Sabtu, 06 Juni 2015

Seni Kekuasaan

Kekuasaan tidak lain adalah kepemilikan otoritas untuk mengatur sesuatu yang dikuasai. Kuasa bisa dimiliki oleh ia yang merupakan pewaris dari autokrasi, oleh mereka yang bangsawan, oleh mereka yang memiliki cap kemuliaan berdasarkan kepemilikan modal, oleh mereka yang memiliki kekuatan militeristik, atau mereka yang terpilih secara demokratis oleh rakyat atau kebanyakan orang. Motif kekuasaan bisa saja mementingkan harapan orang banyak, atau lebih memungkinkan menggunakannya untuk keperluan dan sarana kemakmuran pribadi dan atau keluarga. Dengan demikian kekuasaan selalu bergantung pada pendirian pemegangnya, sebab sejarah telah membukukan ragam jenis kekuasaan. Dimulai dari bentuk yang paling primitif, feodalistik, kapitalistik, fasistik, kediktatoran, totalitarian, hingga yang demokratik yang digadang-gadang memberi wewenang kepada khalayak umum. Kendati demikian, kekuasaan adalah hal yang paling problematik dalam sejarah manusia, sebab merupakan kendaraan yang bisa dipakai untuk apapun, termasuk menindas atau melenyapkan nyawa sekalipun. Di samping pilihan untuk menggunakannya sebagai alat kebajikan dan memuliakan mahluk hidup dan alam. Yang disebutkan terakhir adalah hal yang hampir mustahil dan utopis.
Pada abad 21 sekarang ini, dunia global menemukan momentumnya sebagai satu kesatuan yang universal, di bawah panji-panji globalisasi dan dominasi demokrasi liberal. Apa yang dijelaskan dalam sejarah, mengenai persinggungan lokalitas-lokalitas yang ada, semacam suku, etnik, atau bangsa, dengan situasi real di luarnya yang berupa budaya baru, sistem bawaan yang baru, yang berasal dari kutub yang berbeda, telah berhasil menyingkirkan tapal-tapal batas yang menghalangi. Istilah kemajuan dan pembangunan adalah dalih yang bisa diterima oleh siapapun, dan itulah yang digandeng. Maka pertanyaannya untuk apa dan siapa kemajuan ini? Apakah hal ini murni kemuliaan manusia dan niatan yang suci untuk kemanusiaan yang manusiawi? Sebab mereka datang dari jarak yang jauh, bahkan ke pelosok, dari ruang yang beda, jika ini murni adalah kebaikan, Tuhan betul-betul mencipta mahluk yang begitu mulia. Namun, mengapa selalu saja kedatangan yang baru ini selalu disambut penuh prasangka, atau ditengah jalan barulah nampak tiada kedamaian, atau dalam waktu yang lama jelaslah kontradiksi yang ditimbulkan, dan akhirnya disimpulkanlah bahwa memang sejarah manusia adalah pertentangan.

Mengapa universalitas begitu bebas? Padahal batas teritori masih ada dan diakui. Nasionalisme masih menjadi pegangan negara-bangsa. Di setiap nasion ada bahasa yang ragam, suku dan etnik yang ragam, agama yang berbeda, gen yang berlainan, dan punya hukum tersendiri, yang pada akhirnya meneguhkan kedaulatannya. Mengapa universil? Kekuatan dan kekuasaan seperti apa yang global? Adakah satu tangan atau personal yang memegang kendali atas dunia? Hal itu sepertinya mustahil, Tuhankah dia?

Kekuasaan global adalah apabila dilihat dari bingkai globalisasi, mereka yang memegang kendali Perusahaan Multinasional, Lembaga keuangan Internasional, Lembaga moneter internasional, dan dengan demikian mereka adalah induk perputaran ekonomi internasional, berikut sosial, politik dan budaya internasional. Bagaimana mereka bekerja? Sementara negara-bangsa sedikit banyaknya masih ada yang egois akan kedaulatannya guna kepentingan kemerdekaannya. Yang mungkin terjadi adalah, tiada satu negara-bangsa pun yang betul-betul berdaulat dalam dunia yang digembosi tatanan kapitalistik. Bagaimana hal itu terjadi? Seperti yang kita ketahui, kapitalisme tidak menghendaki batas-batas teritori, bangsa, bahasa, etnik, atau apapun yang berbentuk batasan. Sebab itulah perdagangan menjadi kekuatan lain dari kekuasaan yang lain daripada nasionalisme, namun wilayah tiap nasion adalah tetap objek jarahan. Dan disinilah kinerja Lembaga-lembaga internasional memainkan seni kekuasaan.

Apa sih seni kekuasaan? Jika merujuk pada KBBI seni bisa berarti bentuk pengkategorian sifat, misalnya halus, kecil, tipis, atau indah. Atau bisa juga berarti keahlian untuk membuat karya yang bermutu berdasarkan tingkat kehalusan atau keindahannya. Atau poin yang lainnya, Seni juga adalah kesanggupan akal yang luar biasa untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi. Lalu apa gambaran dari seni kekuasaan? Seni kekuasaan apabila didefenisikan secara sederhana adalah keahlian atau kemampuan yang dimiliki pemegang kuasa untuk melegitimasi segala tindakannya terhadap teritori kekuasaan dan seluruh yang hinggap di dalamnya guna kepentingan tertentu untuk mendapat persetujuan luas secara periodik. Dengan demikian ada dua hal yang penting dalam seni kekuasaan, yang pertama adalah kemampuan atau keahlian untuk melegitimasi dan yang kedua adalah persetujuan luas atas legitimasi tersebut. Apa saja bentuk kemampuan dan keahlian melegitimasi? Dan persetujuan luas seperti apa yang dimaksudkan, serta bagaimana keduanya bisa menjadi inheren? Bentuk kepentingan seperti apa yang mendominasi dalam suatu kekuasaan? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin sifatnya umum dibincangkan, namun jawabannya sungguh menyedihkan jikalau itu keluar dari mulut kekuasaan.

Antonio Gramsci membongkar peran penting kekuasaan dalam upaya mendapatkan persetujuan luas atau umum yang bersifat spontan ataupun dalam jangka waktu yang panjang di dalam teori hegemoninya yang cukup fenomenal. Negara adalah bentuk kekuasaan yang telah terlembaga dan terdiri atas beberapa perangkat yang bertujuan mengatur masyarakatnya, dari sisi ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Alhasil, dimensi kehidupan diatur dalam institusinya masing-masing dibawah kendali pemegang kekuasaan. Dan keseluruhan institusi akan membawa misi hegemonik hingga ke akar masyarakat yang paling dasar. Dengan demikian, persetujuan akan segera tersepakati. Perlu dicatat, dalam kekuasaan, persetujuan yang dimaksud bukanlah sesuatu yang melulu sifatnya damai, persetujuan bisa diterima secara lapang dada, terintimidasi, berdarah, atau menumbalkan korban jiwa. Namun perlakuan yang beragam bentuknya itu tetap saja terlihat absah, mengapa demikian? Sebab kekuatan hegemoni sangatlah kuat, Gramsci menyebutkan ada dua perangkat penting yang menyokong hegemoni hingga terlihat absah, yakni; Kekuasaan intelektual dan kekuasaan Moral. Keduanya adalah kekuatan pembenaran atau pelegitimasi langkah kekuasaan.
Tidak sampai disitu, seperti disebutkan sebelumnya, tidak jarang penetapan suatu langkah atau kebijakan berjalan tidak damai. 

Meskipun hegemoni telah dijalankan demikian rupa. Louis Althusser yang merupakan pemikir teori kritis, menempatkan perangkat hegemonik ke dalam poin Ideological State Apparatus, dimana negara mengontrol alam ide masyarakatnya, dengan menanamkan kesadaran palsu yang menyembunyikan kebohongan besar dibaliknya. Mski demikian, tetap saja penolakan akan tetap ada, pada tataran teknis program pemerintah misalnya, Konsesi beberapa perusahaan perkebunan nasional di beberapa wilayah, masih saja berlangsung dengan penuh iringan penolakan dari masyarakat setempat, hal itu menunjukkan bahwa konsesi tersebut sesuatu yang dipaksakan yang berseberangan dengan kehendak masyarakat. Namun penolakan umumnya masih berkutat pada landasan moral, bukan pada bangunan atau landasan struktural. Lalu bagaimana kekuasaan tetap saja bisa melanjutkan dan melakukan penjarahan tanah atau alam? Merebut sarana produksi masyarakat? Althusser kemudian menambahkan, disinilah letak pentingnya Represif State Apparatus untuk mengamankan misi-misi kekuasaan yang tak kalah represif.

Namun yang dilakukan oleh negara/bangsa tidak hanyalah membantu kapitalisme dalam menghadapi guncangan pada siklus kelas semata, dominasi, penguasaan sarana produksi, penyedia tenaga kerja. Dari konsepsi adiluhungnya kekuasaan kapitalisme global, kapitalisme lanjut, mutakhir, atau pasca-fordisme telah melanglang buana dalam mengkomodifikasi seisi dunia, hingga imajinasi manusia sekalipun telah ditumpulkan, utamanya mengenai harapan-harapan dunia tanpa kapitalisme. Ini dijelaskan oleh Hizkia Yosie Polimpung dalam tulisannya di IndoPROGRESS mengkritisi buku Materialisme Dialektika karya Martin Suryajaya. Menurutnya tiada lagi dunia di luar kapitalisme, hidup setiap orang telah digubah menjadi komoditas dan kapital sekaligus. Ia menggunakan analisis Antonio Negri dan hardt mengenai Multitude sebagai kelas baru. Dimana semua orang disulap menjadi mahluk yang mengalami ketertundukan patuh terhadap kekuasaan kapitalisme. Pada bagian apendiks ia mengatakan:

”bukan hanya ‘tidak ada sesuatu yang diluar sana’, melainkan juga bahwa gagasan, hasrat, dan dogma tentang ‘yang di luar sana’ adalah efek dari kekuasaan hegemonik par excellence.”

Ia menunjukkan bahwa seperti demikian hasil kinerja perangkat hegemoni kapitalisme terhadap seisi dunia. Bahkan dalam hal pengandaian ataukah imajinasi mengenai dunia luar telah terperangkap dalam jejaring hegemoni kapitalisme.

Di sini saya kira tepat untuk melakukan sedikit ujian apakah hegemoni kapitalisme dan negara ini telah menancap kuat atau tidak: jika kita yakin bahwa imajinasi adalah tidak terbatas sifatnya, maka coba bayangkan dunia tanpa negara dan pasar! Jika kita tidak bisa membayangkan ini, berarti tandanya hegemoni keduanya sudah teramat sukses menghapus ‘dunia luar’ bahkan dari imajinasi kita, yang konon tak terbatas. Bisa saja kita membayangkan dunia tertabrak meteor, migrasi ke Mars, mobil tanpa roda, robot yang sangat menyerupai manusia, dst., tapi saat berbicara tentang dunia tanpa negara dan pasar: tidak mungkin! Sangat menyedihkan, bukan? Bahkan sampai kategori yang mungkin dan tak mungkin, kontrol kekuasaan sudah tertancap.”

Hizkia beranggapan bahwa kapitalisme pasca-fordisme telah jauh melampaui kapitalisme abad 19 dan 20. Kapitalisme era abad 19-20 adalah kapitalisme kasar yang berbasis manufaktur. Sekarang tampil begitu halus beriringan dengan kemajuan teknologi permesinan dan informasi. Dengan demikian, kapitalisme tidak lagi hanya terfokus pada kotak produksi, tetapi juga pada relasi sosial. Menurutnya, masih menggunakan analisis Negri dan hardt, relasi sosial yang dibangun sama pentingnya dengan relasi produksi. Maka analisis negeri membagi kerja menjadi dua yakni kerja material dan kerja imaterial. Kerja material terdiri atas kerja konkrit dan kerja abstrak, sementara kerja imaterial terdiri atas kerja intelektual, kerja afektif, dan kerja biopolitik. Kerja konkrit dan abstrak masing-masing akan menghasilkan nilai lebih dan nilai tukar, yang pada akhirnya nilai surplus (Surplus Value). Sementara kerja afektif akan menghasilkan emosi, kerja intelektual menghasilkan jejaring pengetahuan/epistemik, dan kerja biopolitik menghasilkan kehidupan kapitalistik,  yang pada akhirnya terangkum menjadi relasi sosial. Dengan ini, nilai surplus dan relasi sosial berjalan beriringan dan segandeng, kemudian bertemu lagi pada kotak komoditas produk kapitalisme. Maka tidak ada ruang yang terisa selain kapitalisme. Inilah seni kekuasaan kapitalisme pasar yang berelasi dengan negara, yang sepertinya memiliki ikatan darah yang sulit dipisahkan. Mengenai kerja imaterial, berikut saya kutip analogi yang juga dipaparkan Hizkia:

“…, artis Indonesian Idol misalnya. Bagaimana menjadi seorang Idol adalah menjadi pekerja imaterial, dan relasi sosial macam apakah yang dihasilkan kerja imaterial seorang Idol? Secara singkat dan cepat, kerja primer yang dilakukan seorang Idol tentu saja menyanyikan lagu. Semenjak Indonesian Idol ‘berjualan’ idola, maka yang menjadi komoditas di sini bukan hanya suara dan nyanyiannya, melainkan sosok imajiner sang Idol. Alhasil sang Idol itupun terbubuhi nilai saat ia ditransformasi menjadi komoditas. Lalu saat ia menyanyi, ia tidak hanya menyanyi, melainkan ia menghibur. Kerja menghibur adalah sebentuk kerja afektif. Drama-drama yang diperankan sang idol pun pada akhirnya akan menciptakan relasi emosional dengan para pemirsa. Ini semua pada gilirannya membentuk relasi sosial kapitalis yang olehnya dimungkinkan ratusan bahkan ribuan relasi pertukaran kapitalis lainnya: mulai dari iklan kutang yang dipakai sang idol sampai kecap manis yang belepotan di bibir sang Idol, tapi juga kaos, merchandise, foto, poster, dst. Ini baru lapis terdekat dari sang Idol, lalu bagaimana dengan bisnis panggung, lampu, event organizer, dst.? Atau lainnya, nada sambung, bisnis voting via SMS, dst.? Kita lihat dengan jelas di sini bahwa seonggok Idol, akan mampu menciptakan suatu jejaring relasi sosial yang memungkinkan banyak relasi pertukaran kapitalis bermunculan di sekitarnya. Inilah produksi imaterial.”

Analisis ini adalah relevan untuk membaca perkembangan kapitalisme lanjut, sekali lagi menurut Hizkia. Sebab kapitalisme dalam perkembangannya telah merubah analisis ekonomi politik yang berdasar pada basis produksi dan kelas. Dan itu, Gramsci juga mengatakan bahwa kultur adalah wilayah perjuangan yang amat penting, sebab, seperti diutarakan dimuka semua telah digembosi hegemoni kapitalisme, seperti pendidikan, agama, budaya/gaya hidup. Dan dengannya kapitalisme hanya akan dilawan dari dalam dengan menggunkan perangkat-perangkat yang disediakan kapitalisme. Hal ini memang seperti bernada pesimistis, namun unsur-unsur yang telah dikomodifikasi adalah keseluruhan hidup. Alhasil, bukan hanya analisis ekonomi-politik menjadi berubah dan harus berkembang yang basis teoritiknya berada pada kapital, relasi produksi dan kelas, namun juga unsur kehidupan lainnya harus menjadi areal kritis yang berlawan.

Selanjutnya, soal negara/bangsa yang memiliki ego kedaulatan yang sebenarnya digunakan untuk tidak berdaulat sama sekali. Sangat tipis jarak persinggungan kedaulatan dengan totalitarian, otoritarian, nasionalisme, bahkan akhirnya fasisme, meskipun kita kenal adapula  label demokrasi. Bahkan Hizkia menyebutnya sebagai tahta yang berhantu. Artinya, sekalipun kekuasaan negera telah direbut, potensi tahta yang diduduki seolah memiliki jiwa dan logika internalnya tersendiri yang sifatnya otonom dan berjalan secara obyektif di luar logika kapital, kelas, produksi, agama, dan kultur. Menurutnya lagi, siapapun yang mendudukinya akan terkutuk untuk mereproduksi eksistensi kedaulatan itu sendiri. Jadi alih-alih untuk menciptakan situasi sosialisme sejati, posisi tersebut malah menciptakan situasi yang jauh dari sosialisme. Maka memang benar, pemegang kekuasaan negara memang sering memiliki rasa kuasa  atas teritori dan masyarakatnya, sekaligus menjadi candu yang tidak terperikan. Siapakah yang akan menanggalkan tahta secara cuma-cuma? Itu hanya ada di luar kapitalisme. Pada akhirnya, harus disadari bahwa seni kekuasaan setingkat negara/bangsa hanyalah sebentuk instrumen kekuasaan pasar kapitalistik, jikalau ada yang mencoba menggunakan alternatif, maka tahta itu seakan-akan dengan sendirinya menendang bokong si pemegang kuasa negara, lalu digantikan dengan yang lebih moderat dan tunduk. Jika dunia telah menjadi pabrik kapitalisme, maka negara/bangsa hanyalah perkakas, alat produksi, atau kasarnya sebagai mesin, dan manusia-manusianya adalah kapital sekaligus komoditas.

Tidak ada komentar: