikan perayaan mewah ini. hmm untunglah saya diberi mimpi yang demikian.

Tapi apa daya, seperti Ki Hajar Dewantara, saya hanya seorang bumiputera yang terjajah, tidak mungkin memprotesnya. Sebab memprotes hanya akan mendapatkan hukuman, tuduhan yang tidak-tidak, komunislah, islam radikallah, atau apalah-apalah yang pada akhirnya melecehkan keluarga saya sendiri.
Tapi jika di beri kesempatan berandai-andai lagi, saya akan mengutip paragraf terakhir dari artikel Ki Hajar Dewantara itu, dengan sedikit memplesetkannya, biar nyambung; "Tidak, sekali-kali tidak, kalau saya seorang Belanda (Indonesia yang merdeka, eksklusif, kaya raya karena penindasan, sewenang-wenang atas nama jabatan dan negara, korup, selingkuh dengan kapitalisme dan juga imperialisme), saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu disini dalam suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa (Rakyat) yang terjajah itu kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri."

Selamat merayakan 70 tahun kemerdekaan Indonesia bagi yang telah merdeka. Bagi yang belum, mari berandai-andai atau...???

Tidak ada komentar: