Kamis, 14 Mei 2015

Peta Paradigma Sosial

           Paradigma begitu banyak dipahami oleh khalayak sebagai alas atau kerangka pikir dalam mencoba menganalisis sesuatu untuk mendapatkan kesimpulan. Jika merujuk pada kamus ilmiah paradigma didefenisikan sebagai bentukan dari kata yang memperlihatkan konjugasi kata dan atau deklinasi kata. Dengan kata lain defenisi sederhana tersebut sudah menggambarkan bahwa paradigma akan menjadi pondasi sebuah teori, proses, perubahan, dan menjadi medan yang menarik pengikut semaksimal mungkin. Dengan demikian paradigma bukan sesuatu yang tunggal, namun bersifat heterogen. Dan juga tidak bersifat netral atau bebas nilai.  Sehingga yang memang akan terjadi adalah paradigma digunakan sebagai alat pendominasi pemikiran manusia. Jika memang seperti itu, Maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah paradigma mana yang benar? Paradigma mana yang tidak harus ditanam pada memori? Apakah teori yang kita pelajari dan kembangkan sudah berlandaskan paradigma yang sesuai? Nah, tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan demikian.


            Persoalan klaim benar atau salah hanya akan digunakan oleh pengemban paradigma yang kuat yang sudah mengakar ke kepala sebagian besar manusia atau yang telah mendominasi. Klaim paradigma yang dominan akan membawa pembacanya pada kesimpulan bahwa bacaannya telah benar, tunggal. Sehingga munculnya paradigma yang berbeda dengan sendirinya menjadi asing, kontradiktif, atau mereka menyebutnya secara kasar sebagai pandangan yang mengada-ada atau salah. Cara itu sebenarnya telah menepikan fakta bahwa paradigma dominan telah memperoleh dominasi dari paradigma lain yang lebih dulu ada sebelum kemunculannya. Namun tulisan ini tidak akan mencoba membalas klaim yang demikian. 
  
             Dalam Masyarakat Sipil dan Transformasi Sosial, Mansour Fakih menggunakan alas pandangan Anthonio Gramsci menjelaskan bahwa dunia saat ini sedang menjalani misi perang terbaru. Yakni, yang dimaksud adalah War of position atau perang posisi. Perang yang berlandaskan paradigma yang berbeda. Dalam hal ini khususnya dalam teori, wacana atau rana sosial-ekonomi-politik. Antagonisme antara paradigma dominan/mainstream dan yang didominasi atau biasa disebut paradigma alternatif/kritis. Dengan demikian setiap posisi yang berbeda memiliki metodologi dan manuver tersendiri, untuk mendominasi di satu sisi dan mematahkan dominasi di sisi yang lain. Sehingga ini juga disebut oleh Gramsci sebagai War of manuver. Dalam situasi seperti itu tidak relevan untuk mengklaim benar atau salah, baik atau buruk, karena segala sesuatunya menjadi tentu jika memiliki kekuatan paradigma. Ini dijelaskan secara apik oleh Gramsci bagaimana sebuah teori dan landasan paradigma memperoleh dominasi di lingkungan sosial dalam teori hegemoninya.
 
Untuk memahami bagaimana sebuah teori dengan landasan paradigma tertentu bekerja adalah dengan mencari sumber-sumber historis yang telah berjibaku dalam tatanan sosial. Tentunya ada banyak pemikir berikut teori-teorinya yang ikut andil dalam proses sosial yang menyejarah. Seperti halnya kapitalisme dan tokoh-tokohnya telah berdialektika berabad-abad dengan Marxisme. Masing-masing menunjukkan adanya proses evolusi dalam kerangkanya untuk tetap relevan di masa yang paling mutakhir. Kapitalisme bahkan tumbuh karena kritik marxisme membuatnya membangun pondasi baru dan itu sejalan dengan prinsipnya untuk selalu bersegera menutupi keusangannya. Sementara pemikir marxisme pun memperbaharui diri seiring perkembangan paling mutakhir kapitalisme, sehingga analisis kritik ekonomi dalam Marxisme banyak yang dikembangkan kearah analisis kritik kultural. Hal ini dikarenakan merebaknya pengaruh kapitalisme ke semua sektor kehidupan, termasuk kultur. Proyek modernisme bisa dikatakan menjalankannya dengan nyaris sempurna. Namun bukan berarti perkembangan pemikiran marxisme itu melepaskan diri dari analisis ekonomi Marx yang sangat penting.

Dengan demikian, guna memahami polemik-polemik sosial, teori sosial, penting bagi kita melihat bejana sosiologi dan membaca bingkai paradigma yang ada, mengetahui bagaimana proses kerjanya, seperti apa manuver-manuvernya. Dalam hal ini pengutaraan pemikir-pemikir kritis yang telah ada sebelumnya menjadi sangat penting untuk memahami dan memetakan paradigma sosial. Yang pertama adalah pemetaan paradigma sosial yang diuraikan oleh penganut mazhab Frankfurt, Juergen Habermas. Dan yang kedua adalah pemetaan paradigma sosial berdasarkan tokoh pemikir pendidikan kritis dari daratan Brazilia, Paulo Freire.

Paradigma Dominatif (Mainstream) Vs Emansipatif (Alternatif/kritis)

            Juergen Habermas adalah salah satu pemikir Mazhab Frankfurt yang menghabiskan waktunya untuk memahami sekaligus bergerak dalam membangun tatanan sosial yang emansipatif. Peta paradigma yang disusun oleh Habermas sangat penting untuk memahami bingkai tatanan sosial yang ada. Dalam peta paradigma Habermas terbagi ke dalam tiga bagian atau posisi. Yakni; Instrumental knowledge/ postivism, Interpretative, dan Critical/Emancipatory knowledge.

            Instrumental Knowledge/positivism
Dalam perspektif paradigma 'instrumental' ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objek­nya. Yang dimaksud Habermas dengan paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas. Positivisme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial. Oleh karena itu, mereka percaya babwa riset sosial harus didekati dengan metode ilmiah, yakni obyektivitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang ber­sifat universal, prosedur harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial. (sumber: Socrates. Ansos)

Positivisme menganjurkan keterpisahan antara subjek dengan kondisi objektif dan realita kehidupan sosial. Cara memandang positivisme ini tidak jauh berbeda dengan cara pandang yang ada dalam ilmu pengetahuan alam. Ilmu alam menempatkan realitas alam, fenomena alam, dan kebendaan sebagai objek kajian para ilmuwan. Perbedaanya hanya terletak pada objek kajiannya. Jika ilmu alam selalu mengutarakan kajian dan mencipta hipotesis dari benda-benda dan fenomena alam, maka ilmu sosial yang positivistik mendasarkan kajiannya pada manusia sebagai objek utama. Hingga kebenaran akan hipotesa mengenai ilmu sosial coba dibuktikan lewat kegiatan-kegiatan eksperimen, dan penelitian laboratorium yang menempatkan manusia sebagai benda atau objek. Pada akhirnya ilmu sosial positivistik memiliki sikap yang menjadi keharusan, yaitu sikap ’ilmiah’. Sikap yang dimaksud adalah netral, tidak berpihak dan bebas nilai, ilmu sosial sosial untuk ilmu sosial itu sendiri. Sikap ini tentu menopang kaidah-kaidah positivistik yaitu kaidah yang generalis dan universalitas.

Mansour Fakih juga menjelaskan bagaimana positivisme menempatkan pemikirnya sebagai pengamat atau intelektual elitis. Intelektual elitis bekerja untuk mengembangkan ilmu sosial (tentu dalam bingkai paradigma positivistik) tanpa harus terlibat kedalam masyarakat sosial. Intelektual elitis selalu berada di luar lingkaran itu. Lalu bagaimana ia memperoleh ilmu? Sebagai catatan Intelektual posivistik tidak memperoleh ilmu, namun menciptakan ilmu lalu melakukan percobaan untuk pembuktian hipotesa (penelitian eksperimental). Muncullah pertanyaan lain, Bagaimana teorinya bisa diterima? Sebenarnya tidak sepenuhnya diterima, namun karena golongan positivistik adalah pemenang dari perang posisi yang masih berlangsung. Kemenangan tentunya memiki kuasa. Foucault menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan memiliki pertautan yang erat dengan kekuasaan. Dengan demikian hegemoni kekuasaan berjalan secara radikal. Kemudian karena pengaruh hegemonik maka kaidah universalitasnya bisa dijalankan. Untuk proyek universalitas ini kita bisa melihat ada banyak kekeliruan teori sosial saat berbenturan dengan kondisi objektif yang beragam. Positivisme memaksakan penerapan secara universal, dan menggeneralisasi realitas objektif yang beragam, hingga menepikan kenisbian yang ada.

Interpretative 
Latar belakang perkembangan paradigma interpretatif ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah mulai berkembang suatu tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya fenomenologi, etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali perbedaan-perbeda­an anggapan dasarnya masing-masing. Aliran hermeneutic knowledge atau juga dikenal dengan paradigma interpretative, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam para­digma ini 'hanya' dimaksud untuk memahami secara sungguh-­sungguh. Dasar filsafat paradigma interpretative adalah phenom­enology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami. Semboyan yang terkenal dari tradisi ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri". Namun dalam paradigma ini penge­tahuan tidak dimaksudkan sebagai proses emansipatoris. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini adalah ethnography dalam tradisi kalangan antropolog pasif.

Burrel dan Morgan (1994) berpendapat bahwa paradigma interpretif menggunakan cara  pandang yang nominalis yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang hanya merupakan tabel, nama, atau konsep yang digunakan untuk membangun realitas, dan  bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan hanyalah penamaan atas sesuatu yang diciptakan oleh manusia atau merupakan produk manusia itu sendiri. Penganut paradigma ini juga lebih condong kepada melengkapi catatan-catatan mengenai deskripsi tentang suku-suku bangsa yang hidup atau kebudayaan yang ada di belahan dunia. Perihal tujuan paradigma ini, kita bisa melihat etnograf, yang menggali pengetahuan atau fakta lebih condong kepada pertunjukan dedikasi atau kontribusinya terhadap perpustakaan dan museum. Walaupun penganut aliran ini membuka fakta-fakta dan temuan-temuan, namun tergolong pasif dalam proses transformasi.

Critical/Emancipatory knowledge 
Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang mendominasi (instrumental knowledge/positivism), paradigma kritis ini menganjurkan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral. Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan. Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam teori yang spekulatif atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya emansipasi masyarakat dalam pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.

Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita akan perlunya perenungan tentang morali­tas ilmu dan penelitian sosial. Oleh karena teori dan penelitian sosial begitu berpengaruh terhadap praktik perubahan sosial seperti program pembangunan, maka paradigma ilmu dan penelitian sosial adalah faktor penting yang menentukan arah perubahan sosial. ltulah mengapa paradigma kritik selalu mempertanyakan "mengapa rakyat dalam perubahan sosial" selalu diletakkan sebagai passive objects untuk diteliti, dan selalu menjadi objek "rekayasa sosial" bagi penganut positivisme. Positivisme percaya bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli, perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat dalam hal ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yang berhak untuk memecahkannya.

Sebaliknya, pandangan paradigma kritik justru menem­patkan rakyat sebagai subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan pen­ciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Inilah yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan participatory research. Kritik terhadap positivisme dilontarkan karena pengetahuan tersebut menciptakan dominasi yang irasional dalam masyarakat modern. Ilmu sosial harus mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya. Pemikiran tersebut mempenga­ruhi arah ilmu sosial kritis yang menekankan pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses membangun teori. Paradigma kritis inilah yang memberikan legitimasi terhadap ilmu sosial pembebasan, yang tadinya dianggap 'tidak ilmiah' tersebut. ltulah sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma domi­nasi dan interpretasi.

Dengan kerangka peta pembagian paradigma seperti itu, kita dapat memahami dan menyadari segenap perkembangan, asumsi, dan konflik antar berbagai teori perubahan sosial dan kritik terhadap teori-teori pembangunan yang menjadi fokus utama pembahasan-pembahasan dalam berbagai uraian pada bagian-bagian berikutnya.

Paradigma Reformasi ke Transformasi: Peta Kesadaran Freire

Arena perbedaan paradigma yang lain yang juga berpenga­ruh dalam perkembangan dan kajian teori perubahan sosial dan teori pembangunan adalah dengan meminjam pembagian paradigma yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Ketika Freire (1970) menerbitkan buku Pedagogy of the Oppressed yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang menyangka bahwa ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan membaca karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh social movement Amerika Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We Making the Road by Walking (1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang berbicara soal yang lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai para­digma perubahan sosial. Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir kebudayaan yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang disebutnya sebagai proses 'hegemony'. Dari situlah orang baru menyadari bahwa Freire sedang membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan sistem budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas.

Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya sebagai conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas, yakni suatu sistem dan struktur. Proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya counter hegemony. Proses dehumaniasi tersebut terselenggara melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehuma­nisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menya­darinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didomi­nasi. Dengan begitu, pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral tentang estetika belaka. Kesenian dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, melainkan dalam sistem dan struk­tur yang bersifat hegemonik.

Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat (Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986). Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidik­an adalah "proses memanusiakan manusia kembali". Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses 'dehumanisasi'. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat, justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire men­jelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut.

Magical consciousnees 
Jika kita pernah mendengar begitu banyak keluhan karena kemiskinan, keterpurukan ekonomi, ketimpangan sosial, lalu melimpahkan semua keluhan itu kepada sesuatu yang sifatnya ghaib, abstrak, dan tidak terindrai, atau kekuatan super yang telah menjebaknya pada situasi seperti itu, maka itu adalah kesuksesan dari penganut teori perubahan sosial yang sengaja membentuknya. Kesadaran yang demikian tentu saja dibentuk untuk membiaskan sebab-musabab yang sesungguhnya. Jika sebelumnya kita membahas positivisme yang merebak kemana-mana, maka mestinya kesadaran seperti ini memang adalah tanggung jawabnya. Teori sosial dan pembangunan ala positivis membentuk kerangka pikir objeknya sepasif mungkin, dan bersedia menerima dengan mentah dogma-dogma yang disuguhkan, dan ketika terjadi kesalahan dan benturan negatif akibat dari penelitian eksperimentalnya maka objek penelitiannya yang pasif akan mulai menyalahkan diri sendiri, menyalahkan tuhan, menyalahkan garis nasib yang bengkok, dan sama sekali tidak melihat sebab-sebab struktural yang sangat nyata.

kesadaran magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja suatu teori yang percaya akan adanya masyara­kat miskin yang tidak mampu, kaitan kemiskinan dengan sistem politik dan kebudayaan tidak bisa mereka temukan. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketakberdayaan masya­rakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik natural maupun super natural. Dalam teori perubahan sosial jika proses analisis teori tersebut tidak mampu mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori sosial tersebut dalam perspektif para Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur ter­hadap satu permasalahan masyarakat. Masyarakat secara dogmatik menerima 'kebenaran' dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi setiap kon­sepsi atas kehidupan masyarakat.

Naival consciousnees 
Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement' dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya 'pembangunan', dan seterusnya. Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan, akan menjadi pemicu perubahan. Teori perubahan sosial dalam konteks ini berarti suatu teori yang tidak memper­tanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan, oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai paradigma perubahan yang bersifat reformatif dan bukanlah paham perubahan yang bersifat transformatif.

Critical consciousnees 
Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Para­digma kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi 'ketidakadilan' dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesem­patan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog "pen­ciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil". Kesadaran ini pula yang disebut sebagai ke­sadaran transformatif.

Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita untuk dapat memahami bagaimana logika berbagai teori sosial yang akan dibahas dikembangkan. Dengan demikian, teori modernisasi dan pembangunan serta berbagai teori pendukung setelahnya dalam epistimologi, atau menurut paradigma kesadaran Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif, karena bukan struktur yang lebih di­persoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya bersifat reformatif. Sementara itu, paradigma dan teori perubahan sosial kritik yang dibahas dalam bab berikutnya dalam pers­pektif Freire dapat digolongkan dalam kesadaran kritis dan merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil yang bersifat transformatif.

Uraian pembagian peta paradigma yang dipinjam dari analisis Freire tersebut, selain dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami dan memetakan teori-teori per­ubahan sosial dan teori-teori pembangunan, peta paradigma tersebut juga sangat berpengaruh terhadap para praktisi pengembangan masyarakat ataupun pemberdayaan masya­rakat di akar rumput. Banyak praktisi pembangunan dalam berhadapan maupun mengembangkan program-programnya di masyarakat dipengaruhi oleh jenis kesadaran yang men­dominasi pemikiran dan analisis para praktisi sehingga sangat berpengaruh terhadap pendekatan maupun metodologi program mereka. Para praktisi pengembangan masyarakat yang mengembangkan program "pemberdayaan masyarakat", tetapi dalam melakukan analisis terhadap "masalah kemiskin­an" masyarakat bersandar pada analisis kesadaran naif dan reformatif, akan melahirkan program yang berbeda dengan jika mereka dipengaruhi oleh analisis yang bersandar pada kesadaran kritis untuk transformasi sosial.

Dengan membaca, mengetahui, dan memahami peta paradigma diatas diharapkan mampu dianalisis dan memposisikannya sebagai alat analisis. Tentunya penerapan yang memaksakan kehendak agar realitas sosial sesuai dengan teori bukan sesuatu yang dianjurkan. Realitas sosial tentunya harus ditemukan secara subjektif oleh para penggerak perubahan, bersentuhan langsung, dan terikat secara emosional, dan memposisikan masyarakat sebagai subjek terpenting untuk membangun tatanan sosial yang manusiawi dan emansipatif. Inilah yang Mansour fakih sebut, bahwa tiap orang yang sadar haruslah menjadi intelektual organik. Pemikir dan penggerak yang berbaur dengan gemuruh semangat rakyat untuk berjuang membangun situasi sosial emansipatoris. Sehingga pertanyaan yang mestinya cocok untuk peta paradigma di atas bukanlah lagi kepada siapa kita berpihak, tetapi kepada apa dan siapakah keberpihakan itu diabdikan dan diperjuangkan?(sumber:socrates-Ansos).


Tidak ada komentar: