Kamis, 14 Mei 2015

Kapitalisme, Pemuda dan Saku

Ada suatu masa pemuda betul-betul dicampakkan dalam situasi yang paling curam, pasif dan tidak berkutik. Memang, di era modernisasi ini yang tengah memuncak (dalam artian ideologi dan budaya modern yang membungkus praktik kapitalisasi sektor penghidupan manusia) pemuda seolah diberikan ruang yang cukup luas untuk berkreasi dan beraktivitas dengan dalih dan alasan pembangunan. Entah pembangunan apa yang dimaksudkan, pemuda diharapkan tidak menggalinya jauh lebih dalam. Cukup saja pengetahuan seputar istilah “developmantalisme” adalah mekanisme yang menuju kebaruan dunia. Modern dalam istilah pembangunan dimaknai sebagai satuan sifat yang bentuknya baru namun belum tercipta diwaktu sebelumnya, dengan demikian era ini membutuhkan kreator, inovator, dan visioner. Semangat untuk berkreasi, kemampuan merancang sesuatu untuk kebutuhan inovasi, dan kelihaian menatap masa yang akan datang merupakan lingkup yang membutuhkan power dan skill para pemuda. Sadar ataupun tidak sadar situasi ini seolah menjadi pujian yang membesarkan kepala hingga tidak terasa lenaan ini betul-betul menyanjung para pemuda.  

Budaya ataukah trend kehidupan yang diwariskan kepada pemuda kini merupakan pola pikir dan perilaku yang dirangsang dengan sentuhan profitabilitas. Dengan kata lain, proses kreasi, inovasi, dan penyusunan visi hanya akan terbentuk pada periode kepemudaan yang telah memikirkan orientasi keuntungan (Profit Oriented), dan tingkat keuntungan itu sendiri otomatis menjadi barometer kebahagiaan dan kesuksesan yang pada akhirnya jadi pakem universal. Ada kesan yang sangat menarik, ketika sebuah rezim mendukung ideologi yang berusaha memaksimalkan kuasanya atas dunia, menjanjikan dan memberikan pengharapan atas penghidupan yang glamour dan riuh pesta pora sebagai wujud penggemblengan kebahagiaan tiada henti. Ketika titik pangkal akal sehat manusia hanya sampai pada kesenangan yang berujung kegaduhan.  Saat sosok  pemuda begitu terbiasa duduk manja diruang bermesin pendingin menikmati alkohol dan snack, dengan teman-teman mudinya, ketika individualisme semakin tajam yang diperparah dengan kecintaan manusia yang berlebih pada gadget genggam high-tech yang dimiliknya. Timbullah tanya dalam benak, Adakah gaya hidup seperti  itu bagian dari orientasi modernisasi? Yah ruang itu adalah kesengajaan yang nampaknya diharuskan dalam kamus modernisasi.

Dibalik rasa lelah dan frustasi karena spesifikasi dan spesialisasi kerja yang akhirnya sangat menguras tenaga dan daya pikir tiap pekerja, maka modernisasi menyediakan ruang-ruang yang siap sedia menampungnya dalam keadaan setengah mati itu, hingga keesokan harinya ia pun harus kembali kerja, karena sakunya telah kosong dalam sekejap sebab hedonisme rianya semalaman, maka ia wajib mengisi sakunya kembali sebagai prasyarat hidup  (Dan jangan lupa, Keterlambatan kerja karena bersenang-senang semalaman biasa dijadikan alasan untuk memotong gaji, yah hitung-hitung kapital variabel berkurang). Dan ini telah menjadi siklus yang berulang, sehingga tidak memungkinkan ada celah yang lengang untuk sejenak merenungkan betapa hidupnya sangat terasingkan. Kebiasaan ini pulalah yang mendera sebagian besar pemuda di seantero negeri. Ada hal yang memang perlu kita telaah secara seksama, mengenai kebutuhan era modern akan kehadiran pemuda dalam praktik-praktiknya.

Jika merujuk pada pemikiran Hikmat budiman yang menggunakan kaca-mata pandang Daniel Bell, dalam bukunya yang  berjudul “Pembunuhan yang selalu gagal”, penelaahannya mengenai modernisasi sangat relevan pada konteks dunia kekinian, meskipun Bell tidak sedikitpun berniat berada di posisi emansipatoris. Menurutnya, dunia saat ini didominasi oleh kebudayaan dan kebiasaan manusia untuk mengedepankan kebutuhan psikologis, dalam artian keinginan dan pengharapan berlebih yang timbul dari khazanah pemikirannya. Pemikir kritis mengistilahkannya dengan sebutan kebutuhan imajiner. Kebutuhan psikologis atau imajiner ini timbul tidak dengan sendirinya, namun sengaja dirangsang sedemikian rupa oleh Modernisasi yang menguliti kapitalisme dengan menggunakan instrumen media dan politik yang secara konsisten dan progresif membentuknya. Alhasil semangat pemenuhan kebutuhan psikologis ini cenderung jauh lebih tinggi ketimbang kebutuhan biologis yang sesungguhnya lebih pokok. Sekali lagi harus diakui, kekuatan hegemoni kapitalisme memenangkan pengaruhnya ditengah publik. Hal ini dirancang sebagaimana praktik produsen raksasa yang menggunakan jasa periklanan agar produknya laris sekaligus tetap menjadi pengisi keseharian konsumennya yang belakangan diketahui telah terdiagnosa sedang mengalami kecanduan berat. Candu itu tidak akan hilang, selama produsen dan periklanan tetap berkomitmen melapisi keusangan dengan inovasi dan kreativitasnya.

Pada titik inilah, kita bisa menarik benang merah mengapa modernisasi sangat identik dan erat kaitannya dengan pemuda. Karena pada kategori usia muda inilah psikologi sangat rentan untuk disusupi oleh pengaruh apapun, khususnya modernisasi. Di periode ini pulalah manusia sangat peka terhadap apa yang menjadi kebaruan, trend, dan life style. Psikologinya cenderung sesegera mungkin mengenali apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Sehingga rangsangan-rangsangan tadi yang juga dibumbuhi puji-pujian sebagai kreator, penggerak, inovator, dan visioner, serta aktor penting pembangunan yang bergaji besar sungguh sulit untuk dihindarkan, terlampau lagi jika telah diberikan gambaran berupa imajinasi kebahagiaan dan kesuksesan duniawi ada pada genggamannya, betapa semangatnya yang membara tidak bisa dipadamkan lagi meski dikubur di benua Antartika. Situasi seperti inilah yang menjadi semangat modernisasi, karena pemuda telah dikorbankan sekaligus dinobatkan sebagai pahlawan modernisasi, sebab sesungguhnya generasi pemuda adalah ancaman yang telah berhasil dibuat menjadi peluang, Threat to Opportunity sebagaimana dalam analisis SWOT-nya para wiraswasta.

Semangat kepemudaan adalah hal yang memang mesti diakui berkemungkinan besar membawa The Big Revolution, sebagai pelopor dan penggerak sebagaimana sering diagungkan oleh khalayak ramai ataukah mungkin hanya dimitoskan. Namun, ia mesti mencari jalan yang sesuai dengan semangatnya meski langkahnya akan tersendat dalam beberapa situasi yang terpuruk. Analis pendidikan Paulo Freire menjelaskan manusia mestilah berada pada tahapan kesadaran kritis, tidak pada yang magis dan naif. Pemuda diharapkan berada pada tahapan tersebut. Tahapan dimana ia bisa berfikir bahwa kebahagiaan dan kesuksesan tidak bisa diukur dengan kebendaan yang dimiliki. Kebahagiaan dan kesuksesan bukan juga sesuatu yang mesti dibungkus dengan sikap individualisme. Kesejahteraan, kemakmuran, kesetaraan hak, adalah kewajiban komunal yang hanya bisa terwujud jika diperjuangkan secara kolektif. Kemiskinan materi dan non materi bukanlah sesuatu yang sifatnya lahiriah, murni hukum alam, ataukah takdir ilahi, namun kemiskinan adalah sesuatu yang diciptakan dan direproduksi oleh manusia yang bermitra dengan kapitalisme.

Dalam perspektif sosio-historis, Dede Mulyanto menjelaskan perjalanan panjang kapitalisme yang digenggam para kakek buyut borjuis secara merangkak di bawah payung feodalisme. Pada awalnya ada yang menjadi pengrajin-petani dalam komunitinya, yang bertugas menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi komunitinya, seperti halnya perkakas yang memudahkan pengolahan lahan pertanian. Kemudian perkakas atau komoditi yang diciptakannya yang suatu saat jika menghasilkan kelebihan produksi, bisa dipertukarkan dengan komoditi yang dihasilkan komuniti lainnya untuk melengkapi kebutuhan komunitinya. Perlu dicatat pertukaran pada masa ini masih berbasis komuniti, dalam artian pertukaran yang dikehendaki secara kolektif suatu komuniti. Namun lambat laun keahlian dan keterampilannya membuat pengrajin-petani pada akhirnya memisahkan diri dari komunitinya dan menjelma menjadi pengrajin-profesional. Inilah cikal bakal individualisme yang merebak hingga saat ini. Pemisahan ini terjadi sebab beberapa pengrajin sebelumnya mendapat mandat dari komunitinya untuk mencurahkan waktu dan tenaganya khusus untuk produksi perkakas atau senjata seiring dengan revolusi perlogaman guna mempermudah pengolahan lahan dan pertahanan komuniti dari serangan luar, pada taraf berikutnya dengan pengolahan lahan dan produksi perkakas yang lancar memungkinkan terjadinya penimbunan atau produksi berlebih. Dengan situasi tersebut maka pengrajin ataupun utusan tertentu mendapat tugas khusus menjalankan misi pertukaran jarak-jauh dengan komuniti lainnya sebagai ‘pengantar’. inilah  saat pertama kalinya pengantar yang diutus betul-betul terpisah dari kegiatan produksi pangan komunitinya. Dengan semakin mantapnya pertukaran jarak-jauh, maka pembagian kerja di dalam komuniti diperluas dengan lahirnya golongan baru yaitu ‘Pedagang’. Dede mulyanto juga mengutip pernyataan Robotham “inilah Lahirnya perdagangan sebagai anak bungsu evolusi pertukaran, menjadi ibu peradaban, dan ayah bagi masyarakat kelas.”

Para pedagang atau pengrajin profesional yang telah terpisah dari komunitinya hijrah ke perkotaan yang dekat dari pusat kekuasaan feodal atau lingkup ekonomi, sosial, politik kerajaan. Tidak sedikit yang menetap di dalam areal perkotaan dalam jangka waktu yang lama, dan pada akhirnya para pedagang  hidup di wilayah perkotaan sebagai golongan tersendiri, artinya terpisah dengan tatanan masyarakat feodal pada kala itu (Raja, Gereja, Prajurit perang, Tuan tanah, dan petani penggarap/hamba). Seiring berkembangnya perdagangan maka untuk memenuhi kebutuhan pokok, para pengrajin tidak hanya memproduksi barang yang harus memiliki nilai-guna, namun juga mesti memiliki nilai tukar di pasaran yang harus dipahami dan diterima secara sosial dalam suatu lingkungan. Dengan demikian perdagangan yang berasal dari tradisi pertukaran antar komuniti tidak lagi berbasis pada pemenuhan kebutuhan komuniti. Beriringan dengan itu, watak pengakumulasian keuntungan pun menjadi tradisi para pedagang.

Pada sisi lain perkembangan kapitalisme, ada yang menjadi pedagang non produsen, atau produsen tidak langsung, namun ia telah memiliki modal awal yang dihasilkan dari perdagangan dan menguasai informasi pasar. Mereka disebut kapitalis-saudagar. Merekalah yang pada akhirnya banyak membuat pengrajin atau produsen langsung yang mencurahkan waktu dan tenaganya terpisah dengan sarana produksinya. Loh, bukankah para pengrajin memiliki perkakas dan bengkel tersendiri? Inilah watak yang sebenarnya paling dicela pada masa feodalisme, orang-orang yang menghamba pada laba, profit, atau keuntungan. Para kapitalis saudagar pada awalnya hanya menjalankan perdagangan dengan sistem pesanan (Putting-Out System). Mula-mula ia hanya memesan dan membeli produk hasil kerja para pengrajin untuk kemudian dijual kembali di pasar yang jaraknya jauh. Namun lambat laun, karena ia saudagar dan penjelajah secara otomatis lebih banyak tahu mengenai informasi pasar ketimbang pengrajin itu sendiri, hingga ia memiliki kuasa memanipulasi informasi seputar perkembangan pasar. Selanjutnya, dengan kuasa manipulatif yang dimiliki dan modal, mereka membeli peralatan terbaru untuk menggantikan peralatan dan perkakas bengkel para pengrajin yang telah usang dengan tingkat efektifitas yang lebih baik. Para kapitalis-saudagar juga menyediakan bahan baku untuk produksi lebih lanjut. Dengan demikian, para pengrajin secara otomatis telah terpisah dari sarana produksinya sendiri dan menuruti apa yang dianjurkan tuan barunya sang pemilik sarana produksi. Pada akhirnya para pengrajin tadi bukan lagi seorang pengrajin, mereka telah menjelma menjadi tenaga-kerja upahan yang dibayar karena keterampilan dan tenaganya atau Marx menyebutnya sebagai kelas terbaru yang tercipta, yakni Proletariat. Ini juga menjadi bekal usaha perpabrikan dan industri. Dengan demikian praktik pemiskinan secara terstruktur telah terjadi secara turun temurun hingga saat ini.

Perkembangan kapitalisme, praktik perdagangan ataupun industrialisasi tentunya tidak sesingkat paragraf diatas, sebab itu hanya satu sisi dari sekian banyak praktik kapitalisasi borjuasi yang memotori kapitalisme sejak berabad-abad silam. Begitupun praktik pemiskinan atau penciptaan proletariat yang beragam belum bisa diulas secara luas dalam tulisan singkat ini. Mengapa mesti mencantumkan sedikit ulasan Dede mulyanto mengenai Kapitalisme dalam perspektif sosio-historis (Tentu tidak semuanya) dalam tulisan ini? Lalu apa kaitannya dengan kepemudaan yang dibahas diawal paragraf? Tentu pada akhirnya kita harus mengaitkannya. Seperti yang kita ketahui sebagian besar pemuda berhijrah dari pedesaan, atau daerah asalnya ke perkotaan. Motifnya beragam, ada yang ingin melanjutkan pendidikan ke taraf yang lebih tinggi (Kuliah ke Universitas/sejajaran), ada yang mencari pekerjaan, bahkan ada yang karena jenuh dan bosan di pedesaan. Namun harus disadari bahwa berbagai motif tersebut orientasinya tetap satu, yakni menggali informasi guna mencari tahu apa yang melekat pada diri yang bisa dipertukarkan untuk tujuan penghasilan dimasa yang datang. Mengapa demikian?

Disinilah kaitan pemuda masa kini dengan kesejarahan kapitalisme. Kapitalisme berkembang melanglang buana hingga banyak yang tidak menyadarinya, tidak tahu, atau bahkan acuh ditingkat paling mutakhirnya. Yah, memang kita dibuat tidak perlu menyadari bahwa dunia ini milik kapitalis, karena itu tentu ancaman jika semakin banyak yang menyadarinya. Yang perlu diketahui adalah kita harus hidup dalam siklus yang diciptakannya (Kapitalisme) tanpa harus tahu siapa yang menciptanya, yah itu agar tampak alamiah atau bahkan ilahiah. Sehingga kita tidak perlu meributkan sistem yang berlaku seolah alamiah ini. Sadar ataupun tidak, sebagian besar pemuda saat ini digiring untuk memiliki semangat yang sama dengan para pedagang yang sering berlaku tak wajar atau borjuis di masa awal merebaknya kapitalisme di daratan Eropa. Semangat kebaruan, inovatif, kreatif, dan menjadi visioner handal dalam bidang yang disediakan berorientasi pada pengejaran laba dan keuntungan sebagai prasyarat hidup dan demi keberlanjutan karir penopang hidup. Dan untuk hal ini kapitalisme makin percaya dan memperjelas sasarannya, pemuda adalah pilihan tepat, selain segar dan kuat secara fisik, pemikirannya bisa dikembangkan sesuai dengan semangat dan jalur kapitalisme.

Di perkotaan tentunya hidup tidak seindah khayalan ketika masih sibuk menghirup udara segar di bawah pepohonan pedesaan. Selain harus menemui berbagai jenis kendala hanya untuk hidup setenang mungkin, kota juga menciptakan individu-individu penyendiri yang tidak lagi memikirkan komunitinya di pedesaan atau dikampung, melainkan sibuk menyusun strategi dan taktik guna memenangkan persaingan di ring yang diciptakan kapitalis mapan. Dan untuk itu banyak ruang yang tersedia untuk pemuda, namun dibuat agar sulit diakses oleh kesemuanya, itu prinsip selektif agar semangat persaingan tetap terpelihara. Lalu sebenarnya persaingan apa yang diciptakan oleh si kapitalis lalim? Sesungguhnya agar budaya persaingan menjadi hal yang wajar, persaingan harus dimulai sejak dini mesti bukan diperkotaan, dan dibutuhkan lembaga yang mampu mensugesti kewajaran bersaing. Tentu sekolah menjadi lembaga pilihan untuk tugas ini. Orang-orang mungkin masih ingat di sekolah ada rentetan atau urutan nama setiap akhir ujian sebagai ajang pembuktian siapa yang menjadi terbaik dari segala yang baik dan buruk, siapa yang tercerdas, terpintar, dan lain-lain sebagainya. Setidaknya ini selalu ditampilkan bertujuan baik, guna memotivasi yang tidak tergolong baik, cerdas, dan pintar, namun inilah cikal bakal watak kompetitif. Yang sebenarnya  terjadi adalah kebiasaan ini justru memiliki sisi mudarat bagi sebagian besar pelajar ketimbang tercapainya tujuan motivatif tadi. Pengklasifikasian dan penggolongan baik-buruk, pintar-bodoh mengakibatkan sebagian besar menghalalkan banyak cara demi diklasifikasikan dan digolongkan sebagai yang positif.

Di kota-kota besar, tempat seorang pelajar disaingkan dengan pelajar lainnya guna tujuan selektif untuk mengakses perguruan tinggi, dan kembali akan dipersaingkan di lingkungan yang lebih keras, yakni lingkungan kerja. Tentunya perguruan tinggi jadi alat terpenting untuk menciptakan tenaga kerja terampil yang kompetitif untuk persiapan dunia industri. Dan demikian juga kita melihat bahwa inilah sebab terjadi disorientasi pendidikan di perguruan tinggi. Yang menurut Freire, mestinya mengemban misi humanisasi malah berkembang menjadi lembaga yang dehumanisasi. Kenyataan ini hanya makin mengerdilkan hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Sekaligus mengerdilkan produktifitas pengetahuan manusia, khususnya para pemuda pembaharu potensial yang akhirnya mendefenisikan hidup hanya seluas saku yang dimiliki. Semangat kepemudaan saat ini tentu jauh berbeda dengan semangat kepemudaan di era pra-kemerdekaan. Semangat kepemudaan yang giat membaca bacaan yang membangun kesadaran, bergerak dilapangan perjuangan yang tiada usai, dan kegesitan menegakkan keadilan berhasil direduksi menjadi semangat pasar, semangat modern, yakni semangat berfoya, berhedonisme, individualistik, dan akhirnya menjadi individu-individu yang frustasi. Rimba pengangguran tentu menakutkan, tapi sangat bermanfaat bagi dunia permodalan untuk memanfaatkan ruang yang luas. Sebab pengangguran bukan berarti selamanya orang yang tidak pernah mengakses pendidikan, olehnya keadaan tersebut akan membuka ruang untuk ide-ide (kebanyakan dari pemuda) yang muncul karena terdesak perut yang kian keroncong atau karena desakan keinginan saja. Dalam hal ini seperti pengemban enterpreneurship menawarkan jalan lain, yang sesungguhnya bermuara di tempat yang serupa; kapitalisme.

Tidak ada komentar: