"Merdeka
hanyalah sebuah jembatan. Walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu
jalan pecah dua, satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap
sama tangis!”
~
Soekarno ~
Ratusan
abad yang lalu, apabila kita telisik sejarah bangsa Indonesia hingga pada
tangga yang paling dasar menurut para sejarawan, maka hal yang akan ditemukan
adalah sebuah warna kehidupan pribumi primitif dibawah panji kebangsawanan.
Ketertinggalan ternyata mengundang kekuatan lain untuk menguasai bangsa ini
walaupun sebenarnya dalam tubuh bangsa ini termaktub kekuatan yang begitu
besar. Tanpa pertimbangan yang begitu panjang, beberapa kapal layar megah
kepemilikan bangsa Eropa berdatangan dengan dalih menjalin keakraban pada
wilayah perdagangan. Dengan melihat potensi kekayaan alam yang dimiliki begitu
melimpah, terutama bahan baku rempah, memancing hasrat kepemilikan secara
pribadi guna keuntungan yang begitu besar, mengundang gairah eksplorasi yang berlebih
untuk produksi yang berkelanjutan, dan memanggil pribadi-pribadi yang kokoh
dalam pendiriannya melakukan monopoli atas kekayaan alam itu.
Sejak
Cornelis de Houtman mendaratkan kapal berbendera belanda pertama kalinya di
Banten tahun 1595, maka saat itu pula semangat berdagang terakumulasi
terus-menerus sebelum akhirnya kongsi-kongsi perdagangan eropa betul-betul
menjajah beberapa daerah yang tersebar di Nusantara, yang kemudian dikenal
dengan sebutan Hindia-Belanda. Verenigde Oost-Indische Compagnie (VoC) boleh
dibilang mulai menjajah beberapa wilayah di Nusantara tahun 1610. VoC
memaksakan monopoli perdagangan, membangun benteng, dan menunjuk Gubernur
Jenderal Hindi- Belanda. Keinginan besar untuk menguasai beberapa daerah di
kepulauan nusantara selalu menemui kebuntuan yang disebabkan pada waktu yang
bersamaan berdiri kerajaan-kerajaan besar yang juga mempunyai wilayah kekuasaan
tersendiri. Kebuntuan itu akhirnya memuncak dengan pembubaran VoC yang
diakibatkan oleh korupsi yang berlebihan dari fungsionaris-fungsionarisnya dari
tataran paling bawah hingga pada Gubernur Jenderalnya. Hingga pada akhirnya
harus dipertanggungjawabkan pada pemerintah Belanda melalui penyitaan aset-aset
kekayaan VoC serta pengambilalihan wilayah-wilayah yang dikuasai untuk ganti
rugi dan pelunasan hutang-hutangnya.
Berawal
dari kebuntuan itu, Pemerintah Hindia-Belanda kemudian berupaya melakukan
pengkonsolidasian kekuasaan dari sabang sampai merauke. Tentunya untuk membuka
lebar pintu kolonialisme pada beberapa wilayah di nusantara sangatlah berat,
karena mendapatkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan besar yang ada, walaupun
demikian tahun 1912 perlawanan diseluruh wilayah akhirnya mampu diredam, dan
kerajaan-kerajaan besar mampu ditaklukkan dengan senjata yang lebih maju dan
modern yang nyatanya lebih dulu dimiliki Belanda, Fase itu sekaligus menjadi
awal dari Kolonialisme Belanda yang sesungguhnya terhadap alam dan pribumi
nusantara. Struktur kehidupan berbalik seketika, disamping penanaman budaya
yang baru masuk dan coba diperkenalkan, sontak pribumi tampak termenung melihat
hal-hal baru seperti itu. Sayang sekali hal-hal baru itu bukan sesuatu yang
harus dinikmati, tetapi sesuatu yang penuh ratapan. Orang-orang Eropa pun
mencoba memberikan gambaran peradaban bangsanya yang diagung-agungkan terhadap
pribumi kolot yang selalu terposisikan sebagai yang ter-jajah dan hina. Hingga
akhirnya mereka telah merasa bahwa Hindia Belanda ini adalah miniatur Eropa,
apapun yang bukan eropa tidak lain hanyalah budak, walaupun di Eropa sana para
pejuang menyuarakan anti perbudakan. Mereka menawarkan pendidikan tapi hanya untuk yang berbau Eropa, menawarkan
kesejahteraan tapi hanya untuk yang berkulit putih, memberikan kehidupan mewah
tapi hanya untuk bangsawan, disini jelas kita melihat perilaku diskriminatif
yang berlebihan terhadap pribumi yang pada awalnya adalah pemilik atas tanahnya
sendiri, penggarap untuk hidupnya, dan pemanen untuk kepentingan komunal.
Dengan
segala kebijakan pemerintah Hindia Belanda, yang dimana poin-poin pentingnya
adalah mengeruk kekayaan alam disatu sisi, dan mengeksploitasi tenaga pribumi
disisi lain, telah menjadikan nusantara lautan darah manusia yang dijadikan
tumbal atas kemakmuran dan kesejahteraan yang tidak pernah sama sekali
dirasakan pribumi itu sendiri. Praktik pembodohan dengan cara mengekang ruang
gerak pribumi termasuk dalam hal perluasan wawasan dan pengetahuan, pembatasan
pendidikan, dan terus menerus memberikan kesibukan untuk terus berada diruang
kerja yang sama sekali dia tidak tahu nilai atas kerjanya, kenyataan itu makin
memperjelas keterpurukan pribumi Hindia.
Keadaan
seperti ini terus berlanjut hingga beberapa abad lamanya, wajah kejenuhan mulai
tampak jelas atas kekangan yang tiada henti, tubuh yang mulai letih dan
berontak akibat tindasan yang tidak berujung, mata mulai melirik setiap celah
untuk coba membebaskan diri dari siksaan dan malapetaka rekayasa sang penguasa.
Beberapa tokoh pemuda mulai memikirkan langkah-langkah untuk membuka belenggu
penyiksaan dan penjajahan atas bangsa dan rakyat Hindia, itu terbukti dengan
banyaknya garis-garis pemikiran yang walaupun berbeda landasan dan ideologi
telah menyebarkan propaganda kemerdekaan. Alhasil, gerakan pemuda rakyat yang
mulai nampak ke permukaan di awal 1904-an membuat yang memegang posisi Gubernur
Jenderal Hindia Belanda menjadi geram. Bagaimana tidak, pengorganisasian massa
dari beberapa elemen di sepanjang daratan Nusantara telah merebak menjadi
aktivitas rutin rakyat.
Organisasi-organisasi
modern mulai tumbuh dan berkembang bak jamur diatas kayu yang lapuk, sebut saja
Syarikat Priyayi, salah satu bentuk hasil pengorganisasian kekuatan pribumi
oleh pemikiran dan gagasan R.M Tirtho Adhi Suryo. Organisasi yang menggunakan
kekuatan dagang sebagai salah satu instrumen perjuangan yang didalamnya terdiri
dari berbagai macam elemen masyarakat, walaupun pada awalnya hanya mampu
menghimpun kalangan Priyayi. Hal ini berawal dari keresahan R.M T.A.S melihat
realitas bangsanya yang kian hari makin tidak mampu menunjang kehidupan
harmonis bagi pribuminya, tidak terlihat sedikitpun penanda atau jaminan
kemakmuran dan kesejahteraan yang menjanjikan dikemudian hari atau beratus abad
kedepannya, serta tidak bisa dimenafikkan bahwa tidak ada lagi wajah
kemanusiaan bagi manusia-manusia berkulit cokelat di tanah subur ini. Hal lain
yang melatar-belakangi Ide R.M T.A.S adalah adanya perasaan iri terhadap etnis
Tiong Hoa pelarian yang berada di Hindia, mereka sampai sejauh itu melakukan
pengorganisasian kekuatan untuk bangsanya yang nan jauh di Tiongkok sana.
Perlawanan
itu makin jelas dengan adanya propaganda media yang dilakukan oleh R.M T.A.S
beserta pemuda lainnya. Jelas saja media yang berpihak, yang gencar melakukan
kritik keras terhadap segala bentuk kebijakan pemerintahan yang merugikan
rakyat dan sifatnya tidak manusiawi. Propaganda yang dilancarkan berhasil
membuka mata dan pikiran serta kesadaran sebagian besar pribumi, itu terbukti
dengan bertambahnya jumlah anggota organisasi yang terdaftar secara resmi dan
ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi. Kegiatan-kegiatan yang
bersifat agitatif pun begitu berkembang pesat di kalangan penggerak-penggerak
massa, istilah boycott pun menjadi senjata untuk sejenak membuat pemerintahan
genting.
Syarikat
yang didirikan oleh T.A.S memicu berdirinya organisasi kepemudaan modern baru
yang menjadikan pemuda sebagai central kekuatannya, sebut saja BU, SDI, SI, IP,
ISDV, serta beberapa study club yang didirikan sebagai wadah atau sarana
pendidikan alternatif bagi pribumi. Perkembangan pesat gerakan pemuda
melahirkan momentum-momentum penting dalam upaya emansipasi bangsa dari jeratan
kolonialisme, berikut tokoh-tokoh pemuda yang lahir gilang-gemilang mencetuskan
gelora yang menggebu-gebu. Kemerdekaan menjadi sesuatu yang kian marak
dielu-elukan di seluruh pelosok Nusantara, hingga kata itu kian lekat dengan
jiwa pribumi. Kesadaran yang telah lahir secara massif karena senasib sebangsa,
tak mampu lagi dibendung segala aktivitas progresifnya, sebab para pejuang
merasa demikian dekat dengan mimpi-mimpi emansipatifnya, demikian tak berjarak
lagi dengan khayalan dan obsesi kemerdekaannya.
Namun
apa yang diperjuangkan, melalui selebaran, melalui teriakan, melalui
pendudukan, melalui pemogokan, demonstrasi, dan bentuk aksi lainnya bukanlah suatu
tindakan khayal dan untuk cita-cita yang khayal pula, sebab perjuangan
betul-betul termanifestasikan dalam keseharian, dalam satuan-satuan yang
konkrit, huruf dan angka yang nyata, dan penuh penekanan pada cita-cita luhur
tiap umat, yakni kemerdekaan. Dan berkat tekad itu, berkat api semangat yang
membakar itu, suara pemuda dan pemudi yang menggelegar itu, berkat keyakinan
para pejuang itu, lahirlah sebuah “nasion”, lahirlah sebuah kekuasaan politik
rakyat, yang kemudian dilembagakan dalam bentuk sebuah “Negara”, lahirlah
semangat untuk hidup bersama dibawah naungan bendera penyatu, Ialah sebuah
bangsa yang diberi label “Indonesia” oleh para perhimpunan pemuda Intelek dari
Belanda, yang menurutnya nama itu dirujuk dari seorang ethnograf dari Inggris
sejak 1920-an, namun pengakuan Internasional baru saja didapati saat Proklamasi
Ir. Soekarno dan Moh. Hatta 17 Agustus 1945 silam, yang dimana atas desakan
para pemudalah mereka tergerak sebab pertimbangan yang amat pelik atas situasi Nasional
dan Internasional pula.
Kemerdekaan
yang diproklamirkan, mesti disadari hanyalah serupa bentuk patung yang belum
selesai terpahat seutuhnya menjadi objek seni yang bernilai, sebab kemerdekaan
yang diperoleh hanya berupa perrnyataan kemerdekaan secara politik, unsur
bangsa yang lain belum masuk kedalam pernyataan kemerdekaan yang mestinya
memberikan syarat universalitas itu. Kemerdekan Sektor Sosial-ekonomi bangsa,
Kemerdekaan atas pendidikan dan Kebudayaan, belum juga mampu terebut, sebab Imperialisme Ekonomi maupun
Imperialisme Kebudayaan tetap memiliki kepentingan hegemoni, sebagai aras
pemeliharaan hubungan kekuasaan yang terselubung. Dengan demikian, dapat kita
analisa, seorang pembesar tidak akan pernah melepaskan apa yang membuatnya
besar, Bangsa yang besar dan kaya karena jajahan teritori, ekonomi, dan budaya atas
bangsa lain, niscaya akan berberat hati bahakan enggan melepaskan hubungan
kekuasaannya itu.
Rupanya
pebacaan itu amatalah relevan hingga fase peradaban manusia modernistik ini, bahwa
di Dunia yang amat sempit ini, terdapat begitu banyak hal yang menggoda untuk
dimiliki, sehinggat terlihat tak memiliki batasan-batasan yang mampu
mengahalangi sekalipun. Bangsa-Bangsa besar, mencoba membangun Dunia Imperium
dengan menciptakan pembagian-pembagian kekuasaan berdasarkan
kekuatan-kekuatannya. Bangsa yang besar menjadi titik subordinat daripada
bangsa-bangsa kecil, sebaliknya bangsa-bangsa kecil jadi santapan rebutan
Bangsa-bangsa besar, merekalah Imperium yang tak akan pernah habisnya mengerok
apa yang dilihat timbul dipermukaan sebentuk wilayah teritori dan geografis
yang tentu terpelihara alam dan manusia di pedalamanya. Imperialisme Militer,
Ekonomi, dan Kebudayaan, dalam kacamata Internasional, hanya akan mendidik
bangsa-bangsa kecil menjadi lokalitas-lokalitas Imperium yang kelak akan jadi
penantang dan petarung sekaligus, Hingga Imperialime betul-betul tidak akan
pernah terpadamkan di muka bumi.
Sungguh
jelas, Bahwa perjuangan-perjuangan konkrit itu, tidaklah mesti sampai hanya
sekedar dalam bentuk pernyataan politik, atau bahkan jika sediakala telah muncul
pula penyataan ekonomi dan kebudayaan yang merdeka. Sebab, Sesungguhnya
kemerdekaan yang didapatkan oleh sebuah bangsa yang terperintah dan terjajah hanya
mengantarkan bangsa tersebut kepada penunjuk arah kemerdekaan yang hakiki,
perjalanan masihlah sangat panjang, sebab negara-negara yang pernah berkuasa,
ataupun sejenisnya, bahkan yang lebih dari itu, masih menggantungkan harapan
politiknya dengan hegemoni ekonomi dan kebudayaan imperialistisnya guna
pelanggengan kekuasaan yang tiada pintu akhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar