Kamis, 17 September 2015

Semangat Yang Beralih

Saya pernah membaca kisah Minke yang dibingkai dalam goresan pena Pramoedya, Tetralogi Pulau Buru. Saya membaca dari bagian pertama, Bumi manusia, Anak semua bangsa, Jejak langkah, hingga Rumah kaca. Orang-orang tentu sudah mengetahui bahwa novel itu adalah produk sejarah yang penting untuk dibaca generasi muda, guna memahami identitas diri sebagai pribumi dan bangsanya sendiri sebagai bagian dari bumi manusia. Yah, setidaknya mengantarkan kita kepada paham yang sungguh membenci keserakahan yang menggumpal dan mewujud menjadi kolonialisme atau imperialisme itu.

Mencari Cermin Kepedihan

Baru-baru ini penyakit yang melekat ke sebagian besar mahasiswa rantau mengunjungiku, ialah Maag. Bertahun-tahun saya terbilang cukup sukses memanipulasi kebutuhan perut, yang isinya usus dan lambung itu guna terhindar darinya, dan pada akhirnya saya lengah, maka terjadilah peradangan yang membuat perutku nyeri dan keram sejak pukul 3.00 dini hari hingga magrib datang lagi. Rasanya betul-betul mengerikan, tiada nafsu apapun yang ada pada diri di saat seperti itu, kecuali untuk muntah dan mengeluh berikut rintihan-rintihan yang seharusnya tidak diperlukan untuk seorang pria. Seingatku, ada beberapa teman yang saya repotkan, termasuk sang pemilik rumah yang saya tumpangi, Dg. Palinrang yang sejak pagi merawatku bagaikan seorang suster lulusan kampus keperawatan yang betul-betul manusiawi. Ia merawat bukan karena motif tertentu, seperti uang atau apapun yang membuat sebagian besar orang pragmatis. Itu nampak tulus seperti tugas kemanusiaan yang tak diarahkan oleh gelar-gelar apapun. Atau boleh jadi, Ia hanya tidak ingin ada mayat perantau yang tergeletak di rumahnya, sebab urusannya bakal panjang.

Senin, 17 Agustus 2015

"Andai kata aku seorang Indonesia merdeka"

1913 silam sebuah artikel diterbitkan oleh surat kabar De Express yang dipimpin Douwes Dekker. Judul artikel itu kira-kira seperti ini, "Als ik eens Nederlander was." Yah, Artikel itu goresan pena Soewardi Soerjaningrat, atau yang akrab di telinga kita, Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan kita sendiri. Artikel tersebut menggemparkan seluruh struktur pemerintahan Hindia-Belanda saat itu, bagaimana tidak, artikel itu adalah sindiran sinis sekaligus suara seluruh pribumi yang terjajah mengendap-ngendap dalam tiap goresan huruf seraya berteriak di baliknya.

Rabu, 24 Juni 2015

Feminisme A la Kapitalisme

Suatu malam saya melihat sebuah program acara di TV yang isinya mayoritas perempuan. Tak usah kusebut program dan channel-nya, sebab akan berpotensi mempromosikannya, ataupun dicegat karena mencemarinya. Perempuan disebutkan menjadi subjek utama program tersebut, sebab program tersebut adalah program yang menghendaki kompetisi kecantikan. Lazimnya orang mengetahui program tersebut adalah pintu untuk mengakses dunia modeling yang konon penuh warna-warni dan kemewahan hidup. Dengan demikian, program ini dipenuhi dengan wajah-wajah yang menghiasi layar kaca dengan keeksotisannya, kecantikannya, dan tentu keseksiannya.

Angkara Hidup

Terperangkap pemuda dalam enigma
Menyimak mudinya melantunkan sastra
Tersadar dua insan dideru kama
Namun tak tersatukan di planet penuh angkara

Selasa, 16 Juni 2015

Sajak Malam Kelabu

Jauh di lubuk yang tengah nelangsa
Berjuta kenang teringat dikala memandang nebula
Mata berapi melihat kau memangsa
Tatkala si miskin kau tumbalkan demi nafsu asusila