Kekuasaan tidak lain adalah kepemilikan otoritas
untuk mengatur sesuatu yang dikuasai. Kuasa bisa dimiliki oleh ia yang
merupakan pewaris dari autokrasi, oleh mereka yang bangsawan, oleh mereka yang
memiliki cap kemuliaan berdasarkan kepemilikan modal, oleh mereka yang memiliki
kekuatan militeristik, atau mereka yang terpilih secara demokratis oleh rakyat
atau kebanyakan orang. Motif kekuasaan bisa saja mementingkan harapan orang
banyak, atau lebih memungkinkan menggunakannya untuk keperluan dan sarana
kemakmuran pribadi dan atau keluarga. Dengan demikian kekuasaan selalu
bergantung pada pendirian pemegangnya, sebab sejarah telah membukukan ragam
jenis kekuasaan. Dimulai dari bentuk yang paling primitif, feodalistik,
kapitalistik, fasistik, kediktatoran, totalitarian, hingga yang demokratik yang
digadang-gadang memberi wewenang kepada khalayak umum. Kendati demikian,
kekuasaan adalah hal yang paling problematik dalam sejarah manusia, sebab
merupakan kendaraan yang bisa dipakai untuk apapun, termasuk menindas atau
melenyapkan nyawa sekalipun. Di samping pilihan untuk menggunakannya sebagai
alat kebajikan dan memuliakan mahluk hidup dan alam. Yang disebutkan terakhir
adalah hal yang hampir mustahil dan utopis.
Pada abad 21 sekarang ini, dunia global menemukan
momentumnya sebagai satu kesatuan yang universal, di bawah panji-panji
globalisasi dan dominasi demokrasi liberal. Apa yang dijelaskan dalam sejarah,
mengenai persinggungan lokalitas-lokalitas yang ada, semacam suku, etnik, atau
bangsa, dengan situasi real di luarnya yang berupa budaya baru, sistem bawaan
yang baru, yang berasal dari kutub yang berbeda, telah berhasil menyingkirkan
tapal-tapal batas yang menghalangi. Istilah kemajuan dan pembangunan adalah
dalih yang bisa diterima oleh siapapun, dan itulah yang digandeng. Maka
pertanyaannya untuk apa dan siapa kemajuan ini? Apakah hal ini murni kemuliaan
manusia dan niatan yang suci untuk kemanusiaan yang manusiawi? Sebab mereka
datang dari jarak yang jauh, bahkan ke pelosok, dari ruang yang beda, jika ini
murni adalah kebaikan, Tuhan betul-betul mencipta mahluk yang begitu mulia.
Namun, mengapa selalu saja kedatangan yang baru ini selalu disambut penuh
prasangka, atau ditengah jalan barulah nampak tiada kedamaian, atau dalam waktu
yang lama jelaslah kontradiksi yang ditimbulkan, dan akhirnya disimpulkanlah
bahwa memang sejarah manusia adalah pertentangan.
Mengapa universalitas begitu bebas? Padahal batas
teritori masih ada dan diakui. Nasionalisme masih menjadi pegangan
negara-bangsa. Di setiap nasion ada bahasa yang ragam, suku dan etnik yang
ragam, agama yang berbeda, gen yang berlainan, dan punya hukum tersendiri, yang
pada akhirnya meneguhkan kedaulatannya. Mengapa universil? Kekuatan dan
kekuasaan seperti apa yang global? Adakah satu tangan atau personal yang
memegang kendali atas dunia? Hal itu sepertinya mustahil, Tuhankah dia?
Kekuasaan global adalah apabila dilihat dari bingkai
globalisasi, mereka yang memegang kendali Perusahaan Multinasional, Lembaga
keuangan Internasional, Lembaga moneter internasional, dan dengan demikian
mereka adalah induk perputaran ekonomi internasional, berikut sosial, politik
dan budaya internasional. Bagaimana mereka bekerja? Sementara negara-bangsa
sedikit banyaknya masih ada yang egois akan kedaulatannya guna kepentingan
kemerdekaannya. Yang mungkin terjadi adalah, tiada satu negara-bangsa pun yang
betul-betul berdaulat dalam dunia yang digembosi tatanan kapitalistik.
Bagaimana hal itu terjadi? Seperti yang kita ketahui, kapitalisme tidak
menghendaki batas-batas teritori, bangsa, bahasa, etnik, atau apapun yang
berbentuk batasan. Sebab itulah perdagangan menjadi kekuatan lain dari
kekuasaan yang lain daripada nasionalisme, namun wilayah tiap nasion adalah
tetap objek jarahan. Dan disinilah kinerja Lembaga-lembaga internasional
memainkan seni kekuasaan.
Apa sih seni kekuasaan? Jika merujuk pada KBBI seni
bisa berarti bentuk pengkategorian sifat, misalnya halus, kecil, tipis, atau
indah. Atau bisa juga berarti keahlian untuk membuat karya yang bermutu
berdasarkan tingkat kehalusan atau keindahannya. Atau poin yang lainnya, Seni
juga adalah kesanggupan akal yang luar biasa untuk menciptakan sesuatu yang
bernilai tinggi. Lalu apa gambaran dari seni kekuasaan? Seni kekuasaan apabila
didefenisikan secara sederhana adalah keahlian atau kemampuan yang dimiliki
pemegang kuasa untuk melegitimasi segala tindakannya terhadap teritori
kekuasaan dan seluruh yang hinggap di dalamnya guna kepentingan tertentu untuk
mendapat persetujuan luas secara periodik. Dengan demikian ada dua hal yang
penting dalam seni kekuasaan, yang pertama adalah kemampuan atau keahlian untuk
melegitimasi dan yang kedua adalah persetujuan luas atas legitimasi tersebut.
Apa saja bentuk kemampuan dan keahlian melegitimasi? Dan persetujuan luas
seperti apa yang dimaksudkan, serta bagaimana keduanya bisa menjadi inheren?
Bentuk kepentingan seperti apa yang mendominasi dalam suatu kekuasaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin sifatnya umum dibincangkan, namun jawabannya
sungguh menyedihkan jikalau itu keluar dari mulut kekuasaan.
Antonio Gramsci membongkar peran penting kekuasaan dalam
upaya mendapatkan persetujuan luas atau umum yang bersifat spontan ataupun
dalam jangka waktu yang panjang di dalam teori hegemoninya yang cukup fenomenal.
Negara adalah bentuk kekuasaan yang telah terlembaga dan terdiri atas beberapa
perangkat yang bertujuan mengatur masyarakatnya, dari sisi ekonomi, sosial,
politik, dan kebudayaan. Alhasil, dimensi kehidupan diatur dalam institusinya
masing-masing dibawah kendali pemegang kekuasaan. Dan keseluruhan institusi
akan membawa misi hegemonik hingga ke akar masyarakat yang paling dasar. Dengan
demikian, persetujuan akan segera tersepakati. Perlu dicatat, dalam kekuasaan,
persetujuan yang dimaksud bukanlah sesuatu yang melulu sifatnya damai,
persetujuan bisa diterima secara lapang dada, terintimidasi, berdarah, atau
menumbalkan korban jiwa. Namun perlakuan yang beragam bentuknya itu tetap saja
terlihat absah, mengapa demikian? Sebab kekuatan hegemoni sangatlah kuat,
Gramsci menyebutkan ada dua perangkat penting yang menyokong hegemoni hingga
terlihat absah, yakni; Kekuasaan intelektual dan kekuasaan Moral. Keduanya
adalah kekuatan pembenaran atau pelegitimasi langkah kekuasaan.
Tidak sampai disitu, seperti disebutkan sebelumnya,
tidak jarang penetapan suatu langkah atau kebijakan berjalan tidak damai.
Meskipun hegemoni telah dijalankan demikian rupa. Louis Althusser yang
merupakan pemikir teori kritis, menempatkan perangkat hegemonik ke dalam poin Ideological State Apparatus, dimana
negara mengontrol alam ide masyarakatnya, dengan menanamkan kesadaran palsu
yang menyembunyikan kebohongan besar dibaliknya. Mski demikian, tetap saja
penolakan akan tetap ada, pada tataran teknis program pemerintah misalnya,
Konsesi beberapa perusahaan perkebunan nasional di beberapa wilayah, masih saja
berlangsung dengan penuh iringan penolakan dari masyarakat setempat, hal itu
menunjukkan bahwa konsesi tersebut sesuatu yang dipaksakan yang berseberangan
dengan kehendak masyarakat. Namun penolakan umumnya masih berkutat pada
landasan moral, bukan pada bangunan atau landasan struktural. Lalu bagaimana
kekuasaan tetap saja bisa melanjutkan dan melakukan penjarahan tanah atau alam?
Merebut sarana produksi masyarakat? Althusser kemudian menambahkan, disinilah
letak pentingnya Represif State Apparatus
untuk mengamankan misi-misi kekuasaan yang tak kalah represif.
Namun yang dilakukan oleh negara/bangsa tidak
hanyalah membantu kapitalisme dalam menghadapi guncangan pada siklus kelas
semata, dominasi, penguasaan sarana produksi, penyedia tenaga kerja. Dari
konsepsi adiluhungnya kekuasaan kapitalisme global, kapitalisme lanjut,
mutakhir, atau pasca-fordisme telah melanglang buana dalam mengkomodifikasi
seisi dunia, hingga imajinasi manusia sekalipun telah ditumpulkan, utamanya
mengenai harapan-harapan dunia tanpa kapitalisme. Ini dijelaskan oleh Hizkia
Yosie Polimpung dalam tulisannya di IndoPROGRESS mengkritisi buku Materialisme
Dialektika karya Martin Suryajaya. Menurutnya tiada lagi dunia di luar
kapitalisme, hidup setiap orang telah digubah menjadi komoditas dan kapital
sekaligus. Ia menggunakan analisis Antonio Negri dan hardt mengenai Multitude sebagai kelas baru. Dimana
semua orang disulap menjadi mahluk yang mengalami ketertundukan patuh terhadap
kekuasaan kapitalisme. Pada bagian apendiks ia mengatakan:
”bukan hanya ‘tidak ada sesuatu yang diluar sana’, melainkan juga bahwa gagasan, hasrat, dan dogma tentang ‘yang di luar sana’ adalah efek dari kekuasaan hegemonik par excellence.”
Ia menunjukkan bahwa seperti demikian hasil kinerja
perangkat hegemoni kapitalisme terhadap seisi dunia. Bahkan dalam hal
pengandaian ataukah imajinasi mengenai dunia luar telah terperangkap dalam
jejaring hegemoni kapitalisme.
”Di sini saya kira tepat untuk melakukan sedikit ujian apakah hegemoni kapitalisme dan negara ini telah menancap kuat atau tidak: jika kita yakin bahwa imajinasi adalah tidak terbatas sifatnya, maka coba bayangkan dunia tanpa negara dan pasar! Jika kita tidak bisa membayangkan ini, berarti tandanya hegemoni keduanya sudah teramat sukses menghapus ‘dunia luar’ bahkan dari imajinasi kita, yang konon tak terbatas. Bisa saja kita membayangkan dunia tertabrak meteor, migrasi ke Mars, mobil tanpa roda, robot yang sangat menyerupai manusia, dst., tapi saat berbicara tentang dunia tanpa negara dan pasar: tidak mungkin! Sangat menyedihkan, bukan? Bahkan sampai kategori yang mungkin dan tak mungkin, kontrol kekuasaan sudah tertancap.”
Hizkia beranggapan bahwa kapitalisme pasca-fordisme
telah jauh melampaui kapitalisme abad 19 dan 20. Kapitalisme era abad 19-20
adalah kapitalisme kasar yang berbasis manufaktur. Sekarang tampil begitu halus
beriringan dengan kemajuan teknologi permesinan dan informasi. Dengan demikian,
kapitalisme tidak lagi hanya terfokus pada kotak produksi, tetapi juga pada
relasi sosial. Menurutnya, masih menggunakan analisis Negri dan hardt, relasi
sosial yang dibangun sama pentingnya dengan relasi produksi. Maka analisis
negeri membagi kerja menjadi dua yakni kerja material dan kerja imaterial.
Kerja material terdiri atas kerja konkrit dan kerja abstrak, sementara kerja imaterial
terdiri atas kerja intelektual, kerja afektif, dan kerja biopolitik. Kerja konkrit
dan abstrak masing-masing akan menghasilkan nilai lebih dan nilai tukar, yang
pada akhirnya nilai surplus (Surplus
Value). Sementara kerja afektif akan menghasilkan emosi, kerja intelektual
menghasilkan jejaring pengetahuan/epistemik, dan kerja biopolitik menghasilkan
kehidupan kapitalistik, yang pada
akhirnya terangkum menjadi relasi sosial. Dengan ini, nilai surplus dan relasi
sosial berjalan beriringan dan segandeng, kemudian bertemu lagi pada kotak
komoditas produk kapitalisme. Maka tidak ada ruang yang terisa selain
kapitalisme. Inilah seni kekuasaan kapitalisme pasar yang berelasi dengan negara,
yang sepertinya memiliki ikatan darah yang sulit dipisahkan. Mengenai kerja
imaterial, berikut saya kutip analogi yang juga dipaparkan Hizkia:
“…, artis Indonesian Idol misalnya. Bagaimana menjadi seorang Idol adalah menjadi pekerja imaterial, dan relasi sosial macam apakah yang dihasilkan kerja imaterial seorang Idol? Secara singkat dan cepat, kerja primer yang dilakukan seorang Idol tentu saja menyanyikan lagu. Semenjak Indonesian Idol ‘berjualan’ idola, maka yang menjadi komoditas di sini bukan hanya suara dan nyanyiannya, melainkan sosok imajiner sang Idol. Alhasil sang Idol itupun terbubuhi nilai saat ia ditransformasi menjadi komoditas. Lalu saat ia menyanyi, ia tidak hanya menyanyi, melainkan ia menghibur. Kerja menghibur adalah sebentuk kerja afektif. Drama-drama yang diperankan sang idol pun pada akhirnya akan menciptakan relasi emosional dengan para pemirsa. Ini semua pada gilirannya membentuk relasi sosial kapitalis yang olehnya dimungkinkan ratusan bahkan ribuan relasi pertukaran kapitalis lainnya: mulai dari iklan kutang yang dipakai sang idol sampai kecap manis yang belepotan di bibir sang Idol, tapi juga kaos, merchandise, foto, poster, dst. Ini baru lapis terdekat dari sang Idol, lalu bagaimana dengan bisnis panggung, lampu, event organizer, dst.? Atau lainnya, nada sambung, bisnis voting via SMS, dst.? Kita lihat dengan jelas di sini bahwa seonggok Idol, akan mampu menciptakan suatu jejaring relasi sosial yang memungkinkan banyak relasi pertukaran kapitalis bermunculan di sekitarnya. Inilah produksi imaterial.”
Analisis ini adalah relevan untuk membaca
perkembangan kapitalisme lanjut, sekali lagi menurut Hizkia. Sebab kapitalisme
dalam perkembangannya telah merubah analisis ekonomi politik yang berdasar pada
basis produksi dan kelas. Dan itu, Gramsci juga mengatakan bahwa kultur adalah
wilayah perjuangan yang amat penting, sebab, seperti diutarakan dimuka semua
telah digembosi hegemoni kapitalisme, seperti pendidikan, agama, budaya/gaya hidup.
Dan dengannya kapitalisme hanya akan dilawan dari dalam dengan menggunkan
perangkat-perangkat yang disediakan kapitalisme. Hal ini memang seperti bernada
pesimistis, namun unsur-unsur yang telah dikomodifikasi adalah keseluruhan
hidup. Alhasil, bukan hanya analisis ekonomi-politik menjadi berubah dan harus
berkembang yang basis teoritiknya berada pada kapital, relasi produksi dan
kelas, namun juga unsur kehidupan lainnya harus menjadi areal kritis yang
berlawan.
Selanjutnya, soal negara/bangsa yang memiliki ego
kedaulatan yang sebenarnya digunakan untuk tidak berdaulat sama sekali. Sangat
tipis jarak persinggungan kedaulatan dengan totalitarian, otoritarian,
nasionalisme, bahkan akhirnya fasisme, meskipun kita kenal adapula label demokrasi. Bahkan Hizkia menyebutnya
sebagai tahta yang berhantu. Artinya, sekalipun kekuasaan negera telah direbut,
potensi tahta yang diduduki seolah memiliki jiwa dan logika internalnya tersendiri
yang sifatnya otonom dan berjalan secara obyektif di luar logika kapital, kelas,
produksi, agama, dan kultur. Menurutnya lagi, siapapun yang mendudukinya akan
terkutuk untuk mereproduksi eksistensi kedaulatan itu sendiri. Jadi alih-alih
untuk menciptakan situasi sosialisme sejati, posisi tersebut malah menciptakan
situasi yang jauh dari sosialisme. Maka memang benar, pemegang kekuasaan negara
memang sering memiliki rasa kuasa atas
teritori dan masyarakatnya, sekaligus menjadi candu yang tidak terperikan.
Siapakah yang akan menanggalkan tahta secara cuma-cuma? Itu hanya ada di luar
kapitalisme. Pada akhirnya, harus disadari bahwa seni kekuasaan setingkat
negara/bangsa hanyalah sebentuk instrumen kekuasaan pasar kapitalistik, jikalau
ada yang mencoba menggunakan alternatif, maka tahta itu seakan-akan dengan
sendirinya menendang bokong si pemegang kuasa negara, lalu digantikan dengan
yang lebih moderat dan tunduk. Jika dunia telah menjadi pabrik kapitalisme,
maka negara/bangsa hanyalah perkakas, alat produksi, atau kasarnya sebagai
mesin, dan manusia-manusianya adalah kapital sekaligus komoditas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar