Sabtu, 02 Mei 2015

Kata 'TIDAK' Yang Menggema

Pasar bebas telah mengalami metamorfosis mengerikan: kini Anda bebas memilih mau pergi ke pusat belanja yang mana, tapi toko-tokonya sama dan merk-merknya juga sama. Kebebasan awal palsu dalam tirani dagang, “penawaran bebas dan permintaan bebas”, koyak sudah.

(Essai Dunia: Tujuh Pemikiran di Bulan Mei 2003. Subcomandante Insurgente Marcos)



Perkembangan sistem pasar bebas memang telah merebak kemana-mana, keseluruh pintu yang ada di muka Bumi. Ungkapan Jubir Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN) di atas yang fenomenal di Meksiko, cukup menggambarkan metamorfosanya. Dalam perkembangannya yang sangat cepat, sistem ini membuat segalanya cepat jadi usang. Dan karenanya sistem produksi dipompa seproduktif mungkin, dan konsumsi digenjot segila mungkin. Dampaknya, usia produk sangat singkat. Dengan demikian, usaha yang dilakukan agar penawaran menghabiskan produk dalam usianya yang singkat, adalah menciptakan agama dan kultur baru di tengah masyarakat konsumsi. Agama itu adalah Neo-liberalisme, dan budaya yang diusung ialah budaya konsumtif. Bagaimana hal ini bisa diterima? Bagi Marcos (2003) ini dilakukan dengan perang yang terkejam sepanjang sejarah umat manusia.  
Mungkin kita masih mengingat apa yang disampaikan dalam kata per katanya Commandante Marcos (2003) dalam ceramah Perang Dunia Keempatnya yang brilian. Mereka (kapitalis) mesti menganggap dunia ini adalah wilayah taklukan yang luas dengan musuh yang terhancurkan. Guna membuatnya efektif, Dunia ini pun harus mencapai apa yang dinamakan dengan ‘globalisasi’. Maka penemuan yang paling berarti untuk menjalankan misi pengglobalan ini adalah Tekhnologi Informasi. Penemuan Komputer dan Internet membolehkan orang berada di mana-mana secara simultan. Tidak ada lagi batas atau kekangan ruang dan waktu. Berkat komputerlah proses globalisasi dimulai. Pemisahan, perbedaan, Negara-negara-Bangsa, seluruhnya runtuh, dan dunia menjadi apa yang secara realistis dinamai kampung global.
Homogenisasi kapitalisme
Ada beberapa yang sifatnya konstan dalam peperangan. Yakni, penaklukan wilayah dan reorganisasinya, Penghancuran atau pembasmian musuh, dan pengaturan wilayah taklukan (Marcos:2003). Yah, untuk pertama dan yang terakhir, telah dijalankan dengan nyaris sempurna oleh para penguasa Globalisasi atau organ vital skala Internasional seperti WTO, IMF, World Bank, dan Negara-Bangsa penyokong absolutisme politisnya dikancah nasional dan global. Tapi untuk yang kedua, mungkin mereka akan kebingungan, sembari bertanya-tanya dalam kepura-puraannya mengetahui dan memahami seisi dunia karena telah menguasai satu planet. mengapa musuh-musuh ini tiada habisnya? Dan seseorang beserta jutaan kawannya yang berontak dan revolusioner secara tak diduga muncul dalam selang tanyanya, “Tentulah itu tiada habisnya jika engkau akan memaksakan penyeragaman manusia dan menghilangkan harkat kemanusiaanya dalam kendalimu atas pasar dan karenanya kau akan menguasai seluruhnya dalam keinginanmu yang tak berujung”. Sepintas mereka menunjukkan kemuakannya.
Seperti yang kita tahu, musuh dari mereka adalah kemanusiaan dan heterogenitas manusia dalam rumusan peperangan yang terbarunya. Bangsa-bangsa, bahasa, budaya, agama, dan hal-hal beragam lainnya yang menciptakan perbedaan harus dihancurkan. Namun maksud dari menghancurkan disini bukanlah menghilangkannya. Akan tetapi menundukkan dan mematuhkan semuanya kedalam Agama, bahasa, budaya, moralitas, dan Undang-undang Neoliberalisme yang tunggal dan global. Sebagian besar kita mungkin dengan sadar akan mengatakan bahwa “saya dari marga ini, saya dari suku ini, berbahasa demikian, kami punya lagu dan tarian yang khas, ada aturan adat yang membatasi sifat kebinatangan kami yang penuh nafsu, ini budaya kami, dan kami sederhana serta bahagia karenanya”. Dalam dunia global, ungkapan demikian adalah kolot. Karenanya harus disingkirkan.
Alih-alih mereka akan menciptakan kampung Global yang seragam, mereka malah menciptakan kekuatan musuh yang jauh lebih besar akibat fragmentasi proyek globalisasi mereka. Alih-alih mereka ingin menyeragamkan kita semua dibawah sistem komputerisasi dan global market yang tunggal, malah mereka mencipta musuh di dalam sistemnya sendiri yang berusaha keluar darinya. Idealnya, di era yang serba komputer dan digital ini, kebanyakan kita manusia yang diselatankan, ditimurkan, dicap tertinggal sebagaimana konsepsi Underdevelopment-nya Harry S. Trauman, dicap berbeda, dan penghalang kemajuan peradaban dunia, karena sebagian besar menolak tunduk pada komputer dan masih ingin hidup damai dalam hubungan sosial yang bukan dihubungkan karena uang. Adalah perbedaan, adalah yang dibedakan oleh mereka, bukan karena perbedaan yang murni sebagaimana diatas disebutkan adalah kodrat manusia untuk bersuku-suku, beradat-adat, bermarga-marga, namun manusia jenis kita semua ini dianggap berbeda, berlainan, memiliki gangguan mental, dan sebagainya. Hanya karena tidaklah memungkinkan untuk tunduk pada logika dan hukum pasar yang menyesatkan. Menurut anggapan mereka, yang sejenis inilah musuh terkini yang berkepala batu dan sungguh bebal. Dan masih saja menjamur di daerah taklukan ekonomi-politik imperialisme mereka.
Perlawanan ada dimana-mana
Dalam dunia yang kapitalistik ini, tentu para pengembannya memiliki ketakutan sendiri dibalik jargon-jargon kemenangannya. Ketakutan akan kebangkrutan kapitalisme, ketakutan atas batasan yang mungkin selalu ada dalam bayangan paranoid mereka, dan sialnya bagi mereka karena itu rupanya nyata. Dan karena ketakutannya pula, mereka bersikukuh mengupayakan kesuksesan penyeragaman manusia menjadi komoditas sekaligus pelaku konsumeris yang menguntungkan dan menyejahterahkan mereka yang minoritas dan segelintir itu. Mereka berusaha membuat wilayah taklukan berada dalam kendali pengaturan dan manajemen rasional mereka yang keji, dan karena mereka yang menggaji para legislator sebelum tepilih dan berkantor, memodali politisi yang buta dan tuli, eksekutor nasion yang otoriter dan anti-kritik, Serta aktor yudikatif yang gemar memelinitir pasal ketika yang bersalah adalah utara, barat, putih, bermodal dan berkuasa.  Namun  sebaliknya, sangat gemar menyiksa dan membunuh batin serta jasmani manusia ketika yang tertuduh bersalah adalah mereka yang timur, selatan, coklat, hitam, merah, miskin dan tak punya kuasa atas apapun karena nama suci hukum dan pasal atau bahkan tanpa proses pengadilan sedetikpun. Maka terasa halal baginya mendikte atas nama peradaban, kebebasan, dan persamaan sampai membunuh kemanusiaan bagi mereka yang menolak terdikte. Ini sebagai bentuk pembayaran 1% bunga dari investasi ekonomi-politiknya. Lalu mereka tertawa, tapi tetap dalam kepalsuannya, kegelisahan mereka tidak berhenti, sebab halangan dan batasan selalu saja ada di balik klaim-klaim kemenangan monumental para pengembannya.
Ruang dan waktu, serta isi kandungan yang dikitarinya memang telah terkomodifikasi secara radikal, oleh sang empunya pasar. Namun mereka tidak akan habis pikir, ketika beberapa Negara-Bangsa yang di dalamnya terpelihara budaya berontak dan revolusioner itu. Mereka tak akan habis pikir perempuan seperti Camila Vallejo bisa membangkang menolak intervensi WTO dan IMF atas kehidupan Chile, terutama untuk pendidikannya. Ada apa dengan wacana Iran yang mengembangkan persenjataan Nuklir? Dan bagaimanapun Amerika serikat yang selalu paranoid keamanan nasionalnya sedang dibidik teroris, telah gagal meyakinkan dunia jikalau Kuba adalah ancaman dan negara teroris, atau Kegagalannya mencap Venezuela sebagai ancaman tatanan Dunia yang damai, Bahkan Korea Utara tidak tanggung-tanggung dicap komunis yang tidak berperikemanusiaan. Apapula yang  jadi  alasan klaim-klaim negara adidaya ini? Mungkinkah karena di dalam beberapa negara-bangsa tersebut menolak adanya Bank Central yang berdiri? Ataukah karena menolak didirikannya pangkalan militer di negara-bangsa tersebut?
Tidak salah lagi, itu adalah salah satu atau dua dari sekian banyak ketakutannya mengenai hambatan-hambatan akan arah ekspansi kapitalnya. Yang ruang akan kepentingan akumulasi kapital itu menjadi mungkin tidak tersedia lagi dan krisis yang diproyeksikan oleh Karl Marx setelah berabad-abad lalu semakin mungkin dan tak lagi usang. Mereka butuh pasar baru, mereka butuh semua unsur yang dahulu belum tersentuh kapitalisme, dan karenanya sektor-sektor regional yang dikendalikan lembaga kaki tangan global tingkat regional semacam UNI EROPA, ASEAN, NAFTA   akan membuka mata dan hati bagi sektor non-kapitalistik di negara-negara anggota untuk sesegera mungkin diatapi oleh lembaran alat tukar universal paling mulia bagi mereka. Dan itu artinya mereka akan berhadap-hadapan sesering mungkin dengan masyarakat sipil : masyarakat tradisi, masyarakat adat, masyarakat kesukuan, Kaum Buruh, Buruh Tani, Kaum miskin kota, Mahasiswa/pelajar. Jauh lebih sering dari biasanya, karena kini peta dunia makin sempit.
Namun sayang, masyarakat sipil bukanlah kumpulan orang yang tidak waras seperti borjuis yang akal sehatnya sedangkal pasar. Mereka tidak tertarik membuat kota kosmopolitan, mereka tidak akan mencemari marganya dengan kesesatan laba. Mereka tidak akan melacurkan suku serta tradisi yang diwariskan petuahnya kepada germo-germo property. Mereka tidak akan menyandingkan kehidupan anak-anak, pemuda, laki-laki, perempuan, lansia, serta tokoh agamanya kepada mekanisme kompetitif yang menciderai persatuan dan persaudaraan. Maka sesungguhnya sejarah tidaklah berakhir di kapitalisme, dan jikalaupun menurut teoritisi ekonomi-politik dan sosial-budaya andalan mereka itu dibenarkan, itu hanya untuk menutup-nutupi ketakutannya, fhobianya terhadap pemberontakan dan penolakan yang terus gencar dan berlipat-ganda seiring mereka berekspansi. Dan tentulah mereka memiliki gejala traumatik, dan karenanya mereka selalu paranaoid karena meminum pil kemanusiaan berdarah yang menjadi candu, lebih garang dari narkotika.
Dahulu mereka takut akan hantu-hantu yang disebutkan oleh Karl Marx tengah berkeliaran di Eropa (baca: Manifesto), namun kali ini mereka tidak hanya dihantui oleh hantu-hantu Eropa, Asia juga berhantu, Afrika juga berhantu, Amerika juga berhantu. Dan pada akhirnya mereka akan memaksakan diri dan berdoa semoga ini murni halusinasi. Tapi tidak. Hantu ini nyata dan ada dimana-mana. Hantu ini akan menyerukan kata TIDAK dimana-mana untuk kapitalisme, untuk neo-liberalisme, untuk neo-imperialisme. Sebagaimana Subcomandante Insurgente Marcos berseru; Sejarah jauh dari usai. Di masa depan, koeksistensi harmonis itu mungkin, bukan karena perang yang mencoba mendominasi yang lain, tapi karena “TIDAK” yang memberi umat manusia –seperti sebelumnya, di zaman prasejarah—cita-cita bersama, dan seiring dengan itu, harapan: harapan pertahanan hidup umat manusia, melawan neoliberalisme (Dunia: Tujuh Pemikiran Di Bulan Mei 2003).