Tulisan ini tidak bermaksud menunjukkan tipikal
paradigma yang bias gender, namun justru berusaha memahami dimana letak
pembiasan gender pada program yang seolah-olah membebaskan perempuan dengan
memanfaatkan kemolekan, kecantikan, keberanian tampil terbuka, dan kesiapan
menerima tantangan dari para penyeleksi. Para calon modeling itu diseleksi dari berbagai negara yang berada dalam ruang
lingkup tertentu. Khusus yang kusaksikan malam itu, para calon model itu
mengikuti kompetisi yang bisa digolongkan cukup luas, sebab kompetisi ini
diakses oleh semua negara di kawasan benua Asia. Alhasil, saya begitu senang
melihat saudari-saudari sebenua yang cantik jelita, dengan lirikan mata
tajamnya masing-masing yang selalu siap mengiris siapapun pria yang memandanginya
serius. Di saat yang bersamaan, tentu saja pikiran menjadi bercabang lalu
terpisah dan terjadilah perang saudara didalam kepala ini. Cabang yang satu
disokong oleh moralitas yang diambil dari ajaran nabi, dan cabang yang satunya
lagi disuplai kekuatan nafsu yang dikirim dari neraka oleh iblis. Yang satu
mengasihani para perempuan itu yang sedang terhisap kecantikannya hanya untuk
mengenalkan merk mobil tertentu di depan kamera, yang satunya lagi sibuk
berpesta pora dengan rencana-rencana imajinernya membawa salah satu perempuan
itu ke sebuah motel terdekat sesegera mungkin.
Sebenarnya cukup naif mengatakan bahwa perempuan
adalah subjek utama program tersebut. Pantasnya, perempuan dalam program
tersebut boleh dikata lebih terlihat sebagai objek pasif yang terperintah oleh
aneka ragam syarat-syarat yang telah tersusun sebelum mereka mengaksesnya. Selain
itu, para perempuan yang mengikuti kompetisi kecantikan itu, lebih sering
menjadi objek imajiner yang negatif, melihat tampilannya yang memang dipaksakan
mengundang hasrat binal. Hal itu bahkan disyaratkan sebagai salah satu penentu
untuk memenangi kompetisi, di lain sisi menjadi penarik perhatian khalayak yang
banyak, dengan demikian kelak sangat berpotensi diupah untuk mempromosikan
produk tertentu. Di sini kita dapat melihat betapa perempuan menjadi sosok yang
berharga (namun murah) di luar rumah untuk dunia yang mengeksploitasinya dengan
dalih emansipasi yang sesungguhnya salah arah.
Para perempuan kebanyakan mendobrak
belenggu-belenggu yang membatasinya dengan semangat emansipatoris, menghunus
belatinya setajam mungkin untuk memutus rantai patriarki. Namun pada akhirnya
semangat itu justru membabi buta dan menjadi kabur, lalu berbalik menyerang
dirinya sendiri. Mereka tentu jenuh diperlakukan atau digolongkan menjadi yang
ke-dua dalam beberapa hal. Hal tersebutlah yang menjadi sumbu awal semangatnya.
Namun banyak yang tidak menyadari, ada hal yang berupaya memanfaatkan situasi
yang demikian itu. Ada hal yang berpotensi besar menyabot situasi yang katanya
emansipatif itu. Sehingga seberapapun para perempuan itu menganggap dirinya
kini telah terbebas dari belenggu patriarki yang menghujam para ibu-ibu di masa
silam, sesungguhnya ia tetap menjadi objek yang sama. Lalu apakah yang menyabot
emansipasi para perempuan ini?
Seperti yang sedikit-banyaknya kita tahu,
kapitalisme adalah sistem dunia yang sangat membutuhkan pekerja yang murah,
yang upahnya bisa dinego dengan mudah, dan yang potensi berontaknya jauh lebih
rendah. Dan yang memenuhi syarat-syarat itu dalam tatanan dunia yang
kapitalistik adalah perempuan. Seringkali kita mendengar perempuan yang
bertutur dengan penuh kebanggaan, bahwa ia adalah seorang yang mandiri. Seorang
yang merdeka, bebas, dan karenanya mereka sering menjuluki diri sebagai
perempuan karir atau wanita karir. Dan karenanya kapitalisme sangat beruntung
dengan kesadaran perempuan jenis ini. Sebab kapitalisme hanya akan mengupah
perempuan sebagai pribadi mandiri yang tidak memiliki banyak tunjangan. Berbeda
dengan pria yang harus dibayar lebih, sebab ia menanggung hidup anak dan
istrinya. Bahkan jika perempuan telah memiliki anak dan bersuami, ia tetap
dihitung sebagai pribadi yang tunggal dan mandiri. Jadi, alih-alih
mengemansipasi diri, perempuan kebanyakan justru salah langkah, dimulai sejak
memaknai emansipasi itu sendiri.
Perempuan berusaha keluar dari penomor-duaan yang
menyesakkan dan memarjinalkan mereka. Dimulai dari lingkungan kerja, di muka
hukum, di dalam lembaga-lembaga, hingga di rumah tangganya sendiri. Namun
tatkala mereka sedang merasa telah menghirup udara segar, sambil lalu mereka
telah direkrut kapitalisme yang tengah merajalela. Dan didalamnya para
perempuan tak mendapat posisi yang seharusnya. Seperti halnya dalam dunia modeling, kecantikan, kemolekan, dan
lekuk tubuh perempuan menjadi jualan yang siap dijarah industri tertentu untuk
memasarkan produknya guna membangun relasi sosial yang kapitalistik. Para model
tersebut memang kadang kala selalu tampil dengan aneka busana mahal yang
membuat cantik dirinya sehingga tampak tajir dan menawan. Namun adakah yang
mempertanyakan, jikalau yang dikenakannya saat berjalan di panggung catwalk modeling itu adalah miliknya? Tentu
saja itu milik desainer yang siap dijual dengan harga yang membuat model itu
sendiri menganga.
Lalu ada yang mengatakan para model itu menjelma
menjadi perempuan yang betul-betul kaya secara finansial. Namun kapitalisme
tidaklah harmonis pada siapapun, kapitalisme menciptakan gaya hidup yang siap
memiskinkan siapapun. Para model tersebut bisa menghasilkan kondisi finansial
yang surplus dalam beberapa saat setelah memamerkan tubuh untuk keperluan
produktivitas beberapa industri tertentu yang mengontrak jasa dan tubuhnya.
Namun dalam sekejap akan lenyap ditelan habis oleh kehidupan glamour, riuh
pesta pora, dan hedonistik yang menjadi ciri khas masyarakat kapitalistik. Dan
itu akan menjadi siklus yang berulang sampai saat tubuh yang gemilang itu telah
kusut, berkeriput, dan tidak lagi menawan. Dan pada akhirnya kita akan
menjumpai beberapa berita populer di media dengan judul yang menyedihkan
seperti “Mantan Model Ternama Yang kini Menjadi Pengemis Di Jalan-Jalan Amerika.”
Emansipasi yang melenceng ini harusnya diluruskan
lagi oleh perempuan-perempuan yang revolusioner. Gerakan emansipatoris yang
seharusnya adalah gerakan yang secara sadar mencari posisi yang ideal dalam
membendung relasi-relasi yang membuat perempuan terpojok. Relasi-relasi yang
kapitalistik seolah memberi pengharapan bahwa didalamnya-lah perempuan dapat
berkarir, berdedikasi, berkarya, dan berkreasi, namun sesungguhnya makin
memapankan kondisi yang patriarkal dengan menjadikannya tetap sebagai second human. Emansipasi atau feminisme yang
sungguh-sungguh adalah langkah revolusioner yang dengan serius menghancurkan tatanan sosial
yang kapitalistik. Para perempuan harus menyadari sebab-sebab struktural maupun
kultural yang mengeksploitasi, mengalienasi, dan memarjinalkan perempuan. Dan
satu-satunya yang mesti diruntuhkan adalah kapitalisme itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar