Ada
satu fenomena yang khas di Indonesia ketika sebagian besar masyarakat memandang
kemiskinan seakan sama halnya dengan
yang selama ini mungkin dianggap sebagai bagian dari gejala dan hukum
alam, seperti layaknya bencana alam, peristiwa Tsunami yang sebab musababnya
menurut para teoritisi ilmu alam yang pada akhirnya akan sampai kepada
kesimpulan bahwa yang demikian itu adalah murni gejolak alam, dan memang
alamiah pada dasarnya. Dan masyarakatpun selebihnya mengiyakan. Kemiskinan
adalah suatu keadaan yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sosial
di Indonesia. Bahkan kemiskinan telah menempel berabad-abad jauh sebelum nama
bangsa ini terumuskan sama sekali. Namun dibalik Kemiskinan yang telah
menyejarah itu, bahkan kita belum menemukan sisi yang sempurna untuk
menjelaskannya dengan baik. Kemiskinan yang selama ini cenderung dipandang
secara ekonomik atau dari sisi kepemilikan materil, justru membuat para
teoritisi pada umumnya melihat itu sebagai fenomena sosial yang sama halnya
dengan fenomena alam. Kemiskinan pada akhirnya dipandang sama dengan peristiwa
Tsunami yang terjadi secara alamiah, yang dimana para teoritisi dan birokrat
pemerintahan seolah-olah memposisikan kemiskinan dan Tsunami berada pada satu
tempat yang sama, yakni suatu peristiwa yang melahirkan korban-korban yang
patut untuk diperhatikan, dan bentuk perhatiannya adalah kurang lebih sama
dengan memberikan pencerahan bahwa sebagai manusia yang tengah dilanda bencana
dan kesusahan mesti bersabar sebab mereka secara kebetulan terkena gejolak alam
yang ganas, dan olehnya itu mereka layak mendapat santunan sosial sebagai
solusinya.
Fenomena
kemiskinan di Negara-negara dunia ketiga, di Indonesia pada khususnya, selain
dianggap sebagai bagian dari gejala dan hukum alam, kemiskinan juga dianggap
sebagai problematika sosial yang disebabkan oleh masyarakat itu sendiri yang
mesti dientaskan dengan metode-metode dan paradigma pemerintah meski tanpa
keterlibatan sosial kemasyarakatan. Hal ini menandakan jika positivisme begitu
tertanam sangat dalam di tubuh pemerintahan Indonesia. Selain itu kemiskinan
juga dipandang seragam sebagai gejala-gejala
penyakit sosial yang mesti diobati dengan cara-cara yang pemerintah
yakini benar, dengan mengkonsumsikan obat-obatan impor yang juga mereka pilih sendiri.
Salah satu pil yang diimpor untuk mengentas penyakit sosial ini kita kenal
dengan sebutan “Developmentalism”yang
telah menjamur sejak Orde baru berdiri, sebab mereka menamakan penyakit sosial
ini dengan istilah “Underdevelopment”.“Underdevelopment”
adalah nama penyakit sosial untuk mengistilahkan secara modern kata
“Keterbelakangan”. Istilah ini pada awalnya dikumandangkan oleh Presiden
Amerika Serikat Harry S. Trauman pada tahun 1949 silam dalam bentuk paket
kebijakan Amerika Serikat yang sangat berkaitan erat dengan konteks perang
dingin. Tujuan awal munculnya kebijakan ini adalah dalam rangka membendung relasi
komunisme dan sosialisme di Negara-negara dunia ketiga (Lemmis, 1991). Dalam
logika Developmentalisme, pemerintah dan perusahaan-perusahaan berperan sebagai
subjek Pembangunan yakni memperlakukan masyarakat sebagai objek, resipen atau
penerima, klien atau bahkan partisipan pembangunan (Mansour, 1996 hal 71).
Masyarakat
miskin atau masyarakat terbelakang dalam istilah pembangunan disebabkan oleh
berbagai macam hal. Seperti yang diturunkan dalam ilmu sosial yang cenderung
positivistik, melihat keterbelakangan masyarakat disebabkan oleh masyarakat dan
lingkungannya sendiri, seperti oleh
mereka yang tidak memiliki gairah hidup, sering kali bermalas-malasan,
kontra-produktif, tidak berpendidikan, sehingga kadang kala mereka adalah
orang-orang yang dipandang tidak berakal yang sering kali menyulut kerusuhan
sosial. bahkan saat mereka melakukan gerakan-gerakan sosial, aksi-aksi
advokasi, demonstrasi, dan okupasi ketika tanah tempatnya berproduksi dan
berlindung sedang dijarah korporasi-korporasi besar juga dipandang sebagai
bagian dari kerusuhan sosial. Pandangan agen-agen developmentalis ini
sepenuhnya menyesatkan. Dan ini menjadi rangkuman teori objektif di sejumlah
negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. David McClelland adalah teoritisi
yang mendasarkan pemikirannya menggunakan penjelasan sosiologis dan psikologis.
McClelland beranggapan bahwa Negara-Negara Dunia ketiga sangat terbelakang
karena masyarakat didalamnya tidak memiliki dorongan dan motivasi untuk meraih
kebutuhan berprestasi. Yang dimaksud kebutuhan berprestasi atau prototipe
“Masyarakat Berprestasi” sebenarnya
adalah masyarakat yang memiliki ciri-ciri prilaku seperti yang ada didalam
masyarakat kapitalis (Mansour, 1996 hal. 73).
Sebab
dorongan dan motivasi yang akan diransang dalam tubuh masyarakat adalah
dorongan dan motivasi yang mengarah kepada pembentukan perilaku masyarakat
Industrial dan modernis, mereka berasumsi sembari memprediksikan bahwa
masyarakat kini tengah mengarah ke fase transisi peralihan dari masyarakat
tradisi ke masyarakat modern. Suatu fase
dimana sangat penting melakukan penetrasi yang mendalam ketubuh masyarakat guna
mengokohkan pondasi pembangunan. Jika proyek developmentalisme itu
berjalan dengan baik dan tanpa hambatan
maka masyarakat secara perlahan akan meninggalkan fase keterbelakangan atau
kemiskinan menurut bahasa pembangunan, namun sejatinya masyarakat betul-betul
telah meninggalkan tradisi-tradisi yang mengkultur dalam tubuh sosial
kemasyarakatan yang telah berbentuk ratusan abad lalu. Masyarakat modern dan
Industrial yang telah mengkristal,
secara automatis oleh logika developmentalisme akan menganjurkan akumulasi
modal yang dimana indikatornya terdiri atas tabungan dan investasi, dan
karenanya diperlukan pula bantuan atau hutang
dan juga perdagangan skala nasional ataupun global sebagai arena
pertarungannya. Dengan demikian dalam masyarakat industrial yang telah
berbentuk, pada lapisan paling dasar
masyarakatpun telah mengintegrasikan diri pada mekanisme pasar dan kultur global.
Melihat
asumsi-asumsi liberal tersebut, dapat dibayangkan situasi masyarakat tradisi
yang ada di Indonesia sesegera mungkin meninggalkan jejak-jejak tradisional,
norma-norma adat yang terbentuk secara tradisi dan penuh tahapan serta
pertimbangan lingkungan sebagai bentuk batasan-batasan norma atas
perilaku-perilaku mahluk hidup secara perlahan akan dibuyarkan oleh kebiasaan
baru yang ditimbulkan kultur Developmentalisme yang sama sekali tidak memiliki
batasan. Seperti yang diketahui bahwa Developmentalisme berlandaskan pada paham
modernisasi, yang di dalam Encyclopedia
Of The Social Sciences (1968) Istilah modernisasi diartikan meliputi,
antara lain; “Sekularisasi; komersialisasi; Industrialisasi; Peningkatan
standar hidup materi; Penyebaran melek huruf; pendidikan; Media massa;
Persatuan Nasional; dan Perluasan keterlibatan rakyat dalam partisipasi”.
Dengan
melihat liputan modernisasi diatas, dapat digambarkan di kemudian hari,
Masyarakat terbelakang/miskin akan memunculkan segelintir wiraswasta elitis
dengan proyek komersial di pundaknya, proyek industrial digenggamannya, dan taraf
kehidupan materi yang semakin meningkat, membuatnya mendapatkan posisi dalam
Developmentalisme sebagai partisipan terbaik. Namun di sisi lainakan muncul
ribuan wiraswasta yang gagal dan merugi kemudian miskin secara mendadak, sebab
Developmentalisme menghendaki pertarungan, pergesekan, dan persaingan sebagai
proses seleksi untuk mengakses pembangunan itu sendiri. Artinya ada semacam kekeliruan jika menganggap Developmentalisme
adalah sebuah jalan lurus yang halus dan membentang luas untuk kepentingan
pengentasan kemiskinan. Sebab tradisi baru yang diperkenalkan dalam
developmentalisme adalah tradisi kompetitif yang menciptakan Individu-individu yang
dikemudian hari menjadi kian serakah baik secara psikologis maupun secara
biologis yang diakibatkan watak akumulatifnya yang tidak terkendali. Hal
tersebut merupakan ciri dan karakter umum masyarakat kapitalis. Akumulasi
Modal/Kapital jelas menjadi candu, sebab itu ekspansi dan eksploitasi , serta
eksplorasi kebutuhan imajiner tanpa batas menjadi pemuas hasrat yang kian tidak
terkendali. Dengan demikian, dalam tradisi kompetisi yang hanya menghendaki
satu pemenang di permukaan, maka kejatuhan demi kejatuhan akan terlihat jelas
ketika pemenang telah meneriakkan kemenangannya di puncak kejayaan di atas
kemiskinan massif yang baru saja tercipta. Developmentalisme sebenarnya telah menampakkan kerapuhannya sebagai pil yang dianggap obat mujarab kemiskinan. Dalam kasus Indonesia, Di era Orde baru yang menggandeng Developmentalisme dengan penuh sikap optimistis berujung pada krisis yang tidak terelakkan pada kurun waktu 1997-1998. Menurut data yang bersumber dari Survei Ekonomi Sosial Nasional/Susenas 1998, tercatat 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin, yang terdiri dari 17.6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di pedesaan. Ini peningkatan drastis hanya dalam kurung waktu dua tahun. pada tahun 1996 tercatat kemiskinan di perkotaan berjumlah 7,2 juta jiwa dan di pedesaan 15, 3 juta jiwa. Inilah salah satu bentuk ilustrasi pemiskinan yang tampak kepermukaan sebagai solusi atas kemisikinan dengan label pembangunan.
Selanjutnya, Sungguh
naif kedengarannya, ketika para teoritisi, teknokrat, dan birokrasi
pemerintahan bersuara lantang mengenai kemiskinan yang dikategorikan sebagai
penyakit sosial, masyarakat tidak berprestasi, dan terbelakang. Dengan
ditimpali analisa-analisa absurdnya tentang masyarakat yang tidak lebih sebatas
objek problematis dari gejala-gejala sosial yang ada. Para ahli sosial dan pemerintah yang cenderung
positivis hanya menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian dalam
teori-teori perubahan sosialnya yang dirumuskan tanpa pernah menjadi bagian
dari masyarakat itu sendiri. Menurut Mansour
Fakih mereka adalah golongan Intelektual elitis yang justru tidak akan pernah
menciptakan transformasi sosial yang aktual ditengah kehidupan bermasyarakat. Menurutnya juga, bangsa ini betul-betul krisis intelektual organik, sehingga para intelektual yang pada umumnya elitis dan birokratis sangat jarang yang memahami betul situasi sosial kemasyarakatan khususnya yang berada pada tataran grass root.
Propaganda
agen developmentalisme mengenai masyarakat “Underdevelopment”
menjadi paradigma yang kian populer di masyarakat kekinian. Bahkan kebanyakan
lapisan masyarakat beranggapan tidak ada yang salah dalam pembangunan. Kalaupun
ada yang salah, itu hanya kesalahan teknis dari beberapa oknum yang tidak
disiplin dalam melaksanakan agenda pembangunan. Tidak banyak yang mengetahui
atau memahami tujuan-tujuan ideologis yang menguntit dibalik wajah
Developmentalisme. Pengaruhnya bahkan telah menyentuh hampir keseluruhan
masyarakat adat yang tersebar di Negara-negara dunia ketiga, khususnya
Indonesia yang dimana masyarakatnya kian tertarik menghindari situasi “Underdevelopment”.
Menurut
Dr. Mansour Fakih dalam karyanya “Masyarakat
Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM Indonesia”, hal
ini tidak terlepas dari kekuasaan Hegemonik. Berlandaskan pada kaca mata
pandang Antonio Gramschi, kekuasaan hegemonik digambarkan lebih merupakan
kekuasaan melalui “persetujuan”, yang mencakup beberapa jenis penerimaan
intelektual dan emosional atas tatanan sosial-politik yang ada. Persetujuan
yang dimaksud menurut tafsiran (femia, 1975) adalah ungkapan intelektual dan
arah moral melalui mana perasaan massa secara tetap terikat dengan ideologi dan
kepemimpinan politik negara sebagai ungkapan keyakinan dan aspirasinya
(Mansour, 1996 hal. 57). Dengan demikian, dalam konteks kemiskinan, selain dibuat
dalam pengertian-pengertian yang menganggapnya sebagai proses alam,
Problematika sosial jenis ini juga coba dirasionalkan melalui kekuasaan
hegemonik yang terdiri atas kekuasaan intelektual dan kekuasaan moral.
Kekuasaan-kekuasaan inilah yang memiliki peranan penting dalam menciptakan
keyakinan atau agama baru developmentalisme agar dapat diterima, diakui, dan
disetujui secara universal. Dalam upaya pelanggengan Kapitalisme yang paling
mutakhir, alat kekuasaan inilah yang disebut oleh pemikir kritis lainnya, yakni
Louis Althusser sebagai “Ideological
State Apparatus”. Hegemoni yang terbungkus dalam konsep developmentalisme semakin memapankan
kapitalisme sebagai corak ekonomi-politik paling dominan. Dan hal tersebut
berbanding lurus dengan pemiskinan di tiap sektor kehidupan yang telah
dikomodifikasi.
Dalam
logika pembangunan yang masih saja digunakan hingga saat ini, kemiskinan selalu diukur melalui seberapa minimum
kepemilikan materil per individunya. Sehingga makna kemiskinan kian sempit
untuk sebuah negara yang memiliki keragaman kultur dan lapisan masyarakat. Dan
pandangan ini pula lah yang berkembang dan populer di tubuh masyarakat
Indonesia.Pandangan ini membuat analisa kemiskinan menjadi kian tumpul, dengan
demikian pembangunan tampil sebagai satu-satunya jalan keluar yang rasional
dari kemiskinan. Berbanding terbalik
jika menggunakan analisis dari para pemikir critism,
kemiskinan justru digambarkan menjadi sesuatu yang kompleks dan multisektor,
seiring dengan pembaruan-pembaruan kapitalisme. Jika jauh sebelumnya, Karl
Marx (1818-1883) telah memberikan gambaran mengenai mekanisme kerja Corak
produksi Kapitalisme yang telah memiskinkan banyak keluarga di Inggris. Dengan
program enclosure (pemagaran) atau
pengambil-alihan seluruh sarana produksi dan menempatkannya dalam satu kontrol
produksi kapitalis, menyebabkan banyak keluarga kehilangan mata penceharian,
lahan produksi, dan prasarana produktif lainnya yang digunakan hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa adanya keinginan untuk mengakumulasi
kekayaan. Dengan demikian pemagaran mengakibatkan kemiskinan yang membuat
keluarga-keluarga tak memiliki apapun lagi untuk dipertukarkan guna pemenuhan
kebutuhan hidup, selain tenaga kerja dan keterampilannya. Pada akhirnya tenaga
dan keterampilannya dijual kepada pemilik tunggal kapital dan sarana produksi,
untuk membiayai kehidupan sehari-harinya meskipun praktiknya diperlakukan sedemikan eksploitatif. Keluarga-keluarga yang dimiskinkan
inilah yang kemudian disebut dengan kelas proletariat. Sebaliknya, kaum pemodal
tidak menggunakan sarana produksi untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari,
namun untuk kepentingan pelipatgandaan modal (akumulasi modal). Marx menjelaskannya
dalam money circuit of capital,
bagaimana capital, comodity, means of
production, labour power, dan proses produksi saling terkait dalam
penciptaan kapital yang berlipat dan output produksi yang melimpah guna
penciptaan keuntungan yang terakumulasi tanpa batas. inilah yang kemudian
digolongkan kelas kapitalis. Dan kedua kelas inilah yang memainkan peran dalam
antagonisme kelas terkait dengan kontradiksi struktural.
Namun,
dalam perkembangan kapitalisme mutakhir, yang kemudian dibungkus dalam konsepsi
pembangunan,praktik pemiskinan tampak makin beragam dan kompleks diberbagai
sektor, dalam artian sederhana kemiskinan secara ekonomi bukan lagi
satu-satunya bentuk kemiskinan yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Di lapangan
Edukasi, yang tengah berada dalam dominasi Developmentalisme, Institusi
pendidikan seperti sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta
lembaga-lembaga penelitian direduksi menjadi alat kekuasaan hegemonik. Karena merupakan alat hegemoni pembangunan,
maka penerapan sistem dan kurikulum cenderung positivistik. Dalam lingkungan
pendidikan yang positivistik peserta didik mengalami kesulitan dalam mengakses
ilmu pengetahuan yang non-positivis atau diluar pengakuan kurikulum dan sistem
pendidikan. Dengan demikian peserta didik tidak mampu mendapatkan akses ilmu
pengetahuan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia (Humanisasi) sebab dalam
pandangan positivis ilmu pengetahuan itu terbebas dari nilai dan non-politis.
Inilah yang disebut Paulo Freire (1921-1997) sebentuk proses dehumanisasi yang
memarginalkan manusia. Pendidikan mestinya membebaskan dan membangkitkan
kesadaran kritis. Pola pendidikan pedagogy yang juga diterapkan adalah sebentuk
pola pendidikan reduksionis dan doktrinatif yang sama sekali tidak mendidik,
tetapi cenderung mendikte manusia. Peserta didik yang semestinya menjadi subjek
pendidikan malah dijadikan sebagai objek dalam pendidikan, posisinya makin
teralienasi ketika pendidikan memisahkannya pada realitas yang ada. Disisi lain
pendidikan telah dikomodifikasi sehingga menjadi kian komersial dan tampak
sebagai institusi yang eksklusif serta menjadi lembaga pelayanan jasa
pendidikan yang diskriminatif. Pada akhirnya tidak semua orang dapat
mengaksesnya meskipun didalam konstitusi meng-iya-kan semua elemen masyarakat
diwajibkan mengakses pendidikan. Ini dikarenakan pendidikan dalam era
pembangunan menjadi ruang praktik Money circuit
of capitalyang hanya akan menjadi alat akumulasi kekayaan segelintir oknum
selain dari pada alat hegemoni kapitalisme. Inilah bentuk pemiskinan edukatif
yang terstruktur.
Di
lapangan Kebudayaan, Modernisasi mencoba menyeragamkan perilaku-perilaku
manusia yang beraneka ragam diseluruh dunia menjadi satu padu dalam rencana
globalisasi yang dirumuskan dunia barat. Globalisasi adalah pola penyeragaman
secara kultural tanpa mengenal batas-batas teritori, aturan-aturan lokal, dan lokalitas-lokalitas yang berjauhan
dihubungkan satu sama lain untuk mengintensifkan kesadaran dunia pada satu
tatanan sosial-politik. Dalam konteks ke-Indonesia-an, yang terdiri atas ragam
masyarakat tradisi, yang telah menciptakan aturan-aturan tradisi, norma-norma
adat, rumusan nilai-nilai kemanusiaan, dan seni-seni tradisional sejak
berabad-abad yang silam guna memberikan batasan-batasan perilaku mahluk sosial
pada bidang-bidang kehidupan tertentu, kian terkikis oleh budaya pupuler modern
yang menganggap masyarakat tradisional adalah fase masyarakat underdevelopment. Seperti yang dibahas
sebelumnya bahwa modernisasi juga meliputi pendidikan dan media massa, kedua
hal tersebut menjadi alat hegemoni yang paling menghantam sosio-kultural.
Pendidikan semakin memapankan perkembangan sains dan tekhnologi sembari
melahirkan teknokrat yang menjadi bagian dari kekuasaan intelektual hegemonik.
Di sisi lain media massa memainkan peran yang tak kalah pentingnya, dengan
membentuk, mencipta, dan merancang citra dan realita yang kemudian menurut
hikmat budiman segala kejadian yang berlaku di masyarakat adalah hal yang telah
diciptakan dan terjadi secara berualang-ulang di media. Dengan demikian melalui
media massa sosio-kultural masyarakat sedang coba dibentuk sesuai dengan
keinginan modernisasi. Bahkan banyak budayawan yang beranggapan dan
menggambarkan bahwa dikemudian hari bangsa ini tidak lagi memiliki kedaulatan kultural.
Bangsa ini hanya akan terus mengkonsumsi dan mengadopsi budaya asing yang bebas
menggurita yang dianggapnya sebagai kebaruan-kebaruan yang mencolok, modern,
dan menyenangkan. Ini akan mengikis habis nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai
dengan norma dan adat tradisional dalam konteks ke-Indonesia-an. Sebut saja
situasi yang demikian itu adalah bangsa yang mengalami degradasi nilai dan
kemiskinan kultural.
Di
lapangan politik, Indonesia jelas mengadopsi Demokrasi yang demikian diagungkan
di dunia Internasional. Tepatnya adalah demokrasi liberal, sistem perpolitikan
yang cukup selaras dengan pola pembangunan pemutakhiran kapitalisme di
negara-negara dunia ketiga. Sistem politik ini dalam praktiknya sesungguhnya
tidak membebaskan secara politik, melihat keputusan-keputusan politik selalu
berada ditangan para elite Birokrat dan elite Parpol. Hal tersebut membuat
pengertian demokrasi menjadi tidak sesuai dengan konteks. Dalam masyarakat yang
cenderung kapitalistik sebagai hasil dari Developmentalisme, demokrasi tampak
sebagai sistem politik yang patronatif, yang menempatkan patron atau tokoh tertentu sebagai titik subordinat dari
kalangan bawah yang tersubordinasi. Praktik tersebut terlihat begitu nyata
bahkan dalam PEMILU (Pemilihan Umum)
yang berlaku di Indonesia, yang dinilai paling dekat dari makna demokrasi yang
sesungguhnya. Dalam praktik Pemilihan umum, yang mengedepankan suara terbanyak
untuk memenangkan kontes politik , digunakan beragam cara untuk menarik pemilih
dan menggunakan hak pilihnya secara demokratis. Namun dalam konteks
ke-indonesia-an, demokrasi sama sekali tidak berlaku, sebab sebagian besar
masyarakat keputusan politiknya berada ditangan segelintir orang. Yakni
segelintir orang-orang yang memiliki
kuasa atas sumber daya dan ruang. Seperti yang marak terjadi, Petani hamba yang
tidak bertanah, yang cuma menggarap dan menanam sebagai tenaga yang
dipertukarkan dengan upah oleh tuan tanah keputusan politiknya terikat oleh
kepentingan politik tuan tanahnya. Buruh-buruh perusahaan yang sangat
menggantungkan kehidupannya dari upah minimum yang diberikan oleh perusahaan,
sering dimanfaatkan agar terikat dengan kepentingan politik si pemilik
perusahaan dengan menggunakan teori ketergantungan. Dengan demikian kuasa atas
ruang dan sumberdaya menjadi bagian yang menentukan dalam sistem politik.
Praktik seperti inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami kemiskinan
politik, sebab masyarakat lagi-lagi menjadi objek politik, sebagai partisipan
politik yang pasif.
Di
lapangan religiutas, Indonesia adalah wilayah yang didominasi oleh masyarakat
beragama, setidaknya ada lima agama besar yang paling berpengaruh dan diakui secara resmi di dalamnya. Islam
adalah agama yang memiliki mayoritas pengikut di pelbagai daerah. Dan karenanya
Islam menjadi agama yang paling dominan di antara agama-agama lainnya. Melihat
Islam sebagai keyakinan yang memiliki banyak penganut, justru dilihat sebagai potensi
besar dalam hal pelanggengan kapitalisme. Di Indonesia kita bisa melihat
fenomena agama yang cenderung pula menjadi alat kekuasaan hegemonik, setidaknya
menjadi alat yang ampuh guna mempertahankan status
quo. Dalam kehidupan sehari-hari, melalui berbagai medium dan ruang, para
pemuka agama terbiasa menganjurkan sikap tabah, sabar, dan tawakkal dalam
menghadapi ujian dan cobaan yang di berikan oleh pencipta. Bahkan dalam
menyikapi kemiskinan, kekerasan, ketertindasan, yang tercipta secara struktural
dan hasil konstruksi manusia, para pemuka agama tetap menganjurkan hal yang
sama, dengan dalih manusia adalah mahluk yang mulia, oleh karenanya memaafkan
adalah jawaban yang terbaik. Sekali lagi kita melihat agama menjadikan manusia
sebagai objek yang pasif pula. Terlebih lagi ketika manusia diperhadapkan pada
keyakinan yang menganggap manusia hanya mesti menjaga relasi dengan sang
penciptanya dengan terus beribadah dan berdoa sepanjang hari dan akhirnya abai
terhadap sekitar, sebab itu mereka pasif menjalin relasi sosial yang terdiri
atas manusia dan alam. Padahal Eko prasetyo dengan gamblang mengatakan bahwa
Islam adalah agama perlawanan dan pembebasan, dan memiliki perhatian mendalam
terhadap situasi ekonomi, sosial, serta politik, dan memang hal tersebut
memiliki landasan historis yang jelas.
Melihat sejarah kenabian, yang hampir seluruhnya dilahirkan dalam
kondisi yang dimiskinkan dan penuh problematika sosial, maka bentuk
perjuangannya selain dari pada tauhid, adalah pemerdekaan diri secara ekonomi,
sosial dan politik. Di era pembangunan hingga berlanjut pada globalisasi justru
peranan penting agama ini diburamkan, dan diganti dengan peranan yang pasif
dalam misi kemanusiaan namun aktif dalam misi pemutakhiran kapitalisme. Kita
bisa menggambarkan situasinya persis yang dialami dalam keseharian, melihat
aktifnya para pemuka agama di media-media mainstream
dalam menjadi agen pemasaran produk perusahaan tertentu sembari memberikan
pembenaran-pembenaran agamis, tokoh agama kondang yang mengisi program-program
ceramah di pelbagai media yang diselingi oleh beragam iklan, dan tokoh agama
yang populis dimanfaatkan hanya untuk permainan ratingdan tentunya untuk keuntungan media. Kemudian di lapangan
nyata sangat jarang tokoh-tokoh agama yang memberikan kontribusi terhadap
perjuangan kaum-kaum yang termarginalkan dan terpinggirkan untuk memperoleh
kemerdekaan dan merasakan keadilan. Dengan demikian islam kehilangan fungsi
yang sesungguhnya sebagai teologi pembebasan, sebab telah dibutakan dan
dipotong aksesnya untuk sampai pada kesadaran yang membebaskan dan karenanya
umat islam dan beragama makin dimiskinkan akan keterlibatannya dalam menjalin
relasi sosial yang lebih luas.
Dengan
berlandaskan situasi seperti inilah, Hikmat budiman yang juga menafsirkan
banyak buah pemikiran Daniel Bell mengenai perubahan sosial beranggapan bahwa,
Perkembangan kapitalisme paling mutakhir tidak lagi kontekstual jika dikritik
hanya berpijak pada analisa kontradiksi struktural semata sebagaimana determinisme
ekonomi yang melahirkan antagonisme kelas, sebab menurutnya kapitalisme telah
menciptakan Kontradiksi-kontradiksi di pelbagai sektor penghidupan.
Praktik-praktik akumulasi, alienasi, eksploitatif, dan ekspansif yang menyentuh
beragam sektor kehidupan telah merusak tatanan sosial masyarakat secara
menyeluruh. Sehingga pemiskinan tidak lagi hanya tercipta secara struktural,
melainkan pemiskinan juga terjadi secara kultural di pelbagai sektor. Maka dari
itu, Antonio Gramschi juga menekankan bahwa Pendidikan, kultur, dan kesadaran
adalah daerah perjuangan yang penting (Mansour, 1996 hal. 57). Pada akhirnya
mesti disadari bahwa perjuangan yang sektoral tidak mampu membendung laju
kapitalisme yang sedang mengglobal, karena kemiskinan yang tercipta adalah
kemiskinan yang multi-sektor, maka wilayah perjuangan haruslah berskala
multi-sektor pula yang dilakukan secara berkala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar