Seperti hari-hari biasa, saya
selalu terbangun di kala pagi buta, dimana hanya saat itu momen damai di antara
singkatnya waktu dalam sehari bisa terasa. Secangkir kopi yang telah dingin
harus saya minum sebab semalam belum dihabiskan, itu juga karena saya takut
tergolong orang-orang yang mubazir. Dan juga tiada lembaran yang bernilai lagi
untuk membeli sebungkus kopi baru sebagai sebab lain. Tentu saja tak terlupakan
pelengkap yang penting, adalah lentingan rokok yang tatkala menghisap lalu
menyembulkan asapnya dapat memperbaiki saraf tak normal sebab keluyuran malam tadi
di hadapan mesin ketik. Untung saja beberapa batang rokok berhasil
menyembunyikan diri di balik tumpukan sobekan-sobekan kertas dari terawang
mataku yang telah sayup tengah malam tadi. Dan lengkaplah sudah kedamaian
singkatku pagi kali ini.
Pagi sunyi memang sebagai
gambaran kesepian yang tidak mengharuskan siapapun bersedih, sebab sunyi yang
kumaksud bukan sedang sendiri. Tidak banyak yang bisa mengakses pagi yang
damai, tentulah saya amat bersyukur sebab seluruh indera yang melekat pada
tubuh saya masih bisa menyentuh nikmat yang satu ini. Selain karena sulit
ditemukan bagi kebanyakan orang, pagi yang damai adalah perihal yang amatlah
mahal. Tingkat kemahalannya bahkan tidak mengenal nominal atau kurs apapun, dan
tentu saja siapapun tidak mampu memberinya nilai dengan menggunakan penilaian
matematis. Oleh sebab itu, saya sangat mencintai momen-momen seperti ini,
sembari berharap dapat menjumpainya di waktu yang sama pada hari-hari mendatang.
Siapapun itu, yang masih memilih
pilihan sulit dan penuh resiko, adalah orang yang memang harus diakui memiliki
jiwa kesatria agung nan tangguh. Seperti kecintaan saya pada momen romantika di
kala pagi buta adalah sesuatu yang mungkin lenyap kemudian, karena dorongan
lain yang sangat kuat secara terencana membunuhnya. Kehilangan itu berarti
resiko karena memilih menghamba pada dorongan lain yang sewaktu-waktu
pengaruhnya menjadi semakin kuat. Dorongan itu menjadi kuat ketika romantika
pagi dibuat menjadi tak bernilai lagi. Hal ini menjadikanku semakin takut, dan
mungkin orang lain akan berbisik-bisik dengan para koleganya tak jauh dari
belakang saya, kemudian bersepakat mencap saya sebagai pengecut karena takut
melangkah jika harus kehilangan sesuatu. Saya hanya berfikir dan terus
bertanya-tanya, bagaimana orang-orang yang banyak itu bisa hidup tanpa
ketenangan batinnya?
Sudahlah, saya enggan untuk
melanjutkan fikiranku itu. Saya mencoba memulai hari ini seperti kemarin. Saya
masih saja tersenyum sendiri di atas atap rumah yang belum juga rampung. Sedari
tadi saya duduk menikmati pandangan luas di tempat ini. Terasa hembusan angin
yang sejuk dari arah selatan menyapa lalu memeluk seluruh jasadku yang sedikit
beku, bahkan menembus banyak jaringan dan sel-sel yang bertumpuk di dalamnya. Tatkala
mentari telah menampakkan separuh dirinya di sisi kananku, itu berarti ia
mengundangku untuk menoleh ke arahnya. yah, bagian ini yang paling saya senangi,
saat dimana saya akan berdiri sambil merentangkan kedua tangan, lalu menghirup
udara sejuk yang dinginnya sangat terasa ketika telah melintasi lubang hidung.
Sambil menatap mentari separuh terbit yang silaunya masih bisa ditantang mata,
dan juga karena bantuan gugusan awan yang menyelimutinya, kutegakkan kepalaku
dan sejenak memejamkan mata sembari menikmati pijatan sinar mentari pagi pada
sekujur tubuh. Kecepatan cahaya itu
memang sangat cepat, dan akan melumat segala ruang yang terbuka untuknya,
terasa juga pori di permukaan kulit ini telah dirasukinya. Ah, ini benar-benar
candu, akankah saya menanggalkan hal seperti ini? Bagaimanapun saya tidak bisa
merelakan hal indah ini direnggut oleh hal lain. Saya tidak ingin seperti
orang-orang yang banyak itu. Orang-orang yang tidak pernah tersenyum pada
mentari pagi.
Betapa ada banyak momen yang
berarti telah ditanggalkan dari hidup. Padahal itulah sumber kedamaian batin,
kebahagiaan. Apa yang kutuangkan dalam paragraf-paragraf diatas mungkin hanyalah
buah fikiran masa-masa yang telah lampau. Bertahun-tahun lamanya. Mungkin yang
sebenarnya terjadi, setiap pagi terasa semakin menjadi sulit kian harinya. Dan
dengan secara sadar ternyata saya telah berada di posisi yang paling saya
hindari di masa-masa yang lampau itu. Posisi yang saya cela, posisi orang-orang
banyak itu, yang tidak pernah berbalas senyum pada mentari. Alhasil, tak tahu
mengapa, saya sangat kesal terhadap anggapan-anggapan motivator kondang yang
mengharuskan waktu ditukar oleh uang. Ungkapan “Waktu adalah Uang” menjadi
sugesti tersendiri sekaligus doktrin yang menyebabkan banyak orang kehilangan
momentum yang manusiawi. Saya bahkan telah dipersiapkan oleh lembaga pendidikan
bertahun-tahun lamanya hanya untuk menukar waktu dengan secarik uang. Hingga romantika
di kala pagi harus terenggut oleh ganasnya dunia baru ini.
Saya dan orang-orang kebanyakan
itu, mungkin hanya bisa melakukan hal yang sama. Menulis keindahan-keindahan
masa silam pada secarik kertas lalu menghayatinya sendiri.
Kesempatan-kesempatan itu menjadi hilang, ketika di suatu fajar, otak di dalam
kepala telah terpanggil jasanya untuk mengerakkan organ lainnya agar segera
berangkat sepagi mungkin menyelesaikan tugas dibelakang meja suatu perkantoran
atau perusahaan. Tak sempatlah terfikir betapa ada hal yang dilalaikan, seperti
halnya ibadah bagi umat yang beragama. Ibadah itu menenangkan batin,
menyejukkan jiwa, tapi tetap saja waktu akan selalu tergadai untuk kepentingan
yang tidak ada kaitan sama sekali dengan kedamaian batin dan jiwa manusia,
apatah lagi untuk tuhannya. Seperti orang-orang yang kehilangan paginya.
Pagi ini adalah pagi yang
kesekian kali saya merasakan kerinduan yang amat dalam terhadap pada masa-masa
itu. Saya menghadirkan diri dalam sebuah dunia yang menuhankan sesuatu yang
sama sekali baru, dan dia tidak hanya mencoba berada dimana-mana, tetapi
berpindah tangan kemana-mana. Dan tanpanya orang akan dibuat sulit mengakses
hidup yang sederhana sekalipun. Harus saya akui, bahwa memang saya menyusun
paragraf-paragraf sederhana ini dibelakang meja yang mencuri kedamaian pagiku.
Sedari tadi sekali-kali pandangan saya arahkan keluar jendela ruangan ini, yah
saya tahu membaca gerak-gerik orang-orang di luar sana dengan bekal pengetahuan
psikologi yang standar. Mereka yang berjas dan berdasi itu sedang berinteraksi
karena mungkin sedang bertransaksi. Yang muda itu tertawa pada yang mudi, saya
harap itu terjadi bukan karena motif pasar yang memerantarai mereka. Tukang
parkir itu, saya tahu dia harus datang lebih pagi dari pemilik kendaraan di
tepi jalan jikalau ingin tetap makan ataupun ngerokok. Dan petugas kebersihan
itu, saya tahu ia petugas yang harus bertanggunjawab akan kebersihan jalan
raya, namun cara menghargainya bukan dengan cara orang yang melintas itu,
membuang sampah dimana-mana karena mungkin menurutnya tak membuat petugas
kebersihan itu menganggur, dan itu mulia.
Akhirnya saya harus sudahi tulisan ini, saya
akan kehilangan pekerjaan jikalau atasan mengetahui saya tengah mencuri waktu dan
memanfaatkan ruangan yang telah dibelinya hanya untuk menulis cerita
konyol tentang Romantika Pagi Yang
Terampas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar