Selasa, 16 Juli 2013

EKSPRESI PALSU


       Wajah lautan manusia dewasa ini mempertontonkan berbagai macam bentuk mode, yang memiliki selubung makna yang tentu sepenuhnya tidak semua bisa memahami. Apa yang telah menjadi bagian dari kehidupan, itulah yang akan menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada. Lantas pertanyaan seperti apakah yang dimaksud? Kearah manakah objektifitas pertanyaan-pertanyaan itu? dan manakala jawaban itu adalah bagian dari kehidupan, seperti apakah jawaban-jawaban itu? Mungkin itu luas, seluas persoalan-persoalan kehidupan duniawi.
Hari ini, langkah manusia di Bumi adalah yang kesekian trilliunan kalinya, memijakkan kaki dari berbagai generasi, dari berbagai kepentingan-kepentingannya, dari berbagai kebutuhan-kebutuhannya, dan dari berbagai ekspresi kehidupannya. Namun yang tidak nampak dari kehidupan itu adalah arena dan lintasan ekspresi itu sendiri, yaitu Bumi. Mungkin telah tertutupi oleh Milyaran juta manusia yang wajahnya bertopeng, mungkin juga telah tenggelam dalam lapisan atmosfernya sendiri. Tidak sedikit dari topeng itu memperlihatkan mimik yang bersedih dan berduka, disertai intonasi suara lemah lunglai seakan tidak sanggup lagi melangkah di dataran keropos, memperlihatkan keprihatinannya pada khalayak, melontarkan kalimat-kalimat yang menggugurkan optimistis, sayangnya telah diketahui wajah asli di balik topeng itu.
Sang pencipta semesta menghunus Bumi untuk dijadikan sumber-sumber kehidupan mahluk-mahluk yang ada di permukaannya, dijadikan sebagai sarana penghidupan yang layak, dimanfaatkan sebagai pemberi harapan kelanjutan hidup manusia jutaan tahun mendatang, digunakan untuk kebutuhan yang sewajarnya. Bumi ini luas, cukup untuk menampung jumlah manusia yang kian hari makin membengkak, namun tetap punya kontrol. Populasi manusia memang benar arusnya makin deras, tapi itu bukan alasan untuk menguranginya. Karena Bumi masih bisa menampungnya, itu harapan. 
Maka sebaliknya, manusia yang memposisikan dirinya sebagai pencipta telah mengutuk Bumi sebagai sumber penghisapan manusia atas manusia dan manusia atas alam. Lalu manusia seperti apakah yang pencipta itu? adakah dia sama dengan pencipta semesta? jelas itu berbeda. Sang pencipta semesta telah menciptakan Bumi salah satu dari sistem tata surya yang didalamnya diturunkan manusia sebagai penghuninya sekaligus perawatnya, namun diantara manusia yang diberi kesempatan menghirup oksigen diatasnya tak kalah dari penciptanya, Dialah si-pencipta sistem terkutuk, perusak hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, pencipta jarak yang sangat jauh antara manusia dengan sumber-sumber kehidupannya sendiri, sehingga tak kurang manusia menjadi terasing dilingkungan sendiri, teralienasi dari eksistensinya sebagai manusia. Alam pun menjadi gelanggang yang makin kusut dan kian tak terjamah tangan-tangan suci, terkeruk makin dalam dan terkikis makin tipis, kondisi ekologis pun kian terpuruk tak layak lagi berpenghuni.
Globalisasi,itu kampanyenya. Menyerahkan hampir segala aspek kehidupan pada mekanisme pasar global sama saja menyerahkan ajal yang begitu cepat untuk apa yang hidup diatasnya. yang empunya atas kepentingan itu lantas saja menjadi pemilik dengan konsep privatisasinya. Jumlah mereka minority, tapi keserakahannya berlimpah, dan Bumi itu tak cukup untuk menghidupinya, kata Mahatmha Gandhi. Hal ini menciptakan kelas yang saling berseteru hingga berabad-abad lamanya, yang sampai pada saat ini belum lagi ada ilmuan, intelektualis, akademis, atau apapun itu menemukan cara paling mutakhir untuk penyelesaian perseteruan akibat ketimpangan kepentingan yang tak merata ini.
Namun eksistensi manusia kian dipertanyakan apabila memilih untuk mempertahankan kondisi seperti ini, artinya segelintir manusia adalah penghisap, dan segelintirnya lagi adalah yang terhisap, dan segelintirnya lagi adalah bukan penghisap dan bukan pula yang terhisap, tapi lebih memilih menyaksikan daripada menindakinya. Inilah rupanya wajah kita, yang tiap hari tersenyum tapi dibalik itu penuh derita manusia yang lainnya, yang kadang juga ikut gelisah hanya karena sebuah nama dan lakon peduli, yang lebih sering lagi mengumbar semangat humanis tapi lebih mendukung dehumanisasi, Isak tangis dan rintihan menjadi penghias haru hiruk pikuk kehidupan disamping suara lantang bahakan tawa si kapitalis, sepertinya segalanya telah dikuasainya.
Problematika ini telah terbaca ratusan abad yang telah lalu, Upaya solutifnya pun telah terlampir untuk kemudian dilaksanakan, Konsekuensinya telah coba digali dan siap untuk dibuktikan, namun kekuatan yang dibangun belum cukup mampu membendung sistem yang terlanjur besar "Kapitalisme", karena adanya pesimistis dan keraguan berlebih disebabkan minimnya kesadaran manusiawi pada posisi kritisnya, minimnya produksi dan reproduksi pengetahuan mengenai seputar permasalahan tersebut, dan krisis kepercayaan terhadap proses penyelesaian atau bentuk akhir dari upaya-upaya itu. Pemikiran yang telah lahir melampaui beberapa garis keturunan dan generasi manusia itu masih saja sibuk direlevansikan dengan kondisi saat ini tanpa pernah ada praksisnya ataupun praktisinya, penganalisanya yang mungkin terlampau berlebih. Hingga akhirnya kita diperhadapkan pada kenyataan-kenyataan yang begitu rumit, sehingga dalam koridor yang sama kita saling memangsa tanpa memikirkan ujung dari koridor perjuangan itu. Kini makin sulit menetapkan wajah manusia yang memang mewakili misi kemanusiaan, karena ekspresi palsu.
Lawan, satu kata yang jelas keberpihakannya,  apabila seseorang ditindas sampai titik nadirnya maka ia akan melawan balik. Tak perlulah kita mengenakan topeng-topeng itu, posisi kita jelas terhisap dan tertindas.

    

Tidak ada komentar: