Wajah
lautan manusia dewasa ini mempertontonkan berbagai macam bentuk mode, yang
memiliki selubung makna yang tentu sepenuhnya tidak semua bisa memahami. Apa
yang telah menjadi bagian dari kehidupan, itulah yang akan menjadi jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang ada. Lantas pertanyaan seperti apakah yang dimaksud?
Kearah manakah objektifitas pertanyaan-pertanyaan itu? dan manakala jawaban itu
adalah bagian dari kehidupan, seperti apakah jawaban-jawaban itu? Mungkin itu
luas, seluas persoalan-persoalan kehidupan duniawi.
Hari
ini, langkah manusia di Bumi adalah yang kesekian trilliunan kalinya,
memijakkan kaki dari berbagai generasi, dari berbagai
kepentingan-kepentingannya, dari berbagai kebutuhan-kebutuhannya, dan dari
berbagai ekspresi kehidupannya. Namun yang tidak nampak dari kehidupan itu
adalah arena dan lintasan ekspresi itu sendiri, yaitu Bumi. Mungkin telah
tertutupi oleh Milyaran juta manusia yang wajahnya bertopeng, mungkin juga telah
tenggelam dalam lapisan atmosfernya sendiri. Tidak sedikit dari topeng itu
memperlihatkan mimik yang bersedih dan berduka, disertai intonasi suara lemah
lunglai seakan tidak sanggup lagi melangkah di dataran keropos, memperlihatkan
keprihatinannya pada khalayak, melontarkan kalimat-kalimat yang menggugurkan
optimistis, sayangnya telah diketahui wajah asli di balik topeng itu.
Sang
pencipta semesta menghunus Bumi untuk dijadikan sumber-sumber kehidupan
mahluk-mahluk yang ada di permukaannya, dijadikan sebagai sarana penghidupan
yang layak, dimanfaatkan sebagai pemberi harapan kelanjutan hidup manusia
jutaan tahun mendatang, digunakan untuk kebutuhan yang sewajarnya. Bumi ini
luas, cukup untuk menampung jumlah manusia yang kian hari makin membengkak,
namun tetap punya kontrol. Populasi manusia memang benar arusnya makin deras,
tapi itu bukan alasan untuk menguranginya. Karena Bumi masih bisa menampungnya,
itu harapan.
Maka
sebaliknya, manusia yang memposisikan dirinya sebagai pencipta telah mengutuk
Bumi sebagai sumber penghisapan manusia atas manusia dan manusia atas alam.
Lalu manusia seperti apakah yang pencipta itu? adakah dia sama dengan pencipta
semesta? jelas itu berbeda. Sang pencipta semesta telah menciptakan Bumi salah
satu dari sistem tata surya yang didalamnya diturunkan manusia sebagai
penghuninya sekaligus perawatnya, namun diantara manusia yang diberi kesempatan
menghirup oksigen diatasnya tak kalah dari penciptanya, Dialah si-pencipta
sistem terkutuk, perusak hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lain, pencipta jarak yang sangat jauh antara manusia dengan sumber-sumber
kehidupannya sendiri, sehingga tak kurang manusia menjadi terasing dilingkungan
sendiri, teralienasi dari eksistensinya sebagai manusia. Alam pun menjadi
gelanggang yang makin kusut dan kian tak terjamah tangan-tangan suci, terkeruk
makin dalam dan terkikis makin tipis, kondisi ekologis pun kian terpuruk tak
layak lagi berpenghuni.
Globalisasi,itu
kampanyenya. Menyerahkan hampir segala aspek kehidupan pada mekanisme pasar
global sama saja menyerahkan ajal yang begitu cepat untuk apa yang hidup
diatasnya. yang empunya atas kepentingan itu lantas saja menjadi pemilik dengan
konsep privatisasinya. Jumlah mereka minority, tapi keserakahannya berlimpah,
dan Bumi itu tak cukup untuk menghidupinya, kata Mahatmha Gandhi. Hal ini
menciptakan kelas yang saling berseteru hingga berabad-abad lamanya, yang
sampai pada saat ini belum lagi ada ilmuan, intelektualis, akademis, atau
apapun itu menemukan cara paling mutakhir untuk penyelesaian perseteruan akibat
ketimpangan kepentingan yang tak merata ini.
Namun
eksistensi manusia kian dipertanyakan apabila memilih untuk mempertahankan
kondisi seperti ini, artinya segelintir manusia adalah penghisap, dan segelintirnya
lagi adalah yang terhisap, dan segelintirnya lagi adalah bukan penghisap dan
bukan pula yang terhisap, tapi lebih memilih menyaksikan daripada menindakinya.
Inilah rupanya wajah kita, yang tiap hari tersenyum tapi dibalik itu penuh
derita manusia yang lainnya, yang kadang juga ikut gelisah hanya karena sebuah
nama dan lakon peduli, yang lebih sering lagi mengumbar semangat humanis tapi
lebih mendukung dehumanisasi, Isak tangis dan rintihan menjadi penghias haru
hiruk pikuk kehidupan disamping suara lantang bahakan tawa si kapitalis,
sepertinya segalanya telah dikuasainya.
Problematika
ini telah terbaca ratusan abad yang telah lalu, Upaya solutifnya pun telah
terlampir untuk kemudian dilaksanakan, Konsekuensinya telah coba digali dan
siap untuk dibuktikan, namun kekuatan yang dibangun belum cukup mampu
membendung sistem yang terlanjur besar "Kapitalisme", karena adanya
pesimistis dan keraguan berlebih disebabkan minimnya kesadaran manusiawi pada
posisi kritisnya, minimnya produksi dan reproduksi pengetahuan mengenai seputar
permasalahan tersebut, dan krisis kepercayaan terhadap proses penyelesaian atau
bentuk akhir dari upaya-upaya itu. Pemikiran yang telah lahir melampaui
beberapa garis keturunan dan generasi manusia itu masih saja sibuk direlevansikan
dengan kondisi saat ini tanpa pernah ada praksisnya ataupun praktisinya,
penganalisanya yang mungkin terlampau berlebih. Hingga akhirnya kita
diperhadapkan pada kenyataan-kenyataan yang begitu rumit, sehingga dalam
koridor yang sama kita saling memangsa tanpa memikirkan ujung dari koridor
perjuangan itu. Kini makin sulit menetapkan wajah manusia yang memang mewakili
misi kemanusiaan, karena ekspresi palsu.
Lawan,
satu kata yang jelas keberpihakannya,
apabila seseorang ditindas sampai titik nadirnya maka ia akan melawan
balik. Tak perlulah kita mengenakan topeng-topeng itu, posisi kita jelas
terhisap dan tertindas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar