Paradigma begitu banyak dipahami
oleh khalayak sebagai alas atau kerangka pikir dalam mencoba menganalisis
sesuatu untuk mendapatkan kesimpulan. Jika merujuk pada kamus ilmiah paradigma
didefenisikan sebagai bentukan dari kata yang memperlihatkan konjugasi kata dan
atau deklinasi kata. Dengan kata lain defenisi sederhana tersebut sudah
menggambarkan bahwa paradigma akan menjadi pondasi sebuah teori, proses,
perubahan, dan menjadi medan yang menarik pengikut semaksimal mungkin. Dengan
demikian paradigma bukan sesuatu yang tunggal, namun bersifat heterogen. Dan
juga tidak bersifat netral atau bebas nilai.
Sehingga yang memang akan terjadi adalah paradigma digunakan sebagai
alat pendominasi pemikiran manusia. Jika memang seperti itu, Maka pertanyaan
yang kemudian muncul adalah paradigma mana yang benar? Paradigma mana yang
tidak harus ditanam pada memori? Apakah teori yang kita pelajari dan kembangkan
sudah berlandaskan paradigma yang sesuai? Nah, tulisan ini tidak akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan demikian.
Persoalan klaim benar atau salah
hanya akan digunakan oleh pengemban paradigma yang kuat yang sudah mengakar ke
kepala sebagian besar manusia atau yang telah mendominasi. Klaim paradigma yang
dominan akan membawa pembacanya pada kesimpulan bahwa bacaannya telah benar,
tunggal. Sehingga munculnya paradigma yang berbeda dengan sendirinya menjadi
asing, kontradiktif, atau mereka menyebutnya secara kasar sebagai pandangan
yang mengada-ada atau salah. Cara itu sebenarnya telah menepikan fakta bahwa
paradigma dominan telah memperoleh dominasi dari paradigma lain yang lebih dulu
ada sebelum kemunculannya. Namun tulisan ini tidak akan mencoba membalas klaim
yang demikian.
Dalam
Masyarakat Sipil dan Transformasi Sosial, Mansour Fakih menggunakan alas
pandangan Anthonio Gramsci menjelaskan bahwa dunia saat ini sedang menjalani
misi perang terbaru. Yakni, yang dimaksud adalah War of position atau perang posisi. Perang yang berlandaskan
paradigma yang berbeda. Dalam hal ini khususnya dalam teori, wacana atau rana
sosial-ekonomi-politik. Antagonisme antara paradigma dominan/mainstream dan
yang didominasi atau biasa disebut paradigma alternatif/kritis. Dengan demikian
setiap posisi yang berbeda memiliki metodologi dan manuver tersendiri, untuk
mendominasi di satu sisi dan mematahkan dominasi di sisi yang lain. Sehingga
ini juga disebut oleh Gramsci sebagai War
of manuver. Dalam situasi seperti itu tidak relevan untuk mengklaim benar
atau salah, baik atau buruk, karena segala sesuatunya menjadi tentu jika
memiliki kekuatan paradigma. Ini dijelaskan secara apik oleh Gramsci bagaimana
sebuah teori dan landasan paradigma memperoleh dominasi di lingkungan sosial
dalam teori hegemoninya.
Untuk memahami bagaimana sebuah
teori dengan landasan paradigma tertentu bekerja adalah dengan mencari
sumber-sumber historis yang telah berjibaku dalam tatanan sosial. Tentunya ada
banyak pemikir berikut teori-teorinya yang ikut andil dalam proses sosial yang
menyejarah. Seperti halnya kapitalisme dan tokoh-tokohnya telah berdialektika
berabad-abad dengan Marxisme. Masing-masing menunjukkan adanya proses evolusi
dalam kerangkanya untuk tetap relevan di masa yang paling mutakhir. Kapitalisme
bahkan tumbuh karena kritik marxisme membuatnya membangun pondasi baru dan itu sejalan
dengan prinsipnya untuk selalu bersegera menutupi keusangannya. Sementara
pemikir marxisme pun memperbaharui diri seiring perkembangan paling mutakhir
kapitalisme, sehingga analisis kritik ekonomi dalam Marxisme banyak yang
dikembangkan kearah analisis kritik kultural. Hal ini dikarenakan merebaknya
pengaruh kapitalisme ke semua sektor kehidupan, termasuk kultur. Proyek
modernisme bisa dikatakan menjalankannya dengan nyaris sempurna. Namun bukan
berarti perkembangan pemikiran marxisme itu melepaskan diri dari analisis
ekonomi Marx yang sangat penting.
Dengan demikian, guna memahami
polemik-polemik sosial, teori sosial, penting bagi kita melihat bejana
sosiologi dan membaca bingkai paradigma yang ada, mengetahui bagaimana proses
kerjanya, seperti apa manuver-manuvernya. Dalam hal ini pengutaraan
pemikir-pemikir kritis yang telah ada sebelumnya menjadi sangat penting untuk
memahami dan memetakan paradigma sosial. Yang pertama adalah pemetaan paradigma
sosial yang diuraikan oleh penganut mazhab Frankfurt, Juergen Habermas. Dan
yang kedua adalah pemetaan paradigma sosial berdasarkan tokoh pemikir
pendidikan kritis dari daratan Brazilia, Paulo Freire.
Paradigma Dominatif
(Mainstream) Vs Emansipatif (Alternatif/kritis)
Juergen Habermas adalah salah satu pemikir Mazhab
Frankfurt yang menghabiskan waktunya untuk memahami sekaligus bergerak dalam
membangun tatanan sosial yang emansipatif. Peta paradigma yang disusun oleh
Habermas sangat penting untuk memahami bingkai tatanan sosial yang ada. Dalam
peta paradigma Habermas terbagi ke dalam tiga bagian atau posisi. Yakni; Instrumental knowledge/ postivism,
Interpretative, dan
Critical/Emancipatory knowledge.
Instrumental
Knowledge/positivism
Dalam
perspektif paradigma 'instrumental' ini, pengetahuan lebih dimaksudkan
untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Yang dimaksud Habermas dengan
paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu
sosial yang dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam
memahami realitas. Positivisme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi
ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda,
yakni dengan kepercayaan adanya universalisme
dan generalisasi, melalui
metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973).
Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate
untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial. Oleh karena itu,
mereka percaya babwa riset sosial harus didekati dengan metode ilmiah, yakni
obyektivitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah
yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan
metode scientific atau ilmiah. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan
pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman
objektif atas realitas sosial. (sumber:
Socrates. Ansos)
Positivisme
menganjurkan keterpisahan antara subjek dengan kondisi objektif dan realita
kehidupan sosial. Cara memandang positivisme ini tidak jauh berbeda dengan cara
pandang yang ada dalam ilmu pengetahuan alam. Ilmu alam menempatkan realitas
alam, fenomena alam, dan kebendaan sebagai objek kajian para ilmuwan.
Perbedaanya hanya terletak pada objek kajiannya. Jika ilmu alam selalu
mengutarakan kajian dan mencipta hipotesis dari benda-benda dan fenomena alam,
maka ilmu sosial yang positivistik mendasarkan kajiannya pada manusia sebagai
objek utama. Hingga kebenaran akan hipotesa mengenai ilmu sosial coba
dibuktikan lewat kegiatan-kegiatan eksperimen, dan penelitian laboratorium yang
menempatkan manusia sebagai benda atau objek. Pada akhirnya ilmu sosial
positivistik memiliki sikap yang menjadi keharusan, yaitu sikap ’ilmiah’. Sikap
yang dimaksud adalah netral, tidak berpihak dan bebas nilai, ilmu sosial sosial
untuk ilmu sosial itu sendiri. Sikap ini tentu menopang kaidah-kaidah
positivistik yaitu kaidah yang generalis dan universalitas.
Mansour Fakih
juga menjelaskan bagaimana positivisme menempatkan pemikirnya sebagai pengamat
atau intelektual elitis. Intelektual elitis bekerja untuk mengembangkan ilmu
sosial (tentu dalam bingkai paradigma positivistik) tanpa harus terlibat
kedalam masyarakat sosial. Intelektual elitis selalu berada di luar lingkaran
itu. Lalu bagaimana ia memperoleh ilmu? Sebagai catatan Intelektual posivistik
tidak memperoleh ilmu, namun menciptakan ilmu lalu melakukan percobaan untuk
pembuktian hipotesa (penelitian eksperimental). Muncullah pertanyaan lain,
Bagaimana teorinya bisa diterima? Sebenarnya tidak sepenuhnya diterima, namun
karena golongan positivistik adalah pemenang dari perang posisi yang masih
berlangsung. Kemenangan tentunya memiki kuasa. Foucault menjelaskan bahwa ilmu
pengetahuan memiliki pertautan yang erat dengan kekuasaan. Dengan demikian
hegemoni kekuasaan berjalan secara radikal. Kemudian karena pengaruh hegemonik
maka kaidah universalitasnya bisa dijalankan. Untuk proyek universalitas ini
kita bisa melihat ada banyak kekeliruan teori sosial saat berbenturan dengan
kondisi objektif yang beragam. Positivisme memaksakan penerapan secara
universal, dan menggeneralisasi realitas objektif yang beragam, hingga
menepikan kenisbian yang ada.
Interpretative
Latar belakang
perkembangan paradigma interpretatif ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam
teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah mulai berkembang suatu
tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya fenomenologi,
etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain
menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi
positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali
perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing. Aliran hermeneutic
knowledge atau juga dikenal dengan paradigma interpretative,
secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu
sosial dan penelitian sosial dalam paradigma ini 'hanya' dimaksud untuk
memahami secara sungguh-sungguh. Dasar filsafat paradigma interpretative
adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih
menekankan minat yang besar untuk memahami. Semboyan yang terkenal dari tradisi
ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri".
Namun dalam paradigma ini pengetahuan tidak dimaksudkan sebagai proses
emansipatoris. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini adalah
ethnography dalam tradisi kalangan antropolog pasif.
Burrel
dan Morgan (1994) berpendapat bahwa paradigma interpretif menggunakan cara pandang
yang nominalis yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang hanya merupakan
tabel, nama, atau konsep yang digunakan untuk membangun realitas, dan bukanlah
sesuatu yang nyata, melainkan hanyalah penamaan atas sesuatu yang diciptakan
oleh manusia atau merupakan produk manusia itu sendiri. Penganut
paradigma ini juga lebih condong kepada melengkapi catatan-catatan mengenai deskripsi
tentang suku-suku bangsa yang hidup atau kebudayaan yang ada di belahan dunia.
Perihal tujuan paradigma ini, kita bisa melihat etnograf, yang
menggali pengetahuan atau fakta lebih condong kepada pertunjukan dedikasi atau
kontribusinya terhadap perpustakaan dan museum. Walaupun penganut aliran ini
membuka fakta-fakta dan temuan-temuan, namun tergolong pasif dalam proses
transformasi.
Critical/Emancipatory
knowledge
Ilmu sosial dalam paradigma ini
lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari
segenap ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang
mendominasi (instrumental knowledge/positivism), paradigma kritis ini
menganjurkan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan
tidak mungkin bersifat netral. Paradigma
kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara
berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu
melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan. Paradigma kritis tidak
hanya terlibat dalam teori yang spekulatif atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan
dengan pemihakan dan upaya emansipasi masyarakat dalam pengalaman kehidupan
mereka sehari-hari.
Implikasi dari
kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita akan perlunya
perenungan tentang moralitas ilmu dan penelitian sosial. Oleh karena teori dan
penelitian sosial begitu berpengaruh terhadap praktik perubahan sosial seperti
program pembangunan, maka paradigma ilmu dan penelitian sosial adalah faktor
penting yang menentukan arah perubahan sosial. ltulah mengapa paradigma kritik
selalu mempertanyakan "mengapa rakyat dalam perubahan sosial" selalu
diletakkan sebagai passive objects untuk diteliti, dan selalu menjadi
objek "rekayasa sosial" bagi penganut positivisme. Positivisme
percaya bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan
sosial harus didesain oleh ahli, perencana yang bukan rakyat, kemudian
dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat dalam hal ini dilihat sebagai masalah
dan hanya para ahli yang berhak untuk memecahkannya.
Sebaliknya,
pandangan paradigma kritik justru menempatkan rakyat sebagai subjek utama
perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan
penciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Inilah yang menjadi
dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan participatory research. Kritik
terhadap positivisme dilontarkan karena pengetahuan tersebut menciptakan
dominasi yang irasional dalam masyarakat modern. Ilmu sosial harus mampu
memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya.
Pemikiran tersebut mempengaruhi arah ilmu sosial kritis yang menekankan
pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses
membangun teori. Paradigma kritis inilah yang memberikan legitimasi terhadap
ilmu sosial pembebasan, yang tadinya dianggap 'tidak ilmiah' tersebut. ltulah
sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma dominasi
dan interpretasi.
Dengan kerangka
peta pembagian paradigma seperti itu, kita dapat memahami dan menyadari segenap
perkembangan, asumsi, dan konflik antar berbagai teori perubahan sosial dan
kritik terhadap teori-teori pembangunan yang menjadi fokus utama
pembahasan-pembahasan dalam berbagai uraian pada bagian-bagian berikutnya.
Paradigma
Reformasi ke Transformasi: Peta Kesadaran Freire
Arena perbedaan
paradigma yang lain yang juga berpengaruh dalam perkembangan dan kajian teori
perubahan sosial dan teori pembangunan adalah dengan meminjam pembagian
paradigma yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Ketika Freire (1970) menerbitkan
buku Pedagogy of the Oppressed yang pertama kali diterbitkan dalam
bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang menyangka bahwa ia sedang melakukan
kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan membaca karya Freire lainnya,
terutama mendengar dialognya dengan tokoh social movement Amerika
Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We Making the Road by
Walking (1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang berbicara soal yang
lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai paradigma perubahan sosial.
Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir kebudayaan yang
radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya peperangan yang
terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang disebutnya sebagai proses
'hegemony'. Dari situlah orang baru menyadari bahwa Freire sedang
membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan sistem budaya,
ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Tugas teori
sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya sebagai conscientizacao
atau proses penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas, yakni suatu
sistem dan struktur. Proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan. Gramsci
menyebut proses ini sebagai upaya counter hegemony. Proses dehumaniasi
tersebut terselenggara melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan
dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat
struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk
jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya adalah
suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan,
kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni: cara pandang,
cara berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan yang mendominasi
telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didominasi. Dengan begitu,
pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral
tentang estetika belaka. Kesenian dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang
dan masa yang steril, melainkan dalam sistem dan struktur yang bersifat
hegemonik.
Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga
kerangka besar yang didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran
masyarakat (Paulo
Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986). Tema pokok gagasan Freire pada
dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah "proses
memanusiakan manusia kembali". Gagasan ini berangkat dari suatu
analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya
masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses 'dehumanisasi'.
Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat, justru menjadi pelanggeng
proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses
dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan
hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran
manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousnees), kesadaran naif
(naival consciousnees) dan kesadaran kritis (critical consciousness).
Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat
secara sederhana diuraikan sebagai berikut.
Magical
consciousnees
Jika kita pernah mendengar begitu banyak keluhan karena kemiskinan,
keterpurukan ekonomi, ketimpangan sosial, lalu melimpahkan semua keluhan itu
kepada sesuatu yang sifatnya ghaib, abstrak, dan tidak terindrai, atau kekuatan
super yang telah menjebaknya pada situasi seperti itu, maka itu adalah
kesuksesan dari penganut teori perubahan sosial yang sengaja membentuknya. Kesadaran
yang demikian tentu saja dibentuk untuk membiaskan sebab-musabab yang
sesungguhnya. Jika sebelumnya kita membahas positivisme yang merebak
kemana-mana, maka mestinya kesadaran seperti ini memang adalah tanggung
jawabnya. Teori sosial dan pembangunan ala positivis membentuk kerangka pikir
objeknya sepasif mungkin, dan bersedia menerima dengan mentah dogma-dogma yang
disuguhkan, dan ketika terjadi kesalahan dan benturan negatif akibat dari
penelitian eksperimentalnya maka objek penelitiannya yang pasif akan mulai
menyalahkan diri sendiri, menyalahkan tuhan, menyalahkan garis nasib yang
bengkok, dan sama sekali tidak melihat sebab-sebab struktural yang sangat nyata.
kesadaran magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu
teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara
satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja suatu teori yang percaya akan
adanya masyarakat miskin yang tidak mampu, kaitan kemiskinan dengan sistem
politik dan kebudayaan tidak bisa mereka temukan. Kesadaran magis lebih
mengarahkan penyebab masalah dan ketakberdayaan masyarakat dengan
faktor-faktor di luar manusia, baik natural maupun super natural.
Dalam teori perubahan sosial jika proses analisis teori tersebut tidak mampu
mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori
sosial tersebut dalam perspektif para Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik.
Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang
dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur
terhadap satu permasalahan masyarakat. Masyarakat secara dogmatik menerima
'kebenaran' dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna'
ideologi setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Naival
consciousnees
Keadaan yang
dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' sebagai
akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika,
kreativitas, 'need for achievement' dianggap sebagai penentu dalam
perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin,
bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan oleh kesalahan masyarakat
sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak
memiliki budaya 'pembangunan', dan seterusnya. Oleh karena itu, man power
development adalah sesuatu yang diharapkan, akan menjadi pemicu perubahan.
Teori perubahan sosial dalam konteks ini berarti suatu teori yang tidak mempertanyakan
sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik
dan benar, merupakan faktor given dan, oleh sebab itu, tidak perlu
dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar
masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma
inilah yang dikategorikan sebagai paradigma perubahan yang bersifat reformatif
dan bukanlah paham perubahan yang bersifat transformatif.
Critical
consciousnees
Kesadaran ini
lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan
struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara
kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana
kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam
teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi
'ketidakadilan' dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan
analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana
mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah
menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses
dialog "penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik
atau lebih adil". Kesadaran ini pula yang disebut sebagai kesadaran
transformatif.
Dengan
menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita untuk dapat
memahami bagaimana logika berbagai teori sosial yang akan dibahas dikembangkan.
Dengan demikian, teori modernisasi dan pembangunan serta berbagai teori
pendukung setelahnya dalam epistimologi, atau menurut paradigma kesadaran
Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif, karena bukan struktur yang lebih
dipersoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya bersifat reformatif.
Sementara itu, paradigma dan teori perubahan sosial kritik yang dibahas dalam
bab berikutnya dalam perspektif Freire dapat digolongkan dalam kesadaran
kritis dan merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil yang bersifat
transformatif.
Uraian
pembagian peta paradigma yang dipinjam dari analisis Freire tersebut, selain
dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami dan memetakan teori-teori
perubahan sosial dan teori-teori pembangunan, peta paradigma tersebut juga
sangat berpengaruh terhadap para praktisi pengembangan masyarakat ataupun
pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Banyak praktisi pembangunan dalam
berhadapan maupun mengembangkan program-programnya di masyarakat dipengaruhi
oleh jenis kesadaran yang mendominasi pemikiran dan analisis para praktisi
sehingga sangat berpengaruh terhadap pendekatan maupun metodologi program
mereka. Para praktisi pengembangan masyarakat yang mengembangkan program
"pemberdayaan masyarakat", tetapi dalam melakukan analisis terhadap
"masalah kemiskinan" masyarakat bersandar pada analisis kesadaran
naif dan reformatif, akan melahirkan program yang berbeda dengan jika mereka
dipengaruhi oleh analisis yang bersandar pada kesadaran kritis untuk
transformasi sosial.
Dengan membaca,
mengetahui, dan memahami peta paradigma diatas diharapkan mampu dianalisis dan
memposisikannya sebagai alat analisis. Tentunya penerapan yang memaksakan
kehendak agar realitas sosial sesuai dengan teori bukan sesuatu yang
dianjurkan. Realitas sosial tentunya harus ditemukan secara subjektif oleh para
penggerak perubahan, bersentuhan langsung, dan terikat secara emosional, dan
memposisikan masyarakat sebagai subjek terpenting untuk membangun tatanan
sosial yang manusiawi dan emansipatif. Inilah yang Mansour fakih sebut, bahwa
tiap orang yang sadar haruslah menjadi intelektual organik. Pemikir dan
penggerak yang berbaur dengan gemuruh semangat rakyat untuk berjuang membangun
situasi sosial emansipatoris. Sehingga pertanyaan yang mestinya cocok untuk
peta paradigma di atas bukanlah lagi kepada
siapa kita berpihak, tetapi kepada apa dan siapakah keberpihakan itu diabdikan
dan diperjuangkan?(sumber:socrates-Ansos).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar