Kamis, 07 Mei 2015

Resensi Buku "Teguh Anak Jadah"

JUDUL           : TEGUH ANAK JADAH
PENULIS        : A.D. DONGGO
PENERBIT     : OMBAK
TAHUN           : TERBITAN PERTAMA THN 2005
TEBAL            : iv + 436 hlm : 11.5 x 17 cm
ISBN                : 979-3472-20-0


Dengan membaca judulnya saja Teguh Anak Jadah, tingkat kemungkinannya sangat tinggi orang bakal mengira sekaligus menilai, bahwa ini adalah novel yang berisi paragraf-paragraf yang menyajikan peristiwa imajinatif yang berkesimpulan akhir menjawab mengapa Teguh terlahir sebagai anak jadah? Atau bagaimana Teguh menjalani nasib buruknya? Ataukah pembaca  mencoba memprediksikan kisah Teguh di sepanjang halaman hanya sebatas pencarian identitas dirinya, ibu yang rela melahirkannya tanpa Ayah? Dan Ataukah mungkin juga pembaca akan segera menyimpulkan bahwa di akhir kisah, Teguh baru menyadari dirinya adalah anak jadah karena penyelidikannya atas dasar keingintahuannya yang tinggi? Judul itu memang menarik sebab menimbulkan banyak prediksi kisah yang pada akhirnya menyisakan deretan prediksi yang rupanya meleset. Siapa yang bakal menyangka jika ternyata cakupan novel ini sangatlah kompleks.

A.D. Donggo tentu saja mengisahkannya secara apik dengan pilihan-pilihan irama cerita yang sama sekali berbeda dengan novel pada umumnya. Bagaimana ia memasukkan banyak karakter dalam cerita, dan berbagai macam polemik-polemik. Tentu saja ceritanya dibuat kompleks dan punya kesan yang luas, dan karenanya kisah di dalam novel ini tidak berarti sosok Teguh sang tokoh utama adalah tokoh  tunggal yang dikisahkan,  berikut  problem pribadinya. Pembaca akan tertegun dengan banyaknya relasi yang terkait di novel yang berhalaman 400-an tersebut. Dengan demikian ada 20 bab yang menjelaskan ragam latar kehidupan yang terpisah tapi tetap terkait dengan sosok tokoh utama.

Pada dasarnya orang juga akan mengira novel karya A.D. Donggo tersebut hanyalah novel kisah biasa. Sama seperti novel yang mengisahkan kisah romantis, kisah heroik, ataukah kisah orang jahat yang berubah menjadi baik dan bijak seperti romansa pasaran. Namun, seperti yang saya sebutkan sebelumnya karya ini cakupannya kompleks. Itu berarti romantika, kepahlawanan, kebijakan ataupun kebajikan, kejahatan, kebaikan, intrik, tercakup kedalamnya. Yang akhirnya itu semua dibungkus dalam bingkisan yang penuh kesan kritis. Hal yang sangat jarang saat sekarang ini. Yah lagi-lagi harus penulis katakan, kagumlah kita pada karya yang selalu memberikan gambaran pokok dari problem kemanusiaan yang nyata terjadi. Artinya, kisah Teguh ini tak sepenuhnya imajinasi murni, namun berupa gambaran nyata sebuah bangsa dan manusianya yang sedang melawan arus dehumanisasi yang dikumandangkan oleh suatu rezim berkuasa. Terlepas dari fiktif atau tidaknya tokoh Teguh dan yang lainnya, Novel ini telah berhasil menjelaskan sedikit banyaknya kepongahan sebuah rezim korup yang pernah mengendarai sebuah  negara-bangsa. Dan itu adalah catatan sejarah yang penting.

Kisah ini dibuka dengan dialog antara Ratih dan Badri di sebuah kota saat teguh sudah berusia tiga tahun. Kota itu adalah Jakarta, Ibu kota Indonesia. Kota yang selalu menjadi mimpi buruk bagi Ratih. Teguh tentunya sangat mengenal dekat Ratih, sebab ialah ibunya. Sementara Badri tidak dikenalnya sama sekali. Siapa pula Badri ini? Ialah sosok lelaki yang pernah dijumpai Ratih tiga tahun silam di kota yang sama. Tepat kurang lebih sembilan bulan sebelum Teguh dilahirkan ke dunia pongah ini tiga tahun yang lalu itu. Ratih hanya bertanya pada Badri, “Bentuk wajah Teguh, Apakah mengambil bentuk wajahmu?” Ratih mencoba memberi pertanyaan yang sesungguhnya untuk meyakinkan jikalau Teguh adalah benih darinya. Dan memang wajah teguh sepenuhnya menjiplak bentuk wajah Badri. Namun Badri menganggap pengakuan Ratih hanyalah bualan besar. Terlebih ketika Ratih menceritakan lagi pertemuan awal mereka di suatu rumah bordil, tempat Badri selalu datang dengan keluh-kesah sebagai seorang suami dari istri yang tidak pernah melayani dengan baik yang belakangan diceraikannya. “Kau adalah seorang pelacur, tidak mungkin anak itu berasal dari benihku,” demikianlah reaksi Badri. Dan kurang lebih seperti itulah cerita berawal.

Berbeda dengan kisah kebanyakan anak jadah lain, yang selalu saja tidak pernah disempatkan menghirup udara diatas dunia yang penuh kesesatan ini, Teguh justru terlahir dengan selamat dengan pertumbuhan yang normal. Entah apa yang mendorong Ratih mengambil langkah yang berbeda dengan para pelacur sejenisnya, menyelamatkan benih pelanggan. Bukankah itu konyol untuk profesinya? Ataukah itu adalah kehendak Tuhan? Inilah kemampuan sang novelis menyusun ceritra yang berbeda. Teguh bahkan tumbuh menjadi anak yang cerdas, menurut pengakuan Harjana yang melakoni tokoh Pak Guru di Sekolah Dasar tempat teguh sekolah. Dan sosoknya adalah orang yang selalu memberi perhatian khusus pada teguh, bukan hanya karena kecerdasan Teguh, tapi dorongan lain. Yakni; keinginan untuk menikahi Ratih, ibunya Teguh. Menurutnya ia suka sekaligus mengagumi Ratih yang membesarkan teguh soerang diri, Dan Ratih adalah janda tercantik yang masih tampak muda sebagai sumber kekaguman lainnya. Namun lamaran Harjana ditolak oleh Ratih. Bukan karena ia berperawakan kasar laiknya pekerja kasar, tapi karena pendirian Ratih yang takut jika rahasia sebenarnya terbongkar. Bahwa ia bukanlah Janda, tetapi bekas pelacur yang hina dan tidak punya tempat baik dalam tatanan sosial.

Teguh akhirnya harus mendengarkan pengakuan ibunya perihal siapa ayahnya yang selalu jadi pertanyaannya ketika sekolah dulu. Ia mendapatkan jawaban itu di kamar kostnya di kota jakarta tempatnya berkuliah. Dan barulah batinnya tergopoh-gopoh dan rapuh, mengetahui ia terlahir dari rahim seorang pelacur yang tidak diketahui ia adalah benih dari lelaki mana. Namun pilihan waktu ibunya sangat tepat, ia memilih waktu ketika Teguh berada pada posisi yang telah cukup dewasa. Saat dimana ia menjadi mahasiswa kritis terhadap segala problem sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Dan pada akhirnya ia mengakuinya dengan tabah dan ikhlas menerima statusnya. Bagaimanapun dia tidak akan memandang sebelah mata orang yang telah menyekolahkan, menghidupi, dan membuatnya tumbuh sehat dengan penghasilan dari usaha kelontong dan kredit pakaian jadi yang dimiliki ibunya itu. Lagian itu murni kecelakaan sistem kehidupan bangsanya. Ibunya tidak akan menyerahkan diri kedalam perangkat tikus. Ia telah dijebak oleh seseorang yang menawarkan kerja dengan penghasilan lumayan. Dan ternyata yang ia maksud rumah bordil.

Dan rupanya itu adalah kekuatan baru, sebab pertanyaannya sejak belia telah terjawab. Teguh menjadi mahasiswa yang kian kritis terhadap problem kenegaraan. Bersuara lantang dalam mimbar-mimbar orasi setiap demonstrasi digelar. Berada dalam lautan rakyat indonesia menuntut mundur penguasa otoriter, Rezim korup, kolusi, nepotisme. Membersihkan sisa-sisa rezim itu yang masih bercokol di berbagai instansi penting, serta menuntut para pemangku kepentingan rezim saat itu diadili seadil-adilnya. Dan sikap teguhnya ini akhirnya mengundang amarah dari Tuan Harso Widagdo, salah satu pemilik kantor dagang yang merupakan kaki tangan rezim itu. Dan ia adalah ayah dari Rini, sosok yang selalu perhatian dan juga aktif bersamanaya dalam lautan demonstrasi. Dalam tahap inilah kisah penuh intrik disajikan. Kontradiksi dan kontroversi menjadi sebab cerita ini menegangkan, penuh kecurigaan, penuh prasangka, hingga kemungkinan berakhir dengan misteri seperti rezim itu sendiri.

Sari, Nyonya Harso, Rina, Kadar, Kasman, Reggina, Anita, Ade Marangga, Ikraman, ami, menjadi karakter yang beragam, melengkapi keseluruhan kisah ini. Sekali lagi, sepertinya Novelis berusaha untuk tidak menjadikan Teguh patron yang mendominasi kisah meskipun namanya menjadi bagian dari judul. Novelis justru berusaha keras bercerita tentang suatu bangsa, yah Indonesia. Kisah ini mengkaitkan begitu banyak problematika dalam satu karya goresan pena. Penguasa lalim, pelacur dan pezina yang tidak melulu perempuan, anak-anak sekolahan yang punya banyak latar, guru yang perhatian, tentang ayah dan ibu, pengusaha kecil dan besar, mahasiswa dan mahasiswi, kontras desa dengan perkotaan, percintaan, gejolak batin, cemburu, curiga, pendirian dan keteguhan hati, dan masih banyak lagi. Bukankah itu semua ada dalam teritorial suatu negara? Yah itu semua berbincang tentang Indonesia.

Novelis juga mencoba meyakinkan pembaca lewat alur ceritanya bahwa sebuah bangsa seyogyanya akan terus terpuruk jika terus-menerus terdikte dengan kepentingan yang tidak lahir untuk kemakmuran bangsa itu sendiri. Kepentingan yang lahir dan datang dari luar menyerbu secara membabi buta bumi putera dan puteri Indonesia. Apa yang ia singgung seperti Negara Adidaya atau adikuasa selalu saja merasa superior menjalankan misi penguasaan ruang dan waktu dengan menggunakan defenisi kekuasaan mereka sendiri. Amerika, Mafia Barkeley, Pemimpin negara berkembang yang otoriter, hanyalah siklus kecil komunikasi kekuasaan material atas manusia dan alam yang ada di Bumi manusia.

Lalu bagaimana kisah ini berakhir? Di bagian akhir Teguh mencoba meyakinkan Nyonya Harso yang telah sadar bahwa rezim yang dibelanya bersama Tuan harso telah merenggut kemanusiaan umat manusia. Nyonya Harso tersadar ketika suaminya telah diyakininya diculik oleh rezim itu sendiri, sebab ia mungkin dinilai gagal membangkitkan rezim untuk kembali berkuasa hingga di cap penghianat. Hingga suatu hari Teguh membaca kabar dari koran bahwa telah ditemukan mayat tambun di suatu tempat dan dibawa ke suatu rumah sakit. Rasa penasaran teguh membawanya ke rumah sakit, dan ia sangat meyakini mayat tambung itu adalah Tuan Harso Widagdo. Namun ada kejanggalan ketika ia membawa Rini dan Nyonya Harso serta beberapa kerabatnya ke rumah sakit itu guna meyakinkan Nyonya Harso yang tidak percaya pada informasi teguh. Teguh kebingungan. Mayat tambun itu telah tiada di tempatnya semula. Bahkan jejaknya pun sama sekali tidak ada. Lagi-lagi misteri, seperti budaya yang dicipta rezim itu selama 32 tahun. Itu bukanlah akhir.

Ctt: Novel ini tentang anak jadah yang kisahnya memberi gambaran tentang kompleksitas problem kebangsaan. Siapa yang menyangka?

      Soal Pelacuran, ini menjadi sesuatu yang kian hari mencari bentuk terbarunya. Jika Ratih adalah orang yang murni terjebak dan sama sekali tak berniat sedikitpun masuk dalam dunia kelam prostitusi, di masa kini justru banyak beragam motif yang mendasarinya. Motif ketercerabutan akses untuk kebutuhan ekonomi memang merupakan motif yang telah menyejarah bagi sebagian besar pekerja seks komersil, timpangnya struktur sosial dan ekonomi jelas menjadi faktornya, yang disebabkan oleh kapitalisme. Tapi kapitalisme memberi label sah pada profesi ini, mereka menciptakan kultur yang bahkan membuat orang akan menjual diri sesuka hati dan sebebas mungkin. Sehingga motif keterbelakangan ekonomi bukan lagi satu-satunya sebab kausal prostitusi. Orang miskin, berkecukupan menengah, kaya sekalipun, dibuatnya sesuka hati dan penuh kegirangan mengakses kerja hina itu, seolah kehinaan dan kezaliman itu telah bias. Yah, prostitusi menjadi bebas layaknya sistem ekonomi kita, transaksinya bisa dimanapun, pasarnya luas, dan fasilitasnya sering ditanggung secara individu, akhirnya rumah bordil tak lagi sekeren dulu. Inilah serangan budaya, gaya hidup yang diciptakan dan didorong secara radikal oleh kapitalisme. Anda akan tercengang ketika mewawancarai salah satu gadis dan mengakui menjual diri hanya karena ingin memiliki Android tipe terbaru atau untuk membeli celana jeans pendek ketat yang kantongya jauh lebih panjang. Lalu dia mengatakan lagi, sebenarnya bukan menjual diri, tapi itu adalah kesenangan yang menghasilkan untung. Bukankah itu bagus??? Jangan menggeleng, itu sudah biasa, anda akan mendapat jawaban yang beragam dan aneh lebih banyak lagi dari contoh barusan.


Tidak ada komentar: