Senin, 29 Desember 2014

SEJARAH BEKAL KEMERDEKAAN


"Merdeka hanyalah sebuah jembatan. Walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu jalan pecah dua, satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis!”
~ Soekarno ~
Ratusan abad yang lalu, apabila kita telisik sejarah bangsa Indonesia hingga pada tangga yang paling dasar menurut para sejarawan, maka hal yang akan ditemukan adalah sebuah warna kehidupan pribumi primitif dibawah panji kebangsawanan. Ketertinggalan ternyata mengundang kekuatan lain untuk menguasai bangsa ini walaupun sebenarnya dalam tubuh bangsa ini termaktub kekuatan yang begitu besar. Tanpa pertimbangan yang begitu panjang, beberapa kapal layar megah kepemilikan bangsa Eropa berdatangan dengan dalih menjalin keakraban pada wilayah perdagangan. Dengan melihat potensi kekayaan alam yang dimiliki begitu melimpah, terutama bahan baku rempah, memancing hasrat kepemilikan secara pribadi guna keuntungan yang begitu besar, mengundang gairah eksplorasi yang berlebih untuk produksi yang berkelanjutan, dan memanggil pribadi-pribadi yang kokoh dalam pendiriannya melakukan monopoli atas kekayaan alam itu.
Sejak Cornelis de Houtman mendaratkan kapal berbendera belanda pertama kalinya di Banten tahun 1595, maka saat itu pula semangat berdagang terakumulasi terus-menerus sebelum akhirnya kongsi-kongsi perdagangan eropa betul-betul menjajah beberapa daerah yang tersebar di Nusantara, yang kemudian dikenal dengan sebutan Hindia-Belanda. Verenigde Oost-Indische Compagnie (VoC) boleh dibilang mulai menjajah beberapa wilayah di Nusantara tahun 1610. VoC memaksakan monopoli perdagangan, membangun benteng, dan menunjuk Gubernur Jenderal Hindi- Belanda. Keinginan besar untuk menguasai beberapa daerah di kepulauan nusantara selalu menemui kebuntuan yang disebabkan pada waktu yang bersamaan berdiri kerajaan-kerajaan besar yang juga mempunyai wilayah kekuasaan tersendiri. Kebuntuan itu akhirnya memuncak dengan pembubaran VoC yang diakibatkan oleh korupsi yang berlebihan dari fungsionaris-fungsionarisnya dari tataran paling bawah hingga pada Gubernur Jenderalnya. Hingga pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan pada pemerintah Belanda melalui penyitaan aset-aset kekayaan VoC serta pengambilalihan wilayah-wilayah yang dikuasai untuk ganti rugi dan pelunasan hutang-hutangnya.
Berawal dari kebuntuan itu, Pemerintah Hindia-Belanda kemudian berupaya melakukan pengkonsolidasian kekuasaan dari sabang sampai merauke. Tentunya untuk membuka lebar pintu kolonialisme pada beberapa wilayah di nusantara sangatlah berat, karena mendapatkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan besar yang ada, walaupun demikian tahun 1912 perlawanan diseluruh wilayah akhirnya mampu diredam, dan kerajaan-kerajaan besar mampu ditaklukkan dengan senjata yang lebih maju dan modern yang nyatanya lebih dulu dimiliki Belanda, Fase itu sekaligus menjadi awal dari Kolonialisme Belanda yang sesungguhnya terhadap alam dan pribumi nusantara. Struktur kehidupan berbalik seketika, disamping penanaman budaya yang baru masuk dan coba diperkenalkan, sontak pribumi tampak termenung melihat hal-hal baru seperti itu. Sayang sekali hal-hal baru itu bukan sesuatu yang harus dinikmati, tetapi sesuatu yang penuh ratapan. Orang-orang Eropa pun mencoba memberikan gambaran peradaban bangsanya yang diagung-agungkan terhadap pribumi kolot yang selalu terposisikan sebagai yang ter-jajah dan hina. Hingga akhirnya mereka telah merasa bahwa Hindia Belanda ini adalah miniatur Eropa, apapun yang bukan eropa tidak lain hanyalah budak, walaupun di Eropa sana para pejuang menyuarakan anti perbudakan. Mereka menawarkan pendidikan tapi  hanya untuk yang berbau Eropa, menawarkan kesejahteraan tapi hanya untuk yang berkulit putih, memberikan kehidupan mewah tapi hanya untuk bangsawan, disini jelas kita melihat perilaku diskriminatif yang berlebihan terhadap pribumi yang pada awalnya adalah pemilik atas tanahnya sendiri, penggarap untuk hidupnya, dan pemanen untuk kepentingan komunal.
Dengan segala kebijakan pemerintah Hindia Belanda, yang dimana poin-poin pentingnya adalah mengeruk kekayaan alam disatu sisi, dan mengeksploitasi tenaga pribumi disisi lain, telah menjadikan nusantara lautan darah manusia yang dijadikan tumbal atas kemakmuran dan kesejahteraan yang tidak pernah sama sekali dirasakan pribumi itu sendiri. Praktik pembodohan dengan cara mengekang ruang gerak pribumi termasuk dalam hal perluasan wawasan dan pengetahuan, pembatasan pendidikan, dan terus menerus memberikan kesibukan untuk terus berada diruang kerja yang sama sekali dia tidak tahu nilai atas kerjanya, kenyataan itu makin memperjelas keterpurukan pribumi Hindia.
Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga beberapa abad lamanya, wajah kejenuhan mulai tampak jelas atas kekangan yang tiada henti, tubuh yang mulai letih dan berontak akibat tindasan yang tidak berujung, mata mulai melirik setiap celah untuk coba membebaskan diri dari siksaan dan malapetaka rekayasa sang penguasa. Beberapa tokoh pemuda mulai memikirkan langkah-langkah untuk membuka belenggu penyiksaan dan penjajahan atas bangsa dan rakyat Hindia, itu terbukti dengan banyaknya garis-garis pemikiran yang walaupun berbeda landasan dan ideologi telah menyebarkan propaganda kemerdekaan. Alhasil, gerakan pemuda rakyat yang mulai nampak ke permukaan di awal 1904-an membuat yang memegang posisi Gubernur Jenderal Hindia Belanda menjadi geram. Bagaimana tidak, pengorganisasian massa dari beberapa elemen di sepanjang daratan Nusantara telah merebak menjadi aktivitas rutin rakyat.
Organisasi-organisasi modern mulai tumbuh dan berkembang bak jamur diatas kayu yang lapuk, sebut saja Syarikat Priyayi, salah satu bentuk hasil pengorganisasian kekuatan pribumi oleh pemikiran dan gagasan R.M Tirtho Adhi Suryo. Organisasi yang menggunakan kekuatan dagang sebagai salah satu instrumen perjuangan yang didalamnya terdiri dari berbagai macam elemen masyarakat, walaupun pada awalnya hanya mampu menghimpun kalangan Priyayi. Hal ini berawal dari keresahan R.M T.A.S melihat realitas bangsanya yang kian hari makin tidak mampu menunjang kehidupan harmonis bagi pribuminya, tidak terlihat sedikitpun penanda atau jaminan kemakmuran dan kesejahteraan yang menjanjikan dikemudian hari atau beratus abad kedepannya, serta tidak bisa dimenafikkan bahwa tidak ada lagi wajah kemanusiaan bagi manusia-manusia berkulit cokelat di tanah subur ini. Hal lain yang melatar-belakangi Ide R.M T.A.S adalah adanya perasaan iri terhadap etnis Tiong Hoa pelarian yang berada di Hindia, mereka sampai sejauh itu melakukan pengorganisasian kekuatan untuk bangsanya yang nan jauh di Tiongkok sana.
Perlawanan itu makin jelas dengan adanya propaganda media yang dilakukan oleh R.M T.A.S beserta pemuda lainnya. Jelas saja media yang berpihak, yang gencar melakukan kritik keras terhadap segala bentuk kebijakan pemerintahan yang merugikan rakyat dan sifatnya tidak manusiawi. Propaganda yang dilancarkan berhasil membuka mata dan pikiran serta kesadaran sebagian besar pribumi, itu terbukti dengan bertambahnya jumlah anggota organisasi yang terdaftar secara resmi dan ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi. Kegiatan-kegiatan yang bersifat agitatif pun begitu berkembang pesat di kalangan penggerak-penggerak massa, istilah boycott pun menjadi senjata untuk sejenak membuat pemerintahan genting.
Syarikat yang didirikan oleh T.A.S memicu berdirinya organisasi kepemudaan modern baru yang menjadikan pemuda sebagai central kekuatannya, sebut saja BU, SDI, SI, IP, ISDV, serta beberapa study club yang didirikan sebagai wadah atau sarana pendidikan alternatif bagi pribumi. Perkembangan pesat gerakan pemuda melahirkan momentum-momentum penting dalam upaya emansipasi bangsa dari jeratan kolonialisme, berikut tokoh-tokoh pemuda yang lahir gilang-gemilang mencetuskan gelora yang menggebu-gebu. Kemerdekaan menjadi sesuatu yang kian marak dielu-elukan di seluruh pelosok Nusantara, hingga kata itu kian lekat dengan jiwa pribumi. Kesadaran yang telah lahir secara massif karena senasib sebangsa, tak mampu lagi dibendung segala aktivitas progresifnya, sebab para pejuang merasa demikian dekat dengan mimpi-mimpi emansipatifnya, demikian tak berjarak lagi dengan khayalan dan obsesi kemerdekaannya.
Namun apa yang diperjuangkan, melalui selebaran, melalui teriakan, melalui pendudukan, melalui pemogokan, demonstrasi, dan bentuk aksi lainnya bukanlah suatu tindakan khayal dan untuk cita-cita yang khayal pula, sebab perjuangan betul-betul termanifestasikan dalam keseharian, dalam satuan-satuan yang konkrit, huruf dan angka yang nyata, dan penuh penekanan pada cita-cita luhur tiap umat, yakni kemerdekaan. Dan berkat tekad itu, berkat api semangat yang membakar itu, suara pemuda dan pemudi yang menggelegar itu, berkat keyakinan para pejuang itu, lahirlah sebuah “nasion”, lahirlah sebuah kekuasaan politik rakyat, yang kemudian dilembagakan dalam bentuk sebuah “Negara”, lahirlah semangat untuk hidup bersama dibawah naungan bendera penyatu, Ialah sebuah bangsa yang diberi label “Indonesia” oleh para perhimpunan pemuda Intelek dari Belanda, yang menurutnya nama itu dirujuk dari seorang ethnograf dari Inggris sejak 1920-an, namun pengakuan Internasional baru saja didapati saat Proklamasi Ir. Soekarno dan Moh. Hatta 17 Agustus 1945 silam, yang dimana atas desakan para pemudalah mereka tergerak sebab pertimbangan yang amat pelik atas situasi Nasional dan Internasional pula.
Kemerdekaan yang diproklamirkan, mesti disadari hanyalah serupa bentuk patung yang belum selesai terpahat seutuhnya menjadi objek seni yang bernilai, sebab kemerdekaan yang diperoleh hanya berupa perrnyataan kemerdekaan secara politik, unsur bangsa yang lain belum masuk kedalam pernyataan kemerdekaan yang mestinya memberikan syarat universalitas itu. Kemerdekan Sektor Sosial-ekonomi bangsa, Kemerdekaan atas pendidikan dan Kebudayaan, belum juga mampu  terebut, sebab Imperialisme Ekonomi maupun Imperialisme Kebudayaan tetap memiliki kepentingan hegemoni, sebagai aras pemeliharaan hubungan kekuasaan yang terselubung. Dengan demikian, dapat kita analisa, seorang pembesar tidak akan pernah melepaskan apa yang membuatnya besar, Bangsa yang besar dan kaya karena jajahan teritori, ekonomi, dan budaya atas bangsa lain, niscaya akan berberat hati bahakan enggan melepaskan hubungan kekuasaannya itu.
Rupanya pebacaan itu amatalah relevan hingga fase peradaban manusia modernistik ini, bahwa di Dunia yang amat sempit ini, terdapat begitu banyak hal yang menggoda untuk dimiliki, sehinggat terlihat tak memiliki batasan-batasan yang mampu mengahalangi sekalipun. Bangsa-Bangsa besar, mencoba membangun Dunia Imperium dengan menciptakan pembagian-pembagian kekuasaan berdasarkan kekuatan-kekuatannya. Bangsa yang besar  menjadi titik subordinat daripada bangsa-bangsa kecil, sebaliknya bangsa-bangsa kecil jadi santapan rebutan Bangsa-bangsa besar, merekalah Imperium yang tak akan pernah habisnya mengerok apa yang dilihat timbul dipermukaan sebentuk wilayah teritori dan geografis yang tentu terpelihara alam dan manusia di pedalamanya. Imperialisme Militer, Ekonomi, dan Kebudayaan, dalam kacamata Internasional, hanya akan mendidik bangsa-bangsa kecil menjadi lokalitas-lokalitas Imperium yang kelak akan jadi penantang dan petarung sekaligus, Hingga Imperialime betul-betul tidak akan pernah terpadamkan di muka bumi.
Sungguh jelas, Bahwa perjuangan-perjuangan konkrit itu, tidaklah mesti sampai hanya sekedar dalam bentuk pernyataan politik, atau bahkan jika sediakala telah muncul pula penyataan ekonomi dan kebudayaan yang merdeka. Sebab, Sesungguhnya kemerdekaan yang didapatkan oleh sebuah bangsa yang terperintah dan terjajah hanya mengantarkan bangsa tersebut kepada penunjuk arah kemerdekaan yang hakiki, perjalanan masihlah sangat panjang, sebab negara-negara yang pernah berkuasa, ataupun sejenisnya, bahkan yang lebih dari itu, masih menggantungkan harapan politiknya dengan hegemoni ekonomi dan kebudayaan imperialistisnya guna pelanggengan kekuasaan yang tiada pintu akhirnya.

Tidak ada komentar: