Kamis, 07 Mei 2015

Pagi Yang Terampas

Seperti hari-hari biasa, saya selalu terbangun di kala pagi buta, dimana hanya saat itu momen damai di antara singkatnya waktu dalam sehari bisa terasa. Secangkir kopi yang telah dingin harus saya minum sebab semalam belum dihabiskan, itu juga karena saya takut tergolong orang-orang yang mubazir. Dan juga tiada lembaran yang bernilai lagi untuk membeli sebungkus kopi baru sebagai sebab lain. Tentu saja tak terlupakan pelengkap yang penting, adalah lentingan rokok yang tatkala menghisap lalu menyembulkan asapnya dapat memperbaiki saraf tak normal sebab keluyuran malam tadi di hadapan mesin ketik. Untung saja beberapa batang rokok berhasil menyembunyikan diri di balik tumpukan sobekan-sobekan kertas dari terawang mataku yang telah sayup tengah malam tadi. Dan lengkaplah sudah kedamaian singkatku pagi kali ini.
Pagi sunyi memang sebagai gambaran kesepian yang tidak mengharuskan siapapun bersedih, sebab sunyi yang kumaksud bukan sedang sendiri. Tidak banyak yang bisa mengakses pagi yang damai, tentulah saya amat bersyukur sebab seluruh indera yang melekat pada tubuh saya masih bisa menyentuh nikmat yang satu ini. Selain karena sulit ditemukan bagi kebanyakan orang, pagi yang damai adalah perihal yang amatlah mahal. Tingkat kemahalannya bahkan tidak mengenal nominal atau kurs apapun, dan tentu saja siapapun tidak mampu memberinya nilai dengan menggunakan penilaian matematis. Oleh sebab itu, saya sangat mencintai momen-momen seperti ini, sembari berharap dapat menjumpainya di waktu yang sama pada hari-hari mendatang.
Siapapun itu, yang masih memilih pilihan sulit dan penuh resiko, adalah orang yang memang harus diakui memiliki jiwa kesatria agung nan tangguh. Seperti kecintaan saya pada momen romantika di kala pagi buta adalah sesuatu yang mungkin lenyap kemudian, karena dorongan lain yang sangat kuat secara terencana membunuhnya. Kehilangan itu berarti resiko karena memilih menghamba pada dorongan lain yang sewaktu-waktu pengaruhnya menjadi semakin kuat. Dorongan itu menjadi kuat ketika romantika pagi dibuat menjadi tak bernilai lagi. Hal ini menjadikanku semakin takut, dan mungkin orang lain akan berbisik-bisik dengan para koleganya tak jauh dari belakang saya, kemudian bersepakat mencap saya sebagai pengecut karena takut melangkah jika harus kehilangan sesuatu. Saya hanya berfikir dan terus bertanya-tanya, bagaimana orang-orang yang banyak itu bisa hidup tanpa ketenangan batinnya?
Sudahlah, saya enggan untuk melanjutkan fikiranku itu. Saya mencoba memulai hari ini seperti kemarin. Saya masih saja tersenyum sendiri di atas atap rumah yang belum juga rampung. Sedari tadi saya duduk menikmati pandangan luas di tempat ini. Terasa hembusan angin yang sejuk dari arah selatan menyapa lalu memeluk seluruh jasadku yang sedikit beku, bahkan menembus banyak jaringan dan sel-sel yang bertumpuk di dalamnya. Tatkala mentari telah menampakkan separuh dirinya di sisi kananku, itu berarti ia mengundangku untuk menoleh ke arahnya. yah, bagian ini yang paling saya senangi, saat dimana saya akan berdiri sambil merentangkan kedua tangan, lalu menghirup udara sejuk yang dinginnya sangat terasa ketika telah melintasi lubang hidung. Sambil menatap mentari separuh terbit yang silaunya masih bisa ditantang mata, dan juga karena bantuan gugusan awan yang menyelimutinya, kutegakkan kepalaku dan sejenak memejamkan mata sembari menikmati pijatan sinar mentari pagi pada sekujur  tubuh. Kecepatan cahaya itu memang sangat cepat, dan akan melumat segala ruang yang terbuka untuknya, terasa juga pori di permukaan kulit ini telah dirasukinya. Ah, ini benar-benar candu, akankah saya menanggalkan hal seperti ini? Bagaimanapun saya tidak bisa merelakan hal indah ini direnggut oleh hal lain. Saya tidak ingin seperti orang-orang yang banyak itu. Orang-orang yang tidak pernah tersenyum pada mentari pagi.
Betapa ada banyak momen yang berarti telah ditanggalkan dari hidup. Padahal itulah sumber kedamaian batin, kebahagiaan. Apa yang kutuangkan dalam paragraf-paragraf diatas mungkin hanyalah buah fikiran masa-masa yang telah lampau. Bertahun-tahun lamanya. Mungkin yang sebenarnya terjadi, setiap pagi terasa semakin menjadi sulit kian harinya. Dan dengan secara sadar ternyata saya telah berada di posisi yang paling saya hindari di masa-masa yang lampau itu. Posisi yang saya cela, posisi orang-orang banyak itu, yang tidak pernah berbalas senyum pada mentari. Alhasil, tak tahu mengapa, saya sangat kesal terhadap anggapan-anggapan motivator kondang yang mengharuskan waktu ditukar oleh uang. Ungkapan “Waktu adalah Uang” menjadi sugesti tersendiri sekaligus doktrin yang menyebabkan banyak orang kehilangan momentum yang manusiawi. Saya bahkan telah dipersiapkan oleh lembaga pendidikan bertahun-tahun lamanya hanya untuk menukar waktu dengan secarik uang. Hingga romantika di kala pagi harus terenggut oleh ganasnya dunia baru ini.
Saya dan orang-orang kebanyakan itu, mungkin hanya bisa melakukan hal yang sama. Menulis keindahan-keindahan masa silam pada secarik kertas lalu menghayatinya sendiri. Kesempatan-kesempatan itu menjadi hilang, ketika di suatu fajar, otak di dalam kepala telah terpanggil jasanya untuk mengerakkan organ lainnya agar segera berangkat sepagi mungkin menyelesaikan tugas dibelakang meja suatu perkantoran atau perusahaan. Tak sempatlah terfikir betapa ada hal yang dilalaikan, seperti halnya ibadah bagi umat yang beragama. Ibadah itu menenangkan batin, menyejukkan jiwa, tapi tetap saja waktu akan selalu tergadai untuk kepentingan yang tidak ada kaitan sama sekali dengan kedamaian batin dan jiwa manusia, apatah lagi untuk tuhannya. Seperti orang-orang yang kehilangan paginya.
Pagi ini adalah pagi yang kesekian kali saya merasakan kerinduan yang amat dalam terhadap pada masa-masa itu. Saya menghadirkan diri dalam sebuah dunia yang menuhankan sesuatu yang sama sekali baru, dan dia tidak hanya mencoba berada dimana-mana, tetapi berpindah tangan kemana-mana. Dan tanpanya orang akan dibuat sulit mengakses hidup yang sederhana sekalipun. Harus saya akui, bahwa memang saya menyusun paragraf-paragraf sederhana ini dibelakang meja yang mencuri kedamaian pagiku. Sedari tadi sekali-kali pandangan saya arahkan keluar jendela ruangan ini, yah saya tahu membaca gerak-gerik orang-orang di luar sana dengan bekal pengetahuan psikologi yang standar. Mereka yang berjas dan berdasi itu sedang berinteraksi karena mungkin sedang bertransaksi. Yang muda itu tertawa pada yang mudi, saya harap itu terjadi bukan karena motif pasar yang memerantarai mereka. Tukang parkir itu, saya tahu dia harus datang lebih pagi dari pemilik kendaraan di tepi jalan jikalau ingin tetap makan ataupun ngerokok. Dan petugas kebersihan itu, saya tahu ia petugas yang harus bertanggunjawab akan kebersihan jalan raya, namun cara menghargainya bukan dengan cara orang yang melintas itu, membuang sampah dimana-mana karena mungkin menurutnya tak membuat petugas kebersihan itu menganggur, dan itu mulia.
 Akhirnya saya harus sudahi tulisan ini, saya akan kehilangan pekerjaan jikalau atasan mengetahui saya tengah mencuri waktu dan memanfaatkan ruangan yang telah dibelinya hanya untuk menulis cerita konyol  tentang Romantika Pagi Yang Terampas.

Tidak ada komentar: