Kamis, 07 Mei 2015

SENYUM TERAKHIR

Selepas menabur benih kau rebahkan tubuh di antara pepohonan
Peluh yang basah kau biarkan mengering kau hiraukan
Punggung telah linu sedari mengerjakan petak pertama
Persendianpun terkoyakkan oleh  kekuatan tanah berlumpur itu
Kau tersenyum di dalam batin
Sebab tiada mampu menampakkannya di bagian wajahmu
Kau terus saja membatin
Melamunkan padi-padimu telah menguning di esok hari
Engkau rupanya tak sabar lagi
Ingin segera menggelar pesta panen
Seperti tahun kemarin
Yang diramaikan anak dan cucumu
Tetangga dan kerabatmu
Dan kau selalu membuka ruang wibawa untuk pak desa
Kau bagi tawa pada khalayak
Hingga kau menenggelamkan diri dalam keramaian
Engkau larut dalam suka cita itu
Yang kau yakini memang selalu saja di sekali pesta
Sebab, esok engkau telah berjabat dengan tengkulak
yang kau tahu ia lebih mengenal pasar
Dan Lusa engkau dikunjungi si ijon lagi
Yang kau tahu hanya ia tukang kredit
Dan yang tersisa hanyalah sekarung gabah
Yang akan kau bagi di meja keluargamu

Sontak kau terbangun dari khayal
Tanah yang kau tempati rebah sedang menggetarkan tubuhmu
Mungkinkah kerak bumi bergeser lagi hari ini?
Matamu mencoba menelanjangi sekitar
Namun tak kau dapati reruntuhan
Pepohonan tidak tumbang
Sawahmu tak terbelah
Namun kau semakin tergetar
Musibahkah ini?
Segala tanyamu kala membatin
Dipotong oleh suara keras yang bising
Telingamu coba engkau fungsikan sebaik mungkin
Pejaman matamu membuat konsentrasi telingamu kian fokus
Yah, engkau menemukan sumber suaranya,
Semakin dekat, semakin terasa,
Engkau menolehkan wajahmu pada sumber itu
Perlahan kau membuka matamu yang telah dikitari kelopak keriput
Sembari melafalkan dalam hati ribuan harapan
Semoga tiada celaka di hari ini,
Engkau melihat barisan manusia berbusana beda
Pak Desa yang kau hormati di posisi garda depan
Ia didampingi manusia-manusia cepak rapi
Dan membawa besi besar yang beroda besar pula
Bukankah itu mesin penghancur?

Manusia cepak itu tersenyum saat Pak desa menunjukmu
Engkau mencoba untuk membalas senyum itu
Namun penuh penolakan dalam jiwamu
Bibirmu tak dapat restu untuk melakukannya
Ia segera merogoh kotak hitam jinjingannya
Mungkin ia sedang salah tingkah karenamu
Ia mengambil secarik kertas yang penuh cap tangan
Disodorkannya padamu untuk kau baca
Dan matamu tidaklah pandai untuk berbohong
Bahwa yang terlihat adalah memang sebuah bukti
Perusahaan Perkebunan Multinasional
Terhitung sejak hari ini telah resmi menjadi pemilik lahanmu…
Engkau sadari…
Telah kalah dalam kehidupan..

Senyummu dalam khayal tadi rupanya menjadi yang kali terakhir…

Tidak ada komentar: