Saya pernah membaca kisah Minke yang dibingkai dalam goresan pena Pramoedya, Tetralogi Pulau Buru. Saya membaca dari bagian pertama, Bumi manusia, Anak semua bangsa, Jejak langkah, hingga Rumah kaca. Orang-orang tentu sudah mengetahui bahwa novel itu adalah produk sejarah yang penting untuk dibaca generasi muda, guna memahami identitas diri sebagai pribumi dan bangsanya sendiri sebagai bagian dari bumi manusia. Yah, setidaknya mengantarkan kita kepada paham yang sungguh membenci keserakahan yang menggumpal dan mewujud menjadi kolonialisme atau imperialisme itu.
Menariknya, karya monumental itu lebih masyhur di luar sana ketimbang di alam kita sendiri, padahal keseluruhan jerih payah sang novelis dia persembahkan hanya untuk memberi penjelasan dari penelitian sejarah bangsanya sendiri untuk anak bangsa. Namun, syukurlah kita masih diberi khidmat untuk menemui karya-karyanya itu. Meskipun tak semua anak bangsa telah menjumpainya, mengingat lembaga pendidikan tidak pernah mengindahkan karya tersebut.
Sebuah karya yang dihadirkan melalui jerih payah dan kesungguhan tentunya bernilai tinggi, seperti apa yang dilakukan Pram dalam tiap tahun dikala hidupnya. Dan semangat itu selalu hadir, sebab kemampuan membaca situasi secara kritis mengantarnya pada kemauan untuk menjungkalkan kekuatan besar yang mengerdilkan manusia-manusia dan alamnya. Dalam kata lain, seorang seperti Pram menggunakan kaca mata yang mampu mendeteksi niat-niat buruk dari satu kekuasaan yang di kemudian hari akan memisahkan harkat dan martabat dari manusia itu sendiri. Sudah seharusnya, beliau tak hanya menerima penghargaan dari manusia yang simpati atau menaruh empati terhadapnya, namun Tuhan-pun mungkin telah menganugerahi beliau dengan gelar terhormat, yakni; manusia. Yah, manusia.
Mungkinkah semangat seperti itu masih terawat saat ini? Tentu saja pertanyaan itu membawa kita pada jawaban yang pesimis, atau dilematis, mungkin iya mungkin tidak. Hal yang paling menakutkan adalah apabila kita dengan penuh semangat menjawabnya "Tidak lagi kawan, zaman telah berubah." Iya, memang betul zaman telah berubah dan terus berlanjut. Oleh sebab itu, penerawangan terhadap hal-hal yang lebih baru lebih memungkinkan, dan para pemuda telah menemukan dirinya berada di lembah narsisme yang menenggelamkannya dalam lenaan zaman yang bergerak maju dengan cepat. Gunawan muhammad pernah menulis artikel mengenai narsisme, ia menulis; Perlukah kita katakan, di zaman selfie ini, zaman orang-orang
mengabadikan tampang, bahwa narsisme adalah jalan singkat ke pelbagai
kematian?
Begitupun karya, karya kita berubah, menjadi produk karya yang narsistik. Karya itu tak lagi menjelaskan atau menyiratkan pengetahuan untuk kepentingan seluas-luasnya melainkan hanya menjadi sebatas wahana untuk unjuk diri. Kapitalisme menjadi unsur utama yang menggerus watak individualistik, yang dalam perkembangan mutakhirnya, menciptakan berbagai macam media untuk menampung para individualis untuk memancang karya narsistiknya. Karya menjadi ke-aku-an, menjadi identitas diri, menjadi idenitas ego individualistik, dan tidak lagi merupakan produk sosial yang harus dicerna bersama. Padahal, meminjam kata Gunawan Muhammad, kita bisa mengidentifikasikan sesuatu hanya karena ada “yang-lain”, yang “bukan-aku”. Artinya, keterlibatan secara sosial untuk kepentingan kolektif adalah watak kita sebagai manusia, tidak untuk menjadi penyendiri yang egois,karena kepentingan individualis diatas segalanya.
Dibalik kebiasaan baru kita yang dibelenggu penyakit narsisme, adakah harapan untuk menyusun kembali pondasi semangat kritis untuk membendung laju pasar yang semakin bebas mentransaksikan apapun? Mengingat seorang dengan penuh jargon perjuangan pun telah digerus habis-habisan oleh budaya baru ini. Sehingga kadang kala suatu aksi perjuangan, pembebasan, demonstrasi, tidak lebih hanya sekedar bagian dari keseharian yang harus terpotret oleh kamera dengan dominasi tampang sang demonstran yang kemudian terpampang di profil media sosialnya. Bukankah itu narsis? Lalu apa bedanya seseorang ber-selfie disaat makan siangnya di tepi pantai? itukah kepentingan perjuangan?
Sepertinya, rangsangan-rangsangan kebanyakan media sosial ini betul-betul berhasil membentuk pola pikir untuk sesuai dengan sistem ekonomi-politik yang paling dominan di bumi ini. Bagaimana waktu dihabiskan untuk keperluan dokumentasi narsistik, kesadaran kritis dihilangkan mengenai kondisi rill disekitarnya yang sedang tidak baik-baik saja, sebab seseorang hanya mencari latar belakang yang indah agar dokumentasi narsistiknya demikian artistik, lupa akan keterlibatannya terhadap lingkungan sosial, dan akhirnya mengalami kejenuhan yang tiada tara sebab daya imajinasi, pemikiran, gagasan, telah tertutup rapat oleh keindahan-keindahan absurd yang dibuatnya sendiri. Inikah kesibukan kita hari ini?
Tak ada lagi yang membicarakan bangsa sebagai sesuatu yang harus terselamatkan dari mekanisme pasar yang makin mengeruk habis aset bangsanya, Tidak ada lagi yang berkarya demi membetulkan katup-katup sistem ekonomi-politik bangsanya, tak ada lagi yang mengenang dan melanjutkan kisah juang Minke (T.A.S), Tan Malaka, Soekarno, dan sebagainya sebagai seorang revolusioner yang menulis tentang keinginan pribumi dan kebenciannya terhadap keserakahan. Semuanya hanya tentang satu hal, diri sendiri. Yang lain hanyalah latar yang pas untuk posisi selfie-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar