Sabtu, 02 Mei 2015

Untuk Segenggam Roti Pesanan


"Sajak yang mengisahkan keterasingan seorang Ayah ketika memasuki dunia yang sama sekali baru dan sangat kontras dengan tempat dimana dia lahir dan hidup.
Tempat itu adalah sebuah Kota/Negeri yang setiap pandang matanya selalu dibatasi bangunan yang seolah-olah menancapkan cakarnya di langit biru.
Hingga akhirnya Ia sadar telah menderita di dalamnya, tatkala ia menatap gedung penuh kaca yang memantulkan dirinya yang lusuh sendirian.
Tapi ia telah menjanjikan sesuatu kepada seseorang, dan karenanya Ia rela."
 
Malam telah larut
Situasi kian mencekik nafas,
Engkau tak sepantasnya tahu
Betapa masalah berkelakar,
Dan tak sepatutnyalah engkau
Yang mesti menimbang-nimbang
Semua beban yang seganas baja,
Kerana pundakmu tidaklah kuasa...

Kala pagi merenggut tidur
Engkau telah hadir jauh sebelum itu,
Kala buliran embun pagi binasa karena siang
Engkau telah berlabuh hingga sore besok jelang,
Dan kerananya kau letih...

Kapal telah bersandar di dermaga
Mereka membawamu ke sebuah polis yang agung,
Tampaklah engkau girang gemilang
Hingga matamu berbinar dan berbuliran air,
Yah engkau lena dengan pesonanya...

Tatkala langkah pertamamu menjejak
bola matamu mencoba menelenjangi gedung perkasa,
Senyummu isyaratkan kegelimangan manusia polis
Dan kau tiada kuasa tuk memahaminya,
Maka berawallah deritamu...

Malam telah larut
Dan engkau baru menyadari,
Betapa engkau sedari tadi hanyalah sendiri
Betapa engkau gundah gulana di lautan manusia polis,
Sebab mereka sedikitpun tiada maksud hati mengenalmu,
Sebab mereka hanya menggemilangkan diri sendiri,
Dan engkau tak tahu satupun nama yang akan jadi dewa baik,
Betapa malu engkau pada anakmu,
Tatkala kau tak membawa pulang segenggam roti pun,
Dan kau akan melihat mata bulatnya dikitari kelopak bengkak,
Yah, engkau harus tetap di polis itu,
Untuk membunuh kemanusiaanmu,
Demi roti untuk anakmu...