Pasar bebas telah mengalami metamorfosis mengerikan: kini Anda bebas memilih mau pergi ke pusat belanja yang mana, tapi toko-tokonya sama dan merk-merknya juga sama. Kebebasan awal palsu dalam tirani dagang, “penawaran bebas dan permintaan bebas”, koyak sudah.
(Essai Dunia: Tujuh Pemikiran di Bulan Mei 2003. Subcomandante Insurgente Marcos)
Perkembangan sistem pasar bebas
memang telah merebak kemana-mana, keseluruh pintu yang ada di muka Bumi.
Ungkapan Jubir Ejército Zapatista de
Liberación Nacional (EZLN) di atas yang fenomenal di Meksiko, cukup
menggambarkan metamorfosanya. Dalam perkembangannya yang sangat cepat, sistem
ini membuat segalanya cepat jadi usang. Dan karenanya sistem produksi dipompa
seproduktif mungkin, dan konsumsi digenjot segila mungkin. Dampaknya, usia
produk sangat singkat. Dengan demikian, usaha yang dilakukan agar penawaran
menghabiskan produk dalam usianya yang singkat, adalah menciptakan agama dan
kultur baru di tengah masyarakat konsumsi. Agama itu adalah Neo-liberalisme,
dan budaya yang diusung ialah budaya konsumtif. Bagaimana hal ini bisa
diterima? Bagi Marcos (2003) ini dilakukan dengan perang yang terkejam
sepanjang sejarah umat manusia.
Mungkin kita masih mengingat apa
yang disampaikan dalam kata per katanya Commandante Marcos (2003) dalam ceramah
Perang Dunia Keempatnya yang brilian.
Mereka (kapitalis) mesti menganggap dunia ini adalah wilayah taklukan yang luas
dengan musuh yang terhancurkan. Guna membuatnya efektif, Dunia ini pun harus
mencapai apa yang dinamakan dengan ‘globalisasi’. Maka penemuan yang paling
berarti untuk menjalankan misi pengglobalan ini adalah Tekhnologi Informasi.
Penemuan Komputer dan Internet membolehkan orang berada di mana-mana secara
simultan. Tidak ada lagi batas atau kekangan ruang dan waktu. Berkat
komputerlah proses globalisasi dimulai. Pemisahan, perbedaan,
Negara-negara-Bangsa, seluruhnya runtuh, dan dunia menjadi apa yang secara
realistis dinamai kampung global.
Homogenisasi
kapitalisme
Ada beberapa yang sifatnya
konstan dalam peperangan. Yakni, penaklukan wilayah dan reorganisasinya,
Penghancuran atau pembasmian musuh, dan pengaturan wilayah taklukan
(Marcos:2003). Yah, untuk pertama dan yang terakhir, telah dijalankan dengan
nyaris sempurna oleh para penguasa Globalisasi atau organ vital skala
Internasional seperti WTO, IMF, World Bank, dan Negara-Bangsa penyokong
absolutisme politisnya dikancah nasional dan global. Tapi untuk yang kedua,
mungkin mereka akan kebingungan, sembari bertanya-tanya dalam kepura-puraannya
mengetahui dan memahami seisi dunia karena telah menguasai satu planet. mengapa
musuh-musuh ini tiada habisnya? Dan seseorang beserta jutaan kawannya yang
berontak dan revolusioner secara tak diduga muncul dalam selang tanyanya,
“Tentulah itu tiada habisnya jika engkau akan memaksakan penyeragaman manusia
dan menghilangkan harkat kemanusiaanya dalam kendalimu atas pasar dan karenanya
kau akan menguasai seluruhnya dalam keinginanmu yang tak berujung”. Sepintas
mereka menunjukkan kemuakannya.
Seperti yang kita tahu, musuh
dari mereka adalah kemanusiaan dan heterogenitas manusia dalam rumusan
peperangan yang terbarunya. Bangsa-bangsa, bahasa, budaya, agama, dan hal-hal
beragam lainnya yang menciptakan perbedaan harus dihancurkan. Namun maksud dari
menghancurkan disini bukanlah menghilangkannya. Akan tetapi menundukkan dan
mematuhkan semuanya kedalam Agama, bahasa, budaya, moralitas, dan Undang-undang
Neoliberalisme yang tunggal dan global. Sebagian besar kita mungkin dengan
sadar akan mengatakan bahwa “saya dari marga ini, saya dari suku ini, berbahasa
demikian, kami punya lagu dan tarian yang khas, ada aturan adat yang membatasi
sifat kebinatangan kami yang penuh nafsu, ini budaya kami, dan kami sederhana
serta bahagia karenanya”. Dalam dunia global, ungkapan demikian adalah kolot.
Karenanya harus disingkirkan.
Alih-alih mereka akan menciptakan
kampung Global yang seragam, mereka malah menciptakan kekuatan musuh yang jauh
lebih besar akibat fragmentasi proyek globalisasi mereka. Alih-alih mereka
ingin menyeragamkan kita semua dibawah sistem komputerisasi dan global market yang tunggal, malah mereka
mencipta musuh di dalam sistemnya sendiri yang berusaha keluar darinya.
Idealnya, di era yang serba komputer dan digital ini, kebanyakan kita manusia
yang diselatankan, ditimurkan, dicap tertinggal sebagaimana konsepsi Underdevelopment-nya Harry S. Trauman,
dicap berbeda, dan penghalang kemajuan peradaban dunia, karena sebagian besar
menolak tunduk pada komputer dan masih ingin hidup damai dalam hubungan sosial
yang bukan dihubungkan karena uang. Adalah perbedaan, adalah yang dibedakan
oleh mereka, bukan karena perbedaan yang murni sebagaimana diatas disebutkan
adalah kodrat manusia untuk bersuku-suku, beradat-adat, bermarga-marga, namun
manusia jenis kita semua ini dianggap berbeda, berlainan, memiliki gangguan
mental, dan sebagainya. Hanya karena tidaklah memungkinkan untuk tunduk pada
logika dan hukum pasar yang menyesatkan. Menurut anggapan mereka, yang sejenis
inilah musuh terkini yang berkepala batu dan sungguh bebal. Dan masih saja
menjamur di daerah taklukan ekonomi-politik imperialisme mereka.
Perlawanan ada
dimana-mana
Dalam dunia yang kapitalistik
ini, tentu para pengembannya memiliki ketakutan sendiri dibalik jargon-jargon
kemenangannya. Ketakutan akan kebangkrutan kapitalisme, ketakutan atas batasan
yang mungkin selalu ada dalam bayangan paranoid mereka, dan sialnya bagi mereka
karena itu rupanya nyata. Dan karena ketakutannya pula, mereka bersikukuh
mengupayakan kesuksesan penyeragaman manusia menjadi komoditas sekaligus pelaku
konsumeris yang menguntungkan dan menyejahterahkan mereka yang minoritas dan
segelintir itu. Mereka berusaha membuat wilayah taklukan berada dalam kendali
pengaturan dan manajemen rasional mereka yang keji, dan karena mereka yang
menggaji para legislator sebelum tepilih dan berkantor, memodali politisi yang
buta dan tuli, eksekutor nasion yang otoriter dan anti-kritik, Serta aktor
yudikatif yang gemar memelinitir pasal ketika yang bersalah adalah utara,
barat, putih, bermodal dan berkuasa. Namun
sebaliknya, sangat gemar menyiksa dan
membunuh batin serta jasmani manusia ketika yang tertuduh bersalah adalah
mereka yang timur, selatan, coklat, hitam, merah, miskin dan tak punya kuasa
atas apapun karena nama suci hukum dan pasal atau bahkan tanpa proses
pengadilan sedetikpun. Maka terasa halal baginya mendikte atas nama peradaban,
kebebasan, dan persamaan sampai membunuh kemanusiaan bagi mereka yang menolak
terdikte. Ini sebagai bentuk pembayaran 1% bunga dari investasi
ekonomi-politiknya. Lalu mereka tertawa, tapi tetap dalam kepalsuannya,
kegelisahan mereka tidak berhenti, sebab halangan dan batasan selalu saja ada
di balik klaim-klaim kemenangan monumental para pengembannya.
Ruang dan waktu, serta isi
kandungan yang dikitarinya memang telah terkomodifikasi secara radikal, oleh
sang empunya pasar. Namun mereka tidak akan habis pikir, ketika beberapa
Negara-Bangsa yang di dalamnya terpelihara budaya berontak dan revolusioner itu.
Mereka tak akan habis pikir perempuan seperti Camila Vallejo bisa membangkang
menolak intervensi WTO dan IMF atas kehidupan Chile, terutama untuk
pendidikannya. Ada apa dengan wacana Iran yang mengembangkan persenjataan
Nuklir? Dan bagaimanapun Amerika serikat yang selalu paranoid keamanan
nasionalnya sedang dibidik teroris, telah gagal meyakinkan dunia jikalau Kuba
adalah ancaman dan negara teroris, atau Kegagalannya mencap Venezuela sebagai
ancaman tatanan Dunia yang damai, Bahkan Korea Utara tidak tanggung-tanggung dicap
komunis yang tidak berperikemanusiaan. Apapula yang jadi alasan klaim-klaim negara adidaya ini?
Mungkinkah karena di dalam beberapa negara-bangsa tersebut menolak adanya Bank
Central yang berdiri? Ataukah karena menolak didirikannya pangkalan militer di
negara-bangsa tersebut?
Tidak salah lagi, itu adalah
salah satu atau dua dari sekian banyak ketakutannya mengenai hambatan-hambatan
akan arah ekspansi kapitalnya. Yang ruang akan kepentingan akumulasi kapital
itu menjadi mungkin tidak tersedia lagi dan krisis yang diproyeksikan oleh Karl
Marx setelah berabad-abad lalu semakin mungkin dan tak lagi usang. Mereka butuh
pasar baru, mereka butuh semua unsur yang dahulu belum tersentuh kapitalisme,
dan karenanya sektor-sektor regional yang dikendalikan lembaga kaki tangan
global tingkat regional semacam UNI EROPA, ASEAN, NAFTA akan
membuka mata dan hati bagi sektor non-kapitalistik di negara-negara anggota
untuk sesegera mungkin diatapi oleh lembaran alat tukar universal paling mulia
bagi mereka. Dan itu artinya mereka akan berhadap-hadapan sesering mungkin
dengan masyarakat sipil : masyarakat tradisi, masyarakat adat, masyarakat
kesukuan, Kaum Buruh, Buruh Tani, Kaum miskin kota, Mahasiswa/pelajar. Jauh
lebih sering dari biasanya, karena kini peta dunia makin sempit.
Namun sayang, masyarakat sipil
bukanlah kumpulan orang yang tidak waras seperti borjuis yang akal sehatnya
sedangkal pasar. Mereka tidak tertarik membuat kota kosmopolitan, mereka tidak
akan mencemari marganya dengan kesesatan laba. Mereka tidak akan melacurkan
suku serta tradisi yang diwariskan petuahnya kepada germo-germo property. Mereka
tidak akan menyandingkan kehidupan anak-anak, pemuda, laki-laki, perempuan,
lansia, serta tokoh agamanya kepada mekanisme kompetitif yang menciderai
persatuan dan persaudaraan. Maka sesungguhnya sejarah tidaklah berakhir di
kapitalisme, dan jikalaupun menurut teoritisi ekonomi-politik dan sosial-budaya
andalan mereka itu dibenarkan, itu hanya untuk menutup-nutupi ketakutannya,
fhobianya terhadap pemberontakan dan penolakan yang terus gencar dan
berlipat-ganda seiring mereka berekspansi. Dan tentulah mereka memiliki gejala
traumatik, dan karenanya mereka selalu paranaoid karena meminum pil kemanusiaan
berdarah yang menjadi candu, lebih garang dari narkotika.
Dahulu mereka takut akan hantu-hantu
yang disebutkan oleh Karl Marx tengah berkeliaran di Eropa (baca: Manifesto),
namun kali ini mereka tidak hanya dihantui oleh hantu-hantu Eropa, Asia juga
berhantu, Afrika juga berhantu, Amerika juga berhantu. Dan pada akhirnya mereka
akan memaksakan diri dan berdoa semoga ini murni halusinasi. Tapi tidak. Hantu
ini nyata dan ada dimana-mana. Hantu ini akan menyerukan kata TIDAK dimana-mana
untuk kapitalisme, untuk neo-liberalisme, untuk neo-imperialisme. Sebagaimana
Subcomandante Insurgente Marcos berseru; Sejarah
jauh dari usai. Di masa depan, koeksistensi harmonis itu mungkin, bukan karena
perang yang mencoba mendominasi yang lain, tapi karena “TIDAK” yang memberi
umat manusia –seperti sebelumnya, di zaman prasejarah—cita-cita bersama, dan
seiring dengan itu, harapan: harapan pertahanan hidup umat manusia, melawan
neoliberalisme (Dunia: Tujuh
Pemikiran Di Bulan Mei 2003).