Senin, 29 Desember 2014

Indonesia Dan Asean Economic Community (AEC)



Arah Asean Economic Community
            Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Economic Community (AEC) merupakan salah satu kebijakan ekonomi yang disepakati sepuluh negara di wilayah Asia Tenggara yang tergabung dalam wadah ASEAN, salah satunya ialah Indonesia. Hal prinsipil dalam kesepakatan tersebut adalah mengintegrasikan ekonomi regional Asia tenggara pada satu pasar tunggal dan basis produksi bersama. Sekilas terdengar positif di telinga ekonom konvensional Indonesia, sebab hal tersebut dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk bersaing dikancah ekonomi regional ataupun global yang tentu menurutnya akan menghadirkan keuntungan bagi masa depan bangsa. Dengan adanya AEC, Indonesia diyakini mampu memanfaatkan Potensi SDM serta SDA-nya untuk dikompetisikan pada pasar tingkat regional tersebut. Namun jika melihat perekonomian nasional saat ini, berdasarkan pengalaman kerja sama bilateral ataupun multilateral Indonesia, sama sekali tak terlihat hal yang menguntungkan pada sisi perekonomian, bahkan jauh dari harapan yang diidam-idamkan, sebab Indonesia hanya menjadi pemasok keuntungan bagi mitra kerja samanya sekaligus menjadi sasaran pasar. Hal tersebut mesti dijadikan pelajaran jika Indonesia tidak ingin kembali menjadi objek pasar pada kesepakatan ekonomi kawasan Asia tenggara (AEC) yang lebih kompetitif yang didukung dengan kesepakatan kebijakan penghilangan beberapa filter seperti tarif bea masuk dan keluar ataupun halangan yang non-tarif sebagai hasil pencabutan batas-batas nasionalitas, geografis, dan teritorial atas bangsa-bangsa di dalam lingkup ASEAN.
            AEC adalah salah satu realisasi visi ASEAN yang digadangkan akan dimulai tahun 2015 mendatang, yang pada awalnya disepakati dalam ASEAN Summit yang diadakan di Kuala Lumpur tahun 1997 silam akan diimplementasikan pada tahun 2020. Percepatan yang tiba-tiba dilakukan dengan alasan penyesuaian dengan perkembangan Globalisasi Internasional ini tentunya akan merugikan negara-negara ASEAN yang belum memiliki persiapan menghadapi persaingan bebas dan hanya akan menguntungkan negara-negara yang lebih maju dibidang perekonomian nasionalnya yang telah memiliki perencanaan strategi dan persiapan matang seperti Singapore, Malaysia, dan Thailand. Kendati demikian, ekonom dan pemerintahan di Indonesia tetap optimis menghadapi tantangan tersebut. Sikap optimistis yang sering diperlihatkan bangsa Indonesia sebenarnya sangat tidak berdasar, sebab hal yang sama sering diperlihatkan ketika Indonesia menyepakati perjanjian-perjanjian kerja sama yang dimana pada pertengahan jalan hingga akhir jalan, Indonesialah yang merugi dengan kesepakatan-kesepakatannya sendiri. Dalam ruang lingkup ASEAN, telah beberapa kali muncul kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan, diantaranya AFTA (Asean Free Trade Agreement) pada tahun 1995, AANZFTA (ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement) pada tahun 2009, ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) yang diimplementasikan tahun 2010. Kerja sama ASEAN-China dalam wadah ACFTA terbukti merugikan Indonesia, sebab kesepakatan tersebut menjadikan Indonesia sebagai Importir terbesar di ASEAN, dan menguntungkan china yang malah menjadikan Indonesia sebagai pasar potensialnya, hal tersebut mengakibatkan defisit perdagangan antara Indonesia-China mencapai US$ 1,5 miliar (Rp. 16,9 triliun) sepanjang tahun 2014. Hal itu terjadi karena komposisi ekspor Indonesia ke China di dominasi komoditas primer (bahan mentah) yang tidak memiliki nilai lebih/nilai tambah (Surplus Value) karena belum tersentuh Medium-tech ataupun High-Tech. China juga mendapat manfaat yang besar dengan menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan baku Industrinya karena Indonesia tak punya industri hulu yang mandiri. untuk sejumlah SDA, China sangat bergantung pada impor komoditas primer dari Indonesia seperti batubara muda atau lignite (90 %), biji aluminium (67 %), nikel (60 %), dan miyak sawit (45 %) dan batu bara (24 %) semuanya dalam angka yang massif, namun hasilnya sama sekali tak menghidupi hajat hidup orang banyak khususnya bagi ekonomi Indonesia. Kenyataan tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kerugian Indonesia yang selalu ceria menyambut ajakan kerja sama yang ditimpali  kesepakatan-kesepakatan absurd.
            Seperti yang diketahui, ada 5 hal yang akan diimplementasikan dalam kebijakan AEC tersebut, yakni ; Liberalisasi arus barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan arus bebas tenaga kerja ahli/terampil. Konsekuensi dari AEC sangatlah buruk bagi ekonomi Indonesia, jika pengelolaan dan pengorganisasian lembaga yang mempunyai otoritas dan yang terkait atas ke-5 hal tersebut tidak mampu menetapkan sikap tegas nasional. Sikap yang dimaksud adalah pengelolaan yang mempertimbangkan situasi nasional, perencanaan strategi ekonomi-politik nasional yang mesti tetap melakukan pemilahan dan filterisasi  terhadap liberalisasi ke-5 hal tersebut, agar tak jatuh dalam jurang yang mengantarkan indonesia kepada malapetaka krisis ekonomi dan politik nasional, mengingat keadaan ekonomi dan kesiapan infrastruktur serta Industri manufaktur Indonesia jauh dibawah rata-rata. Artinya, Apapun jenis kesepakatannya, sebaiknya ekonomi nasional adalah prioritas utama, dan tidak menyerahkan sepenuhnya aset negara pada pasar tunggal dan memasukkannya tanpa batas dalam basis produksi bersama dibawah payung ASEAN, dengan dalih pemerataan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara  belum tentu menguntungkan bagi Indonesia meskipun menjadi konstributor terbesar di ASEAN dari sisi Luas wilayah, SDA yang melimpah, dan SDM yang mumpuni dari segi kuantitas. Indonesia mesti jeli menetapkan langkah di medan AEC, sebab kompetisi liberal berprinsip yang kuatlah sebagai pemenang, dan yang kalah siap dipecundangi.
            Jelas AEC mengarah kepada pengontrolan ekonomi kawasan Asia Tenggara melalui sentralitas pasar dan pengelolaan basis produksi bersama sebagai pilar utamanya. AEC juga mengarahkan negara-negara ASEAN untuk berdaya saing tinggi dengan beberapa Indikatornya, yakni ; kebijakan persaingan yang diakui bersama, perlindungan konsumen, pembangunan Infrastruktur, perpajakan, dan I-Commerce. Kompetisi akan semakin meluas sampai kepada akar rumput pedesaan, sebab penghilangan batas wilayah kompetisi. Dan akar rumput akan terkejut dengan pola persaingan bebas yang merambah sampai seluas itu, dengan demikian akan menjadi arena pasar potensial juga kedepannya. Sektor pertanian yang dihuni petani-petani tradisional yang informalis akan bertarung langsung dengan perusahaan-Perusahaan benih pertanian yang memperagakan high-tech miliknya. Sesuai dengan salah satu pilar AEC yakni menciptakan kawasan pembangunan ekonomi yang merata, dan indikatornya adalah pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) di tiap Negara-negara ASEAN, dan sektor pertanian menjadi sasaran utama. Melihat konsepsinya, jelas AEC menginginkan semua jenis usaha dan dalam bentuk apapun akan di Integrasikan pada pasar dan basis produksi tunggal milik ASEAN, yang diperkuat dengan keinginan agar tiap usaha bersertifikasi ASEAN.
AEC dan wabah Kapitalisme
            Asas ekonomi “free trade” yang telah dicanangkan dan didengungkan berabad-abad yang lalu kini menjadi hal yang paling praktis di berbagai negara-negara penganut demokrasi liberal, dan paling mendominasi di belahan dunia saat ini. Dalam buku “whealth of nations” karya Adam Smith, menjelaskan bagaimana mekanisme pasar menjadi patron kemakmuran bangsa-bangsa dan peningkatan kesejahteraan bangsa- bangsa yang bersanding dengan perdagangan. Yang dimana penganut ekonomi liberal sampai saat ini masih meyakini bahwa liberalisasi barang, jasa, investasi dan modal adalah Indikator penting yang bisa membawa kesehatan ekonomi bangsa-bangsa. Dan pemikiran ini pula-lah yang digadang-gadangkan oleh petinggi-petinggi ASEAN yang mencoba pembuktian kemakmuran dan kesejahteraan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara melalui konsepsi Asean Ekonomic Community-nya. Jika anutannya adalah wacana ekonomi pasar Adam Smith, david Ricardo, dan Friedrich Hayek yang mengembangkan basis laissez faire-nya maka jelas ASEAN menghendaki “Invisible hand”, dimana kuasa Negara dikikis habis atas kepemilikan SDM dan SDA-nya, serta seluruh sarana penunjang produksi mutlak dipercayakan pada korporasi sepenuhnya.
            Dengan demikian tiada perbedaan antara kebijakan AEC dengan Kebijakan ekonomi Global dengan jubah-jubah FTA (Free Trade Agremeent) yang dicanangkan WTO, IMF, dan World Bank sekalipun. Wacana Globalisasi telah merubah dan melemahkan prinsip kedaulatan negara atas segala kepemilikan sumber dayanya, dan memperkuat kedaulatan korporasi-korporasi multinasional dalam pengontrolan ekonomi bangsa-bangsa. Seperti yang diketahui Demokrasi Liberal tdak hanya memberikan kekuatan ekonomi pada korporasi, tetapi juga membukakan kerang  kekuatan politik yang seluas-luasnya yang kemudian akan mendukung proses Deregulasi, privatisasi, dan Liberalisasi. Dalam piagam ASEAN Bab III, pasal 5 yang membahas Hak dan Kewajiban Negara Anggota juga menghendaki kewajiban negara untuk membuat legislasi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan ASEAN, termasuk AEC. Maka prinsip kapitalisme yang terdiri atas akumulasi kekayaan, eksploitasi manusia dan alam, serta ekspansi berkelanjutan masih akan menjadi praktik-praktik yang akan disaksikan negara-negara berkembang lingkup ASEAN. Dalam sejarahnya, Asia tenggara adalah wilayah yang menjadi korban globalisasi dengan ciri mendasar, menipisnya ruang dan merapatnya waktu transaksional dalam bidang ekonomi, dan terbukti dimana modal dan kapital bisa berpindah dari satu negara ke negara lain dengan waktu yang relatif singkat pada saat gelombang krisis melanda. Bisa dikatakan AEC (ASEAN Economic Community) adalah fase globalisasi dalam ruang lingkup regional Asia Tenggara. Dengan kata lain  bangsa- bangsa yang telah menyatu dalam lingkup kesepakatan-kesepakatan ekonomi kawasan regional tersebut tetap mengintegrasikan diri pada basis ekonomi global, dimana dalam pilar ke-4 AEC mempertegas keniscayaan Integrasi dengan perekonomian global . Seperti halnya kesepakatan-kesepakatan regional lainnya, diantaranya adalah NAFTA (North American Free Trade Agreement), dan juga APEC (Asia Pasific Economic Confrence) yang mendukung keseluruhan agenda perdagangan global yang dilancarkan WTO (World Trade Organization).
            Mansour Fakih menegaskan bahwa globalisasi adalah salah satu fase perwujudan kapitalisme. Meskipun Globalisasi selalu diwacanakan dengan pendekatan istilah era modern atau era masa depan, yang dielu-elukan menggandeng pertumbuhan ekonomi secara global dan kemakmuran global bagi semua umat manusia, globalisasi sesungguhnya hanyalah proses evolusi kolonialisme kedalam bentuk yang lebih baru dan halus (Neo-Liberalisme). Pembentukan Perjanjian-Perjanjian Ekonomi kawasan regional tentunya tidak akan lepas dari pengintegrasiannya pada ekonomi global, karena inisiatif munculnya FTA-FTA ditiap wilayah dan kawasan berasal daripada konsepsi ekonom-ekonom global itu sendiri, guna memanfaatkan perangkat-perangkat lokal yang berada di luar struktur korporasi untuk juga menghamba pada globalisasi kapitalisme. Perlu diketahui bahwa didalam Piagam ASEAN ada beberapa peraturan yang mengikat Negara-negara anggota pada kepentingan ekonomi kawasan dan penghambaan negara pada mekanisme pasar. Hal tersebut diatur dalam BAB 1 tentang tujuan dan prinsip, Pasal 2, ayat 2, poin (n) Piagam Resmi ASEAN yang berbunyi “berpegang teguh pada aturan-aturan perdagangan multilateral dan rejim-rejim yang didasarkan pada aturan ASEAN untuk melaksanakan komitmen-komitmen ekonomi secara efektif dan mengurangi secara progresif ke arah penghapusan semua jenis hambatan menuju ekonomi kawasan, dalam ekonomi yang digerakkan oleh pasar”.
            Dampak dari beberapa perjanjian-perjanjian yang disepakati Indonesia dengan berbagai elemen regional ataupun global sangatlah miris dan memilukan. Di samping melukai kedaulatan rakyat juga membeberkan kacanggungan negara mempertahankan kedaulatannya sendiri, dan mencoreng konstitusi atas nama penggarong kapital. Hal ini akan terus berlanjut dalam bentuk apapun jika bertindak masih atas nama Globalisasi. Globalisasi dijalankan oleh tiga aktor pentingnya, yakni MNCs (Multi-National Corporations) sebagai petarung handal ekonomi-politiknya, WTO (World Trade Organization) sebagai Dewan Perserikatan perdagangan bebasnya, Dan Lembaga Finansial Internasional IMF (Internasional Monetery Found)  Serta Bank Dunia yang mengatur persoalan-persoalan seputar Investasi, berikut negara-negara yang hanya dijadikan sirkuit pendukung pasar. AEC (ASEAN Economic Community) tentu akan menjadi arena pertarungan sengit antara raksasa-raksasa yang memiliki kemampuan skala besar milik petarung-petarung MNC dan tentunya kemenangan mutlak berada ditangannya yang terkepal.  akan menjadi  hantaman keras bagi ekonomi-politik Indonesia jika tidak berhati-hati dalam menetapkan langkah-langkah ekonominya. Sebab dalam skala ASEAN  Singapura, Malaysia, dan Thailand tergolong maju dalam ekonomi nasionalnya masing-masing, sehingga memiliki kemampuan memanipulasi pasar. Prinsip Sentralitas Pasar AEC berpotensi menjerumuskan kekayaan Indonesia dalam  ekonomi yang cenderung mengarah kepada kapitalisme monopolistik dengan jubah ASEAN.  
            Saat ini Indonesia memiliki ukuran ekonomi makro yang dijadikan acuan standar perekenomian nasional yang di beri nama MP3EI (Masterplan Percepatan, Pembangunan, dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang mencoba mensinergikan industri yang berbasis didaerah dengan industri yang berbasis dipusat, hal tersebut dianggap sebagai penguat basis ekonomi Nasional yang akan digunakan untuk persaingan ekonomi skala regional maupun global. Namun, seperti yang diketahui MP3EI merupakan program yang sangat dipaksakan, melalui pembagian koridor di lima pulau besar yang mencoba mengeruk habis kekayaan alam guna dijadikan sumber pemasukan Kas negara menurut para ekonom konvensional dalam negeri. Padahal tak bisa dipungkiri lagi, bahwa yang meraup untung atas mega proyek MP3EI bukanlah negara, melainkan mitra korporasi multinasionalnya yang digandeng negara-negara yang melakukan perjanjian-perjanjian sejenis FTA. Contohnya adalah dimana Indonesia mampu menjual dengan tarif murah dalam jumlah yang massif bahan baku murni ke Jepang dan China seperti yang dijelaskan sebelumnya, yang tentunya sangat positif untuk Industri besar dengan kelengkapan high-technology super canggih di negara-negara tersebut. Sementara imbas negatif tak henti-hentinya merasuki tubuh masyarakat kelas proletar yang tercipta akibat pemagaran/pembebasan-pembebasan lahan (Enclosure), perebutan sarana-sarana produksi, dan penjualan tenaga murah atas nama kepentingan MP3EI yang sama sekali membuat mereka tak tersentuh istilah kesejahteraan dan kemakmuran yang dijanjikan. Sudah saatnya indonesia melakukan evaluasi dan langkah-langkah progresif atas kesalahan-kesalahan kebijakan ekonomi-politik pro-pasarnya yang melecehkan kedaulatan konstitusi negara dan kedaulatan rakyat Indonesia. AEC (ASEAN Economic Community) terlanjur menjadi bagian dari kesepakatan Indonesia dengan sembilan negara lainnya untuk berjalan dalam lintasan pasar, pertanyaannya apakah akan bejalan berdampingan sambil berpegangan tangan seperti yang disimbolkan dalam komunitas ekonomi ASEAN? ataukah saling sikut atas nama baik kompetisi sehat dan mengeluarkan satu nama pemenang dalam gelanggang pertarungan bebas?

Tidak ada komentar: