Arah Asean Economic Community
Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) atau Asean Economic Community (AEC)
merupakan salah satu kebijakan ekonomi yang disepakati sepuluh negara di
wilayah Asia Tenggara yang tergabung dalam wadah ASEAN, salah satunya ialah
Indonesia. Hal prinsipil dalam kesepakatan tersebut adalah mengintegrasikan
ekonomi regional Asia tenggara pada satu pasar tunggal dan basis produksi
bersama. Sekilas terdengar positif di telinga ekonom konvensional Indonesia,
sebab hal tersebut dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk bersaing
dikancah ekonomi regional ataupun global yang tentu menurutnya akan menghadirkan
keuntungan bagi masa depan bangsa. Dengan adanya AEC, Indonesia diyakini mampu
memanfaatkan Potensi SDM serta SDA-nya untuk dikompetisikan pada pasar tingkat
regional tersebut. Namun jika melihat perekonomian nasional saat ini,
berdasarkan pengalaman kerja sama bilateral ataupun multilateral Indonesia,
sama sekali tak terlihat hal yang menguntungkan pada sisi perekonomian, bahkan
jauh dari harapan yang diidam-idamkan, sebab Indonesia hanya menjadi pemasok
keuntungan bagi mitra kerja samanya sekaligus menjadi sasaran pasar. Hal tersebut mesti dijadikan pelajaran
jika Indonesia tidak ingin kembali menjadi objek pasar pada kesepakatan ekonomi
kawasan Asia tenggara (AEC) yang lebih kompetitif yang didukung dengan
kesepakatan kebijakan penghilangan beberapa filter seperti tarif bea masuk dan
keluar ataupun halangan yang non-tarif sebagai hasil pencabutan batas-batas
nasionalitas, geografis, dan teritorial atas bangsa-bangsa di dalam lingkup
ASEAN.
AEC adalah salah satu realisasi visi
ASEAN yang digadangkan akan dimulai tahun 2015 mendatang, yang pada awalnya
disepakati dalam ASEAN Summit yang diadakan di Kuala Lumpur tahun 1997 silam akan
diimplementasikan pada tahun 2020. Percepatan
yang tiba-tiba dilakukan dengan alasan penyesuaian dengan perkembangan Globalisasi
Internasional ini tentunya akan merugikan negara-negara ASEAN yang belum
memiliki persiapan menghadapi persaingan bebas dan hanya akan menguntungkan
negara-negara yang lebih maju dibidang perekonomian nasionalnya yang telah
memiliki perencanaan strategi dan persiapan matang seperti Singapore, Malaysia,
dan Thailand. Kendati demikian, ekonom dan pemerintahan di Indonesia tetap optimis menghadapi tantangan tersebut. Sikap optimistis yang sering
diperlihatkan bangsa Indonesia sebenarnya sangat tidak berdasar, sebab hal yang
sama sering diperlihatkan ketika Indonesia menyepakati perjanjian-perjanjian
kerja sama yang dimana pada pertengahan jalan hingga akhir jalan, Indonesialah
yang merugi dengan kesepakatan-kesepakatannya sendiri. Dalam ruang lingkup ASEAN,
telah beberapa kali muncul kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan,
diantaranya AFTA (Asean Free Trade
Agreement) pada tahun 1995, AANZFTA (ASEAN-Australia-New
Zealand Free Trade Agreement) pada tahun 2009, ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) yang diimplementasikan tahun
2010. Kerja sama ASEAN-China dalam wadah ACFTA terbukti merugikan Indonesia,
sebab kesepakatan tersebut menjadikan Indonesia sebagai Importir terbesar di
ASEAN, dan menguntungkan china yang malah menjadikan Indonesia sebagai pasar
potensialnya, hal tersebut mengakibatkan defisit perdagangan antara
Indonesia-China mencapai US$ 1,5 miliar (Rp. 16,9 triliun) sepanjang tahun
2014. Hal itu terjadi karena komposisi ekspor Indonesia ke China di dominasi
komoditas primer (bahan mentah) yang tidak memiliki nilai lebih/nilai tambah (Surplus Value) karena belum tersentuh Medium-tech ataupun High-Tech. China juga mendapat manfaat yang besar dengan menjadikan
Indonesia sebagai sumber bahan baku Industrinya karena Indonesia tak punya
industri hulu yang mandiri. untuk sejumlah SDA, China sangat bergantung pada
impor komoditas primer dari Indonesia seperti batubara muda atau lignite (90 %), biji aluminium
(67 %), nikel (60 %), dan miyak sawit (45 %) dan batu bara (24 %) semuanya
dalam angka yang massif, namun hasilnya sama sekali tak menghidupi hajat hidup
orang banyak khususnya bagi ekonomi Indonesia. Kenyataan tersebut hanyalah satu
dari sekian banyak kerugian Indonesia yang selalu ceria menyambut ajakan kerja
sama yang ditimpali kesepakatan-kesepakatan
absurd.
Seperti yang diketahui, ada 5 hal
yang akan diimplementasikan dalam kebijakan AEC tersebut, yakni ; Liberalisasi
arus barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan arus
bebas tenaga kerja ahli/terampil. Konsekuensi dari AEC sangatlah buruk bagi
ekonomi Indonesia, jika pengelolaan dan pengorganisasian lembaga yang mempunyai
otoritas dan yang terkait atas ke-5 hal tersebut tidak mampu menetapkan sikap
tegas nasional. Sikap yang dimaksud adalah pengelolaan yang mempertimbangkan
situasi nasional, perencanaan strategi ekonomi-politik nasional yang mesti
tetap melakukan pemilahan dan filterisasi terhadap liberalisasi ke-5 hal tersebut, agar
tak jatuh dalam jurang yang mengantarkan indonesia kepada malapetaka krisis
ekonomi dan politik nasional, mengingat keadaan ekonomi dan kesiapan
infrastruktur serta Industri manufaktur Indonesia jauh dibawah rata-rata.
Artinya, Apapun jenis kesepakatannya, sebaiknya ekonomi nasional adalah
prioritas utama, dan tidak menyerahkan sepenuhnya aset negara pada pasar
tunggal dan memasukkannya tanpa batas dalam basis produksi bersama dibawah
payung ASEAN, dengan dalih pemerataan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia
Tenggara belum tentu menguntungkan bagi
Indonesia meskipun menjadi konstributor terbesar di ASEAN dari sisi Luas
wilayah, SDA yang melimpah, dan SDM yang mumpuni dari segi kuantitas. Indonesia
mesti jeli menetapkan langkah di medan AEC, sebab kompetisi liberal berprinsip
yang kuatlah sebagai pemenang, dan yang kalah siap dipecundangi.
Jelas AEC mengarah kepada
pengontrolan ekonomi kawasan Asia Tenggara melalui sentralitas pasar dan
pengelolaan basis produksi bersama sebagai pilar utamanya. AEC juga mengarahkan
negara-negara ASEAN untuk berdaya saing tinggi dengan beberapa Indikatornya,
yakni ; kebijakan persaingan yang diakui bersama, perlindungan konsumen,
pembangunan Infrastruktur, perpajakan, dan I-Commerce. Kompetisi akan semakin
meluas sampai kepada akar rumput pedesaan, sebab penghilangan batas wilayah
kompetisi. Dan akar rumput akan terkejut dengan pola persaingan bebas yang
merambah sampai seluas itu, dengan demikian akan menjadi arena pasar potensial
juga kedepannya. Sektor pertanian yang dihuni petani-petani tradisional yang
informalis akan bertarung langsung dengan perusahaan-Perusahaan benih pertanian
yang memperagakan high-tech miliknya.
Sesuai dengan salah satu pilar AEC yakni menciptakan kawasan pembangunan
ekonomi yang merata, dan indikatornya adalah pengembangan Usaha Kecil Menengah
(UKM) di tiap Negara-negara ASEAN, dan sektor pertanian menjadi sasaran utama.
Melihat konsepsinya, jelas AEC menginginkan semua jenis usaha dan dalam bentuk
apapun akan di Integrasikan pada pasar dan basis produksi tunggal milik ASEAN,
yang diperkuat dengan keinginan agar tiap usaha bersertifikasi ASEAN.
AEC dan wabah
Kapitalisme
Asas ekonomi “free trade” yang telah
dicanangkan dan didengungkan berabad-abad yang lalu kini menjadi hal yang
paling praktis di berbagai negara-negara penganut demokrasi liberal, dan paling
mendominasi di belahan dunia saat ini. Dalam buku “whealth of nations” karya
Adam Smith, menjelaskan bagaimana mekanisme pasar menjadi patron kemakmuran
bangsa-bangsa dan peningkatan kesejahteraan bangsa- bangsa yang bersanding
dengan perdagangan. Yang dimana penganut ekonomi liberal sampai saat ini masih
meyakini bahwa liberalisasi barang, jasa, investasi dan modal adalah Indikator
penting yang bisa membawa kesehatan ekonomi bangsa-bangsa. Dan pemikiran ini
pula-lah yang digadang-gadangkan oleh petinggi-petinggi ASEAN yang mencoba
pembuktian kemakmuran dan kesejahteraan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara
melalui konsepsi Asean Ekonomic Community-nya. Jika anutannya adalah wacana
ekonomi pasar Adam Smith, david Ricardo, dan Friedrich Hayek yang mengembangkan
basis laissez faire-nya maka jelas
ASEAN menghendaki “Invisible hand”,
dimana kuasa Negara dikikis habis atas kepemilikan SDM dan SDA-nya, serta
seluruh sarana penunjang produksi mutlak dipercayakan pada korporasi
sepenuhnya.
Dengan demikian tiada perbedaan
antara kebijakan AEC dengan Kebijakan ekonomi Global dengan jubah-jubah FTA (Free Trade Agremeent) yang dicanangkan
WTO, IMF, dan World Bank sekalipun. Wacana Globalisasi telah merubah dan
melemahkan prinsip kedaulatan negara atas segala kepemilikan sumber dayanya,
dan memperkuat kedaulatan korporasi-korporasi multinasional dalam pengontrolan
ekonomi bangsa-bangsa. Seperti yang diketahui Demokrasi Liberal tdak hanya
memberikan kekuatan ekonomi pada korporasi, tetapi juga membukakan kerang kekuatan politik yang seluas-luasnya yang
kemudian akan mendukung proses Deregulasi, privatisasi, dan Liberalisasi. Dalam
piagam ASEAN Bab III, pasal 5 yang membahas Hak dan Kewajiban Negara Anggota
juga menghendaki kewajiban negara untuk membuat legislasi yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan ASEAN, termasuk AEC. Maka prinsip kapitalisme yang terdiri
atas akumulasi kekayaan, eksploitasi manusia dan alam, serta ekspansi
berkelanjutan masih akan menjadi praktik-praktik yang akan disaksikan
negara-negara berkembang lingkup ASEAN. Dalam sejarahnya, Asia tenggara adalah
wilayah yang menjadi korban globalisasi dengan ciri mendasar, menipisnya ruang
dan merapatnya waktu transaksional dalam bidang ekonomi, dan terbukti dimana
modal dan kapital bisa berpindah dari satu negara ke negara lain dengan waktu
yang relatif singkat pada saat gelombang krisis melanda. Bisa dikatakan AEC (ASEAN Economic Community) adalah fase
globalisasi dalam ruang lingkup regional Asia Tenggara. Dengan kata lain bangsa- bangsa yang telah menyatu dalam
lingkup kesepakatan-kesepakatan ekonomi kawasan regional tersebut tetap
mengintegrasikan diri pada basis ekonomi global, dimana dalam pilar ke-4 AEC
mempertegas keniscayaan Integrasi dengan perekonomian global . Seperti halnya
kesepakatan-kesepakatan regional lainnya, diantaranya adalah NAFTA (North American Free Trade Agreement),
dan juga APEC (Asia Pasific Economic
Confrence) yang mendukung keseluruhan agenda perdagangan global yang
dilancarkan WTO (World Trade
Organization).
Mansour Fakih menegaskan bahwa globalisasi adalah
salah satu fase perwujudan kapitalisme. Meskipun Globalisasi selalu diwacanakan
dengan pendekatan istilah era modern atau era masa depan, yang dielu-elukan
menggandeng pertumbuhan ekonomi secara global dan kemakmuran global bagi semua
umat manusia, globalisasi sesungguhnya hanyalah proses evolusi kolonialisme
kedalam bentuk yang lebih baru dan halus (Neo-Liberalisme). Pembentukan Perjanjian-Perjanjian Ekonomi
kawasan regional tentunya tidak akan lepas dari pengintegrasiannya pada ekonomi
global, karena inisiatif munculnya FTA-FTA ditiap wilayah dan kawasan berasal
daripada konsepsi ekonom-ekonom global itu sendiri, guna memanfaatkan
perangkat-perangkat lokal yang berada di luar struktur korporasi untuk juga menghamba pada globalisasi kapitalisme. Perlu
diketahui bahwa didalam Piagam ASEAN ada beberapa peraturan yang mengikat
Negara-negara anggota pada kepentingan ekonomi kawasan dan penghambaan negara
pada mekanisme pasar. Hal tersebut diatur dalam BAB 1 tentang tujuan dan
prinsip, Pasal 2, ayat 2, poin (n) Piagam Resmi ASEAN yang berbunyi “berpegang teguh pada aturan-aturan
perdagangan multilateral dan rejim-rejim yang didasarkan pada aturan ASEAN
untuk melaksanakan komitmen-komitmen ekonomi secara efektif dan mengurangi
secara progresif ke arah penghapusan semua jenis hambatan menuju ekonomi
kawasan, dalam ekonomi yang digerakkan oleh pasar”.
Dampak dari beberapa perjanjian-perjanjian yang
disepakati Indonesia dengan berbagai elemen regional ataupun global sangatlah
miris dan memilukan. Di samping melukai kedaulatan rakyat juga membeberkan
kacanggungan negara mempertahankan kedaulatannya sendiri, dan mencoreng
konstitusi atas nama penggarong kapital. Hal ini akan terus berlanjut dalam
bentuk apapun jika bertindak masih atas nama Globalisasi. Globalisasi
dijalankan oleh tiga aktor pentingnya, yakni MNCs (Multi-National Corporations) sebagai petarung handal
ekonomi-politiknya, WTO (World Trade
Organization) sebagai Dewan Perserikatan perdagangan bebasnya, Dan Lembaga
Finansial Internasional IMF (Internasional
Monetery Found) Serta Bank Dunia
yang mengatur persoalan-persoalan seputar Investasi, berikut negara-negara yang
hanya dijadikan sirkuit pendukung pasar. AEC (ASEAN Economic Community) tentu
akan menjadi arena pertarungan sengit antara raksasa-raksasa yang memiliki
kemampuan skala besar milik petarung-petarung MNC dan tentunya kemenangan
mutlak berada ditangannya yang terkepal. akan menjadi
hantaman keras bagi ekonomi-politik Indonesia jika tidak berhati-hati
dalam menetapkan langkah-langkah ekonominya. Sebab dalam skala ASEAN Singapura, Malaysia, dan Thailand tergolong
maju dalam ekonomi nasionalnya masing-masing, sehingga memiliki kemampuan
memanipulasi pasar. Prinsip Sentralitas Pasar AEC berpotensi menjerumuskan
kekayaan Indonesia dalam ekonomi yang
cenderung mengarah kepada kapitalisme monopolistik dengan jubah ASEAN.
Saat ini Indonesia memiliki ukuran
ekonomi makro yang dijadikan acuan standar perekenomian nasional yang di beri
nama MP3EI (Masterplan Percepatan,
Pembangunan, dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang mencoba mensinergikan
industri yang berbasis didaerah dengan industri yang berbasis dipusat, hal
tersebut dianggap sebagai penguat basis ekonomi Nasional yang akan digunakan
untuk persaingan ekonomi skala regional maupun global. Namun, seperti yang
diketahui MP3EI merupakan program yang sangat dipaksakan, melalui pembagian
koridor di lima pulau besar yang mencoba mengeruk habis kekayaan alam guna
dijadikan sumber pemasukan Kas negara menurut para ekonom konvensional dalam
negeri. Padahal tak bisa dipungkiri lagi, bahwa yang meraup untung atas mega
proyek MP3EI bukanlah negara, melainkan mitra korporasi multinasionalnya yang
digandeng negara-negara yang melakukan perjanjian-perjanjian sejenis FTA.
Contohnya adalah dimana Indonesia mampu menjual dengan tarif murah dalam jumlah
yang massif bahan baku murni ke Jepang dan China seperti yang dijelaskan
sebelumnya, yang tentunya sangat positif untuk Industri besar dengan
kelengkapan high-technology super
canggih di negara-negara tersebut. Sementara imbas negatif tak henti-hentinya
merasuki tubuh masyarakat kelas proletar yang tercipta akibat
pemagaran/pembebasan-pembebasan lahan (Enclosure),
perebutan sarana-sarana produksi, dan penjualan tenaga murah atas nama
kepentingan MP3EI yang sama sekali membuat mereka tak tersentuh istilah
kesejahteraan dan kemakmuran yang dijanjikan. Sudah saatnya indonesia melakukan
evaluasi dan langkah-langkah progresif atas kesalahan-kesalahan kebijakan
ekonomi-politik pro-pasarnya yang melecehkan kedaulatan konstitusi negara dan
kedaulatan rakyat Indonesia. AEC (ASEAN
Economic Community) terlanjur menjadi bagian dari kesepakatan Indonesia
dengan sembilan negara lainnya untuk berjalan dalam lintasan pasar,
pertanyaannya apakah akan bejalan berdampingan sambil berpegangan tangan
seperti yang disimbolkan dalam komunitas ekonomi ASEAN? ataukah saling sikut
atas nama baik kompetisi sehat dan mengeluarkan satu nama pemenang dalam gelanggang
pertarungan bebas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar