Senin, 12 Januari 2015

KEMISKINAN MULTISEKTOR DEVELOPMENTALISME


Ada satu fenomena yang khas di Indonesia ketika sebagian besar masyarakat memandang kemiskinan seakan sama halnya dengan  yang selama ini mungkin dianggap sebagai bagian dari gejala dan hukum alam, seperti layaknya bencana alam, peristiwa Tsunami yang sebab musababnya menurut para teoritisi ilmu alam yang pada akhirnya akan sampai kepada kesimpulan bahwa yang demikian itu adalah murni gejolak alam, dan memang alamiah pada dasarnya. Dan masyarakatpun selebihnya mengiyakan. Kemiskinan adalah suatu keadaan yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sosial di Indonesia. Bahkan kemiskinan telah menempel berabad-abad jauh sebelum nama bangsa ini terumuskan sama sekali. Namun dibalik Kemiskinan yang telah menyejarah itu, bahkan kita belum menemukan sisi yang sempurna untuk menjelaskannya dengan baik. Kemiskinan yang selama ini cenderung dipandang secara ekonomik atau dari sisi kepemilikan materil, justru membuat para teoritisi pada umumnya melihat itu sebagai fenomena sosial yang sama halnya dengan fenomena alam. Kemiskinan pada akhirnya dipandang sama dengan peristiwa Tsunami yang terjadi secara alamiah, yang dimana para teoritisi dan birokrat pemerintahan seolah-olah memposisikan kemiskinan dan Tsunami berada pada satu tempat yang sama, yakni suatu peristiwa yang melahirkan korban-korban yang patut untuk diperhatikan, dan bentuk perhatiannya adalah kurang lebih sama dengan memberikan pencerahan bahwa sebagai manusia yang tengah dilanda bencana dan kesusahan mesti bersabar sebab mereka secara kebetulan terkena gejolak alam yang ganas, dan olehnya itu mereka layak mendapat santunan sosial sebagai solusinya.
Fenomena kemiskinan di Negara-negara dunia ketiga, di Indonesia pada khususnya, selain dianggap sebagai bagian dari gejala dan hukum alam, kemiskinan juga dianggap sebagai problematika sosial yang disebabkan oleh masyarakat itu sendiri yang mesti dientaskan dengan metode-metode dan paradigma pemerintah meski tanpa keterlibatan sosial kemasyarakatan. Hal ini menandakan jika positivisme begitu tertanam sangat dalam di tubuh pemerintahan Indonesia. Selain itu kemiskinan juga dipandang seragam sebagai gejala-gejala  penyakit sosial yang mesti diobati dengan cara-cara yang pemerintah yakini benar, dengan mengkonsumsikan obat-obatan impor yang juga mereka pilih sendiri. Salah satu pil yang diimpor untuk mengentas penyakit sosial ini kita kenal dengan sebutan “Developmentalism”yang telah menjamur sejak Orde baru berdiri, sebab mereka menamakan penyakit sosial ini dengan istilah “Underdevelopment”.“Underdevelopment” adalah nama penyakit sosial untuk mengistilahkan secara modern kata “Keterbelakangan”. Istilah ini pada awalnya dikumandangkan oleh Presiden Amerika Serikat Harry S. Trauman pada tahun 1949 silam dalam bentuk paket kebijakan Amerika Serikat yang sangat berkaitan erat dengan konteks perang dingin. Tujuan awal munculnya kebijakan ini adalah dalam rangka membendung relasi komunisme dan sosialisme di Negara-negara dunia ketiga (Lemmis, 1991). Dalam logika Developmentalisme, pemerintah dan perusahaan-perusahaan berperan sebagai subjek Pembangunan yakni memperlakukan masyarakat sebagai objek, resipen atau penerima, klien atau bahkan partisipan pembangunan (Mansour, 1996 hal 71).
Masyarakat miskin atau masyarakat terbelakang dalam istilah pembangunan disebabkan oleh berbagai macam hal. Seperti yang diturunkan dalam ilmu sosial yang cenderung positivistik, melihat keterbelakangan masyarakat disebabkan oleh masyarakat dan lingkungannya sendiri,  seperti oleh mereka yang tidak memiliki gairah hidup, sering kali bermalas-malasan, kontra-produktif, tidak berpendidikan, sehingga kadang kala mereka adalah orang-orang yang dipandang tidak berakal yang sering kali menyulut kerusuhan sosial. bahkan saat mereka melakukan gerakan-gerakan sosial, aksi-aksi advokasi, demonstrasi, dan okupasi ketika tanah tempatnya berproduksi dan berlindung sedang dijarah korporasi-korporasi besar juga dipandang sebagai bagian dari kerusuhan sosial. Pandangan agen-agen developmentalis ini sepenuhnya menyesatkan. Dan ini menjadi rangkuman teori objektif di sejumlah negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. David McClelland adalah teoritisi yang mendasarkan pemikirannya menggunakan penjelasan sosiologis dan psikologis. McClelland beranggapan bahwa Negara-Negara Dunia ketiga sangat terbelakang karena masyarakat didalamnya tidak memiliki dorongan dan motivasi untuk meraih kebutuhan berprestasi. Yang dimaksud kebutuhan berprestasi atau prototipe “Masyarakat Berprestasi”  sebenarnya adalah masyarakat yang memiliki ciri-ciri prilaku seperti yang ada didalam masyarakat kapitalis (Mansour, 1996 hal. 73). 
Sebab dorongan dan motivasi yang akan diransang dalam tubuh masyarakat adalah dorongan dan motivasi yang mengarah kepada pembentukan perilaku masyarakat Industrial dan modernis, mereka berasumsi sembari memprediksikan bahwa masyarakat kini tengah mengarah ke fase transisi peralihan dari masyarakat tradisi ke  masyarakat modern. Suatu fase dimana sangat penting melakukan penetrasi yang mendalam ketubuh masyarakat guna mengokohkan pondasi pembangunan. Jika proyek developmentalisme itu berjalan  dengan baik dan tanpa hambatan maka masyarakat secara perlahan akan meninggalkan fase keterbelakangan atau kemiskinan menurut bahasa pembangunan, namun sejatinya masyarakat betul-betul telah meninggalkan tradisi-tradisi yang mengkultur dalam tubuh sosial kemasyarakatan yang telah berbentuk ratusan abad lalu. Masyarakat modern dan Industrial yang  telah mengkristal, secara automatis oleh logika developmentalisme akan menganjurkan akumulasi modal yang dimana indikatornya terdiri atas tabungan dan investasi, dan karenanya diperlukan pula bantuan atau hutang  dan juga perdagangan skala nasional ataupun global sebagai arena pertarungannya. Dengan demikian dalam masyarakat industrial yang telah berbentuk,  pada lapisan paling dasar masyarakatpun telah mengintegrasikan diri pada mekanisme pasar dan kultur global.
Melihat asumsi-asumsi liberal tersebut, dapat dibayangkan situasi masyarakat tradisi yang ada di Indonesia sesegera mungkin meninggalkan jejak-jejak tradisional, norma-norma adat yang terbentuk secara tradisi dan penuh tahapan serta pertimbangan lingkungan sebagai bentuk batasan-batasan norma atas perilaku-perilaku mahluk hidup secara perlahan akan dibuyarkan oleh kebiasaan baru yang ditimbulkan kultur Developmentalisme yang sama sekali tidak memiliki batasan. Seperti yang diketahui bahwa Developmentalisme berlandaskan pada paham modernisasi, yang di dalam Encyclopedia Of The Social Sciences (1968) Istilah modernisasi diartikan meliputi, antara lain; “Sekularisasi; komersialisasi; Industrialisasi; Peningkatan standar hidup materi; Penyebaran melek huruf; pendidikan; Media massa; Persatuan Nasional; dan Perluasan keterlibatan rakyat dalam partisipasi”.
Dengan melihat liputan modernisasi diatas, dapat digambarkan di kemudian hari, Masyarakat terbelakang/miskin akan memunculkan segelintir wiraswasta elitis dengan proyek komersial di pundaknya, proyek industrial digenggamannya, dan taraf kehidupan materi yang semakin meningkat, membuatnya mendapatkan posisi dalam Developmentalisme sebagai partisipan terbaik. Namun di sisi lainakan muncul ribuan wiraswasta yang gagal dan merugi kemudian miskin secara mendadak, sebab Developmentalisme menghendaki pertarungan, pergesekan, dan persaingan sebagai proses seleksi untuk mengakses pembangunan itu sendiri. Artinya ada semacam kekeliruan jika menganggap Developmentalisme adalah sebuah jalan lurus yang halus dan membentang luas untuk kepentingan pengentasan kemiskinan. Sebab tradisi baru yang diperkenalkan dalam developmentalisme adalah tradisi kompetitif yang menciptakan Individu-individu yang dikemudian hari menjadi kian serakah baik secara psikologis maupun secara biologis yang diakibatkan watak akumulatifnya yang tidak terkendali. Hal tersebut merupakan ciri dan karakter umum masyarakat kapitalis. Akumulasi Modal/Kapital jelas menjadi candu, sebab itu ekspansi dan eksploitasi , serta eksplorasi kebutuhan imajiner tanpa batas menjadi pemuas hasrat yang kian tidak terkendali. Dengan demikian, dalam tradisi kompetisi yang hanya menghendaki satu pemenang di permukaan, maka kejatuhan demi kejatuhan akan terlihat jelas ketika pemenang telah meneriakkan kemenangannya di puncak kejayaan di atas kemiskinan massif yang baru saja tercipta. Developmentalisme sebenarnya telah menampakkan kerapuhannya sebagai pil yang dianggap obat mujarab kemiskinan. Dalam kasus Indonesia, Di era Orde baru yang menggandeng Developmentalisme dengan penuh sikap optimistis berujung pada krisis yang tidak terelakkan pada kurun waktu 1997-1998. Menurut data yang bersumber dari Survei Ekonomi Sosial Nasional/Susenas 1998, tercatat 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin, yang terdiri dari 17.6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di pedesaan. Ini peningkatan drastis hanya dalam kurung waktu dua tahun. pada tahun 1996 tercatat kemiskinan di perkotaan berjumlah 7,2 juta jiwa dan di pedesaan 15, 3 juta jiwa. Inilah salah satu bentuk ilustrasi pemiskinan yang tampak kepermukaan sebagai solusi atas kemisikinan dengan label pembangunan.
Selanjutnya, Sungguh naif kedengarannya, ketika para teoritisi, teknokrat, dan birokrasi pemerintahan bersuara lantang mengenai kemiskinan yang dikategorikan sebagai penyakit sosial, masyarakat tidak berprestasi, dan terbelakang. Dengan ditimpali analisa-analisa absurdnya tentang masyarakat yang tidak lebih sebatas objek problematis dari gejala-gejala sosial yang ada.  Para ahli sosial dan pemerintah yang cenderung positivis hanya menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian dalam teori-teori perubahan sosialnya yang dirumuskan tanpa pernah menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri.  Menurut Mansour Fakih mereka adalah golongan Intelektual elitis yang justru tidak akan pernah menciptakan transformasi sosial yang aktual ditengah kehidupan bermasyarakat. Menurutnya juga, bangsa ini betul-betul krisis intelektual organik, sehingga para intelektual yang pada umumnya elitis dan birokratis sangat jarang yang memahami betul situasi sosial kemasyarakatan khususnya yang berada pada tataran grass root.
Propaganda agen developmentalisme mengenai masyarakat “Underdevelopment” menjadi paradigma yang kian populer di masyarakat kekinian. Bahkan kebanyakan lapisan masyarakat beranggapan tidak ada yang salah dalam pembangunan. Kalaupun ada yang salah, itu hanya kesalahan teknis dari beberapa oknum yang tidak disiplin dalam melaksanakan agenda pembangunan. Tidak banyak yang mengetahui atau memahami tujuan-tujuan ideologis yang menguntit dibalik wajah Developmentalisme. Pengaruhnya bahkan telah menyentuh hampir keseluruhan masyarakat adat yang tersebar di Negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia yang dimana masyarakatnya kian tertarik menghindari situasi “Underdevelopment”.
Menurut Dr. Mansour Fakih dalam karyanya “Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM Indonesia”, hal ini tidak terlepas dari kekuasaan Hegemonik. Berlandaskan pada kaca mata pandang Antonio Gramschi, kekuasaan hegemonik digambarkan lebih merupakan kekuasaan melalui “persetujuan”, yang mencakup beberapa jenis penerimaan intelektual dan emosional atas tatanan sosial-politik yang ada. Persetujuan yang dimaksud menurut tafsiran (femia, 1975) adalah ungkapan intelektual dan arah moral melalui mana perasaan massa secara tetap terikat dengan ideologi dan kepemimpinan politik negara sebagai ungkapan keyakinan dan aspirasinya (Mansour, 1996 hal. 57). Dengan demikian, dalam konteks kemiskinan, selain dibuat dalam pengertian-pengertian yang menganggapnya sebagai proses alam, Problematika sosial jenis ini juga coba dirasionalkan melalui kekuasaan hegemonik yang terdiri atas kekuasaan intelektual dan kekuasaan moral. Kekuasaan-kekuasaan inilah yang memiliki peranan penting dalam menciptakan keyakinan atau agama baru developmentalisme agar dapat diterima, diakui, dan disetujui secara universal. Dalam upaya pelanggengan Kapitalisme yang paling mutakhir, alat kekuasaan inilah yang disebut oleh pemikir kritis lainnya, yakni Louis Althusser sebagai “Ideological State Apparatus”. Hegemoni yang terbungkus dalam  konsep developmentalisme semakin memapankan kapitalisme sebagai corak ekonomi-politik paling dominan. Dan hal tersebut berbanding lurus dengan pemiskinan di tiap sektor kehidupan yang telah dikomodifikasi.
Dalam logika pembangunan yang masih saja digunakan hingga saat ini, kemiskinan selalu diukur melalui seberapa minimum kepemilikan materil per individunya. Sehingga makna kemiskinan kian sempit untuk sebuah negara yang memiliki keragaman kultur dan lapisan masyarakat. Dan pandangan ini pula lah yang berkembang dan populer di tubuh masyarakat Indonesia.Pandangan ini membuat analisa kemiskinan menjadi kian tumpul, dengan demikian pembangunan tampil sebagai satu-satunya jalan keluar yang rasional dari kemiskinan.  Berbanding terbalik jika menggunakan analisis dari para pemikir critism, kemiskinan justru digambarkan menjadi sesuatu yang kompleks dan multisektor, seiring dengan pembaruan-pembaruan kapitalisme. Jika jauh sebelumnya, Karl Marx (1818-1883) telah memberikan gambaran mengenai mekanisme kerja Corak produksi Kapitalisme yang telah memiskinkan banyak keluarga di Inggris. Dengan program enclosure (pemagaran) atau pengambil-alihan seluruh sarana produksi dan menempatkannya dalam satu kontrol produksi kapitalis, menyebabkan banyak keluarga kehilangan mata penceharian, lahan produksi, dan prasarana produktif lainnya yang digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa adanya keinginan untuk mengakumulasi kekayaan. Dengan demikian pemagaran mengakibatkan kemiskinan yang membuat keluarga-keluarga tak memiliki apapun lagi untuk dipertukarkan guna pemenuhan kebutuhan hidup, selain tenaga kerja dan keterampilannya. Pada akhirnya tenaga dan keterampilannya dijual kepada pemilik tunggal kapital dan sarana produksi, untuk membiayai kehidupan sehari-harinya meskipun praktiknya diperlakukan sedemikan eksploitatif. Keluarga-keluarga yang dimiskinkan inilah yang kemudian disebut dengan kelas proletariat. Sebaliknya, kaum pemodal tidak menggunakan sarana produksi untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari, namun untuk kepentingan pelipatgandaan modal (akumulasi modal). Marx menjelaskannya dalam money circuit of capital, bagaimana capital, comodity, means of production, labour power, dan proses produksi saling terkait dalam penciptaan kapital yang berlipat dan output produksi yang melimpah guna penciptaan keuntungan yang terakumulasi tanpa batas. inilah yang kemudian digolongkan kelas kapitalis. Dan kedua kelas inilah yang memainkan peran dalam antagonisme kelas terkait dengan kontradiksi struktural. 
Namun, dalam perkembangan kapitalisme mutakhir, yang kemudian dibungkus dalam konsepsi pembangunan,praktik pemiskinan tampak makin beragam dan kompleks diberbagai sektor, dalam artian sederhana kemiskinan secara ekonomi bukan lagi satu-satunya bentuk kemiskinan yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Di lapangan Edukasi, yang tengah berada dalam dominasi Developmentalisme, Institusi pendidikan seperti sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta lembaga-lembaga penelitian direduksi menjadi alat kekuasaan hegemonik.  Karena merupakan alat hegemoni pembangunan, maka penerapan sistem dan kurikulum cenderung positivistik. Dalam lingkungan pendidikan yang positivistik peserta didik mengalami kesulitan dalam mengakses ilmu pengetahuan yang non-positivis atau diluar pengakuan kurikulum dan sistem pendidikan. Dengan demikian peserta didik tidak mampu mendapatkan akses ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia (Humanisasi) sebab dalam pandangan positivis ilmu pengetahuan itu terbebas dari nilai dan non-politis. Inilah yang disebut Paulo Freire (1921-1997) sebentuk proses dehumanisasi yang memarginalkan manusia. Pendidikan mestinya membebaskan dan membangkitkan kesadaran kritis. Pola pendidikan pedagogy yang juga diterapkan adalah sebentuk pola pendidikan reduksionis dan doktrinatif yang sama sekali tidak mendidik, tetapi cenderung mendikte manusia. Peserta didik yang semestinya menjadi subjek pendidikan malah dijadikan sebagai objek dalam pendidikan, posisinya makin teralienasi ketika pendidikan memisahkannya pada realitas yang ada. Disisi lain pendidikan telah dikomodifikasi sehingga menjadi kian komersial dan tampak sebagai institusi yang eksklusif serta menjadi lembaga pelayanan jasa pendidikan yang diskriminatif. Pada akhirnya tidak semua orang dapat mengaksesnya meskipun didalam konstitusi meng-iya-kan semua elemen masyarakat diwajibkan mengakses pendidikan. Ini dikarenakan pendidikan dalam era pembangunan menjadi ruang praktik Money circuit of capitalyang hanya akan menjadi alat akumulasi kekayaan segelintir oknum selain dari pada alat hegemoni kapitalisme. Inilah bentuk pemiskinan edukatif yang terstruktur.
Di lapangan Kebudayaan, Modernisasi mencoba menyeragamkan perilaku-perilaku manusia yang beraneka ragam diseluruh dunia menjadi satu padu dalam rencana globalisasi yang dirumuskan dunia barat. Globalisasi adalah pola penyeragaman secara kultural tanpa mengenal batas-batas teritori, aturan-aturan lokal,  dan lokalitas-lokalitas yang berjauhan dihubungkan satu sama lain untuk mengintensifkan kesadaran dunia pada satu tatanan sosial-politik. Dalam konteks ke-Indonesia-an, yang terdiri atas ragam masyarakat tradisi, yang telah menciptakan aturan-aturan tradisi, norma-norma adat, rumusan nilai-nilai kemanusiaan, dan seni-seni tradisional sejak berabad-abad yang silam guna memberikan batasan-batasan perilaku mahluk sosial pada bidang-bidang kehidupan tertentu, kian terkikis oleh budaya pupuler modern yang menganggap masyarakat tradisional adalah fase masyarakat underdevelopment. Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa modernisasi juga meliputi pendidikan dan media massa, kedua hal tersebut menjadi alat hegemoni yang paling menghantam sosio-kultural. Pendidikan semakin memapankan perkembangan sains dan tekhnologi sembari melahirkan teknokrat yang menjadi bagian dari kekuasaan intelektual hegemonik. Di sisi lain media massa memainkan peran yang tak kalah pentingnya, dengan membentuk, mencipta, dan merancang citra dan realita yang kemudian menurut hikmat budiman segala kejadian yang berlaku di masyarakat adalah hal yang telah diciptakan dan terjadi secara berualang-ulang di media. Dengan demikian melalui media massa sosio-kultural masyarakat sedang coba dibentuk sesuai dengan keinginan modernisasi. Bahkan banyak budayawan yang beranggapan dan menggambarkan bahwa dikemudian hari bangsa ini tidak lagi memiliki kedaulatan kultural. Bangsa ini hanya akan terus mengkonsumsi dan mengadopsi budaya asing yang bebas menggurita yang dianggapnya sebagai kebaruan-kebaruan yang mencolok, modern, dan menyenangkan. Ini akan mengikis habis nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan norma dan adat tradisional dalam konteks ke-Indonesia-an. Sebut saja situasi yang demikian itu adalah bangsa yang mengalami degradasi nilai dan kemiskinan kultural.
Di lapangan politik, Indonesia jelas mengadopsi Demokrasi yang demikian diagungkan di dunia Internasional. Tepatnya adalah demokrasi liberal, sistem perpolitikan yang cukup selaras dengan pola pembangunan pemutakhiran kapitalisme di negara-negara dunia ketiga. Sistem politik ini dalam praktiknya sesungguhnya tidak membebaskan secara politik, melihat keputusan-keputusan politik selalu berada ditangan para elite Birokrat dan elite Parpol. Hal tersebut membuat pengertian demokrasi menjadi tidak sesuai dengan konteks. Dalam masyarakat yang cenderung kapitalistik sebagai hasil dari Developmentalisme, demokrasi tampak sebagai sistem politik yang patronatif, yang menempatkan patron atau tokoh  tertentu sebagai titik subordinat dari kalangan bawah yang tersubordinasi. Praktik tersebut terlihat begitu nyata bahkan dalam  PEMILU (Pemilihan Umum) yang berlaku di Indonesia, yang dinilai paling dekat dari makna demokrasi yang sesungguhnya. Dalam praktik Pemilihan umum, yang mengedepankan suara terbanyak untuk memenangkan kontes politik , digunakan beragam cara untuk menarik pemilih dan menggunakan hak pilihnya secara demokratis. Namun dalam konteks ke-indonesia-an, demokrasi sama sekali tidak berlaku, sebab sebagian besar masyarakat keputusan politiknya berada ditangan segelintir orang. Yakni segelintir  orang-orang yang memiliki kuasa atas sumber daya dan ruang. Seperti yang marak terjadi, Petani hamba yang tidak bertanah, yang cuma menggarap dan menanam sebagai tenaga yang dipertukarkan dengan upah oleh tuan tanah keputusan politiknya terikat oleh kepentingan politik tuan tanahnya. Buruh-buruh perusahaan yang sangat menggantungkan kehidupannya dari upah minimum yang diberikan oleh perusahaan, sering dimanfaatkan agar terikat dengan kepentingan politik si pemilik perusahaan dengan menggunakan teori ketergantungan. Dengan demikian kuasa atas ruang dan sumberdaya menjadi bagian yang menentukan dalam sistem politik. Praktik seperti inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami kemiskinan politik, sebab masyarakat lagi-lagi menjadi objek politik, sebagai partisipan politik yang pasif.
Di lapangan religiutas, Indonesia adalah wilayah yang didominasi oleh masyarakat beragama, setidaknya ada lima agama besar yang paling berpengaruh  dan diakui secara resmi di dalamnya. Islam adalah agama yang memiliki mayoritas pengikut di pelbagai daerah. Dan karenanya Islam menjadi agama yang paling dominan di antara agama-agama lainnya. Melihat Islam sebagai keyakinan yang memiliki banyak penganut, justru dilihat sebagai potensi besar dalam hal pelanggengan kapitalisme. Di Indonesia kita bisa melihat fenomena agama yang cenderung pula menjadi alat kekuasaan hegemonik, setidaknya menjadi alat yang ampuh guna mempertahankan status quo. Dalam kehidupan sehari-hari, melalui berbagai medium dan ruang, para pemuka agama terbiasa menganjurkan sikap tabah, sabar, dan tawakkal dalam menghadapi ujian dan cobaan yang di berikan oleh pencipta. Bahkan dalam menyikapi kemiskinan, kekerasan, ketertindasan, yang tercipta secara struktural dan hasil konstruksi manusia, para pemuka agama tetap menganjurkan hal yang sama, dengan dalih manusia adalah mahluk yang mulia, oleh karenanya memaafkan adalah jawaban yang terbaik. Sekali lagi kita melihat agama menjadikan manusia sebagai objek yang pasif pula. Terlebih lagi ketika manusia diperhadapkan pada keyakinan yang menganggap manusia hanya mesti menjaga relasi dengan sang penciptanya dengan terus beribadah dan berdoa sepanjang hari dan akhirnya abai terhadap sekitar, sebab itu mereka pasif menjalin relasi sosial yang terdiri atas manusia dan alam. Padahal Eko prasetyo dengan gamblang mengatakan bahwa Islam adalah agama perlawanan dan pembebasan, dan memiliki perhatian mendalam terhadap situasi ekonomi, sosial, serta politik, dan memang hal tersebut memiliki landasan historis yang jelas.  Melihat sejarah kenabian, yang hampir seluruhnya dilahirkan dalam kondisi yang dimiskinkan dan penuh problematika sosial, maka bentuk perjuangannya selain dari pada tauhid, adalah pemerdekaan diri secara ekonomi, sosial dan politik. Di era pembangunan hingga berlanjut pada globalisasi justru peranan penting agama ini diburamkan, dan diganti dengan peranan yang pasif dalam misi kemanusiaan namun aktif dalam misi pemutakhiran kapitalisme. Kita bisa menggambarkan situasinya persis yang dialami dalam keseharian, melihat aktifnya para pemuka agama di media-media mainstream dalam menjadi agen pemasaran produk perusahaan tertentu sembari memberikan pembenaran-pembenaran agamis, tokoh agama kondang yang mengisi program-program ceramah di pelbagai media yang diselingi oleh beragam iklan, dan tokoh agama yang populis dimanfaatkan hanya untuk permainan ratingdan tentunya untuk keuntungan media. Kemudian di lapangan nyata sangat jarang tokoh-tokoh agama yang memberikan kontribusi terhadap perjuangan kaum-kaum yang termarginalkan dan terpinggirkan untuk memperoleh kemerdekaan dan merasakan keadilan. Dengan demikian islam kehilangan fungsi yang sesungguhnya sebagai teologi pembebasan, sebab telah dibutakan dan dipotong aksesnya untuk sampai pada kesadaran yang membebaskan dan karenanya umat islam dan beragama makin dimiskinkan akan keterlibatannya dalam menjalin relasi sosial yang lebih luas.

Dengan berlandaskan situasi seperti inilah, Hikmat budiman yang juga menafsirkan banyak buah pemikiran Daniel Bell mengenai perubahan sosial beranggapan bahwa, Perkembangan kapitalisme paling mutakhir tidak lagi kontekstual jika dikritik hanya berpijak pada analisa kontradiksi struktural semata sebagaimana determinisme ekonomi yang melahirkan antagonisme kelas, sebab menurutnya kapitalisme telah menciptakan Kontradiksi-kontradiksi di pelbagai sektor penghidupan. Praktik-praktik akumulasi, alienasi, eksploitatif, dan ekspansif yang menyentuh beragam sektor kehidupan telah merusak tatanan sosial masyarakat secara menyeluruh. Sehingga pemiskinan tidak lagi hanya tercipta secara struktural, melainkan pemiskinan juga terjadi secara kultural di pelbagai sektor. Maka dari itu, Antonio Gramschi juga menekankan bahwa Pendidikan, kultur, dan kesadaran adalah daerah perjuangan yang penting (Mansour, 1996 hal. 57). Pada akhirnya mesti disadari bahwa perjuangan yang sektoral tidak mampu membendung laju kapitalisme yang sedang mengglobal, karena kemiskinan yang tercipta adalah kemiskinan yang multi-sektor, maka wilayah perjuangan haruslah berskala multi-sektor pula yang dilakukan secara berkala.

Tidak ada komentar: